• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Meluruskan Logika Bias Gender dengan Mubadalah

Abdul Rosyidi Abdul Rosyidi
31/01/2018
in Kolom, Publik
0
Sumber gambar: Kompasiana

Sumber gambar: Kompasiana

46
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Meluruskan logika bias gender dengan Mubadalah sangat penting. Baru-baru ini, jagat maya ramai membicarakan perempuan asal India bernama Jamida. Jamida (34 tahun) mendapatkan banyak kecaman setelah dia menjadi imam shalat Jumat di sebuah kantor di Malappuram, Kerala, India, pekan lalu. Dalam sebuah gambar terlihat, Jamida memimpin shalat para laki-laki. Atas tindakannya, Jamida menuai kecaman dari komite masjid setempat dan juga warganet yang menuduhnya telah mengancam Islam.

Jamida pun melawan. Menurutnya, tidak ada ayat suci yang melarang seorang perempuan untuk menjadi imam. Al-Quran, dalam pandangannya, tidak mendiskriminasi perempuan. Jamida terinsipirasi Amina Wadud, perempuan Muslim pertama di dunia yang memimpin shalat jamaah.

Telah banyak argumentasi dan dalil yang disebutkan baik dari golongan yang menolak seorang perempuan menjadi Imam shalat bagi makmum laki-laki maupun dari golongan yang mendukungnya. Tulisan ini tidak akan menambah-nambah lagi argumentasi tekstual yang berasal dari al-Quran dan hadits Nabi. Saya hanya akan mencermati ihwal asumsi bias gender juga cara sederhana untuk membedahnya dengan menggunakan perspektif mubadalah-nya KH Faqihuddin Abdul Qodir.

KH Husein Muhammad dalam Fiqh Perempuan mengurai polemik imam perempuan dalam shalat dengan sangat jernih. Saya menangkap intinya bahwa dalam banyak persoalan ibadah maupun sosial yang di dalamnya ada pertemuan antara perempuan dan laki-laki, para ulama selalu mengaitkannya dengan alasan khauf al-fitnah, menjaga jangan sampai terjadi fitnah.

Pembatasan terhadap perempuan, baik dalam ruang sosial maupun dalam peribadatan, tidak lain karena asas ‘menjaga jangan sampai terjadi fitnah’ tersebut. Anehnya, fitnah didefinisikan secara timpang sebagai suasana yang mengganggu dan menggoda hati dan pikiran (hanya) laki-laki.

Baca Juga:

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Asas inilah yang kemudian menginspirasi adanya aturan tentang perempuan imam shalat, urutan baris perempuan dalam shalat, perempuan tidak diwajibkan shalat Jumat, perempuan dilarang khutbah, ataupun perempuan dilarang mengumandangkan adzan yang bisa didengar laki-laki. Bahkan, perempuan yang keluar rumah untuk shalat berjamaah pun dianggap kurang baik.

Dalam koridor berpikir khouf al-fitnah, perempuan dianggap makhluk yang bisa mendatangkan fitnah. Oleh karenanya perempuan dianggap bisa mengganggu kekhusyukan laki-laki. Kalau bisa mengganggu kekhusyukan laki-laki, maka perempuan bisa merusak peribadatan itu sendiri. Kalau sudah demikian, rusaklah agama.

Logika dan cara berpikir seperti itu mengasumsikan bahwa pertama, hanya perempuan tempatnya fitnah dan keburukan. Kedua, hanya laki-laki yang berhak untuk khusyuk dalam peribadatan. Dan ketiga, perempuan yang melanggar ketentuan tersebut bisa dikatakan merusak agama.

Ketiga asumsi ini jelas sekali berasal dari logika timpang yang hanya berangkat dari kacamata laki-laki. Nah, dengan perspektif mubadalah kita bisa melihat masalah bias gender ini secara lebih terang. Caranya dengan menghilangkan kata ‘hanya’ di atas dan menggantinya dengan kata ‘kedua-duanya’ atau frase ‘laki-laki dan perempuan’. Tentunya bukan hanya sekadar mengganti kata saja tapi juga mengubah modus berpikir dan cara pandang kita melihat masalah ini. Yang tadinya hanya satu pihak menjadi dua pihak atau semua pihak.

Pertama, hanya perempuan tempatnya fitnah. Padahal, tidak satupun ayat al-Quran ataupun hadits yang menyebutkan demikian. Pernyataan ini juga bukan semangat yang ingin diperjuangkan Nabi. Semangat dan visi Nabi Muhammad sendiri bahkan ingin mengangkat derajat perempuan. Di tengah budaya patriarkhi yang mengungkung, Nabi melakukan banyak perubahan krusial untuk memuliakan perempuan.

Dengan mubadalah, bisa disimpulkan bahwa bukan hanya perempuan yang menjadi sumber fitnah, laki-laki juga bisa menjadi sumber fitnah. Kedua-duanya berpotensi menjadi sumber fitnah, tapi kedua-duanya pun berpotensi menjadi sumber kebaikan. Yang membuat seseorang menjadi sumber fitnah atau kebaikan bukan karena dia laki-laki atau perempuan. Akan tapi banyak hal yang meliputi sikap, perbuatan, dan yang tak kalah penting adalah situasi zaman serta budaya masyarakat.

Kedua, hanya laki-laki yang berhak untuk khusyuk dalam peribadatan. Asumsi kedua ini juga sangat keliru karena agama diciptakan untuk seluruh umat manusia bahkan alam semesta. Allah juga tidak memberikan perintah hanya untuk laki-laki, tapi juga perempuan. Perempuan dan laki-laki sama-sama manusia sempurna, tak ada yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada yang lebih berbakti dan berhak untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah antara satu dibanding yang lain.

Jadi, dalam perspektif mubadalah, laki-laki dan perempuan punya hak yang sama dalam peribadatan. Kedua-duanya berhak untuk beribadah dengan khusyuk. Saat perempuan yang dianggap mengganggu ibadah laki-laki disebut sumber fitnah, maka laki-laki yang menggangu perempuan yang sedang beribadah pun bisa menjadi sumber fitnah.

Ketiga, andai kedua asumsi bias gender di atas dilihat dengan perspektif mubadalah, maka asumsi ketiga tidak akan pernah ada. Perempuan tidak pernah pantas dikatakan perusak agama hanya karena dia perempuan, begitupun laki-laki.

Jadi, di tengah polemik yang kembali terjadi ini, sebaiknya umat Islam tidak kagetan. Polemik harusnya membuat kita lebih mau belajar, bukan malah sibuk mengecam. Sudah saatnya aksi kecam mengecam itu kita ganti dengan banyak menahan diri dan belajar mengarifi sikap Nabi yang begitu memuliakan perempuan.

Terakhir, andai saja kita bisa berpikir secara adil dan tidak egois, maka selalu ada tempat bagi siapapun, baik perempuan maupun laki-laki untuk beribadah. Suatu saat, ketika asumsi-asumsi yang bias gender di atas telah pudar, polemik dengan kecam mengecam itu semoga tak akan kita temukan di masa depan. Wallahu a’lam.[]

Tags: bias genderfiqh perempuanGenderhusein muhammadperempuanperempuan imam salat
Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi, editor. Alumni PP Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin Cirebon.

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID