Pada masa Nabi Muhammad Saw, masjid merupakan satu-satunya tempat publik yang sering dituju dan didatangi untuk menjalankan segala aktivitas, baik ibadah, pengajian, maupun pertemuan-pertemuan oleh semua umatnya termasuk para perempuan.
Ada beberapa kisah yang saya kutip dari buku Qira’ah Mubadalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Beliau menuliskan tentang keterlibatan perempuan di masjid pada masa Nabi Muhammad Saw. Para perempuan tersebut diantaranya:
Pertama, Ummu Hisyam binti Haritsah bin Na’man Ra. Ummu Hisyam adalah salah satu seorang sahabat perempuan Nabi yang sering mengisahkan bagaimana dirinya selalu mengikuti khutbah-khutbah Nabi Muhammad Saw. Bahkan karena seringnya mengikuti khutbah Nabi, Ummu Hisyam sanggup menghafal seluruh surat Qaaf (surat ke-50) yang semuanya berjumlah 45 ayat.
Kisah tersebut tertulis dalam sebuah hadis Shahih Muslim, no. 2051. Hadis tersebut berbunyi yang artinya “Ummu Hisyam binti Haritsah bin Na’man Ra bercerita “Aku menghafal seluruh surat Qaaf, benar-benar dari lisan Rasulullah Saw secara langsung, aku dengar dari khutbah-khutbah beliau.” Hal serupa juga dilakukan sama oleh sahabat perempuan Hindun binti Usaid bin Hudhair al-Anshariyah Ra yang mengikuti khutbah-khutbah Nabi Muhammad Saw.
Kedua, Fatimah binti Qais Ra. Fatimah adalah sosok sahabat perempuan yang selalu datang lebih awal ke masjid jika ada panggilan untuk berkumpul, baik untuk salat maupun untuk yang lainnya (Shahih Muslim, no. 7574).
Ketiga, Ummu Salamah Ra juga adalah orang yang setiap mendengar panggilan “wahai manusia” dari masjid, maka ia segera bergegas menuju masjid (Shahih Bukhari, no. 6114 dan 6115).
Keempat, Asma’ binti Abu Bakar Ra juga menceritakan kebiasaan para perempuan mengikuti shalat gerhana (Shahih Bukhari, no. 184). Kelima, Ummu Hisyam binti Haritsah Ra menceritakan kebiasaan mereka hadir dan mendengar khutbah Jum at (Shahih Muslim, no. 2052). Selain itu, dalam kisah lain, Aisyah binti Abu Bakar Ra juga meriwayatkan, bahwa banyak para perempuan yang biasa ikut shalat harian berjamaah (Shahih Bukhari, no. 578). Perempuan sahabat juga ikut shalat jenazah (Shahih Muslim, no. 2297), dan i’tikaf di masjid (Shahih Bukhari, no. 2065).
Kisah-kisah tersebut adalah kisah-kisah inspiratif tapi di zaman sekarang kisah-kisah tersebut tidak populer dan jarang didengar di kalangan masyarakat, ulama atau bahkan para kiai-kiai. Hal itu disebabkan, mungkin karena kebanyakan para kiai, ulama dalam menyampaikan pengajian, ceramahnya hanya menggunakan teks-teks hadits yang melarang perempuan untuk salat di masjid, karena sebaik-baiknya salat perempuan adalah di kamar, di rumahnya, kemudian teks hadis yang membatasi ruang gerak para perempuan, mengekang, mendiskriminasi, bahkan menganggap bahwa perempuan adalah aurat.
Hal tersebut, sangat berbeda dengan laki-laki. ulama dan kiai kita, justru banyak mempopulerkan hadis agar laki-laki itu dituntut untuk aktif beribadah di masjid, berpendidikan tinggi, bekerja, dan bebas untuk kemana-mana, karena tubuh lak-laki bukanlah aurat.
Astagfirullah …. !!! Padahal saya kira dengan membaca hadis kisah-kisah di atas, seharusnya sudah selesai. Karena masjid merupakan tempat publik yang dapat diambil manfaat dan kebaikannya untuk bersama, bagi laki-laki dan perempuan. Tapi sayangnya, ulama dan kiai kita tidak mau membaca kitab lain, seperti kitab Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr al-Risala karya Abu Syuqqah, al-Qaradhawi, dan Muhammad al-Ghazali.
Lalu apakah kita menyalahkan ulama dan kiai-kiai kita? tentu tidak. Mungkin saya ingin mengajak kembali, sekaligus untuk meyakinkan tentang satu peran perempuan yang sangat besar pada masa Nabi dalam perkembangan agama Islam. Misalnya, dalam kasus proses turunnya al-Qur’an yang pertama kalinya saja, siapakah orang yang menjadi sandaran Nabi, bahwa itu adalah firman dari Allah SWT?
Ya dia adalah perempuan. Dia adalah Khadijah binti Khuwailid Ra, perempuan pertama yang menerima kewahyuan Nabi Muhammad Saw. Bahkan Khodijah Ra jugalah yang meyakinkan dan meneguhkan hati Nabi bahwa Beliau sudah resmi menjadi seorang Nabi.
Dalam hadis Shahih Bukhari, no. 5005, Khadijah berkata kepada Nabi Muhammad Saw yang artinya “Tidak (wahai suamiku), berbahagialah, (engkau tidak usah khawatir. Demi Allah, Dia tidak akan mencelakakanmu sama sekali, karena engkau selalu berbuat baik dengan keluarga, selalu jujur dalam berbicara, membantu orang yang susah, menghormati tamu dan menolong segala kesulitan orang.”
Dan Nabi menjawab dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Musnad Ahmad, no. 25504 yang artinya, “Dia yang beriman dengan kerasulanku ketika orang-orang justru mengingkarinya, meyakini kejujuranku ketika orang-orang menganggapku berbohong, mendukungku dengan semua harta yang dimilikinya ketika orang-orang tidak mau memberi, dan melaluinya Allah memberiku anak.”
Masya Allah sungguh luar biasa, hati saya sungguh bergetar. Dari sini kita bisa membayangkan betapa dahsyatnya kekuatan Khodijah Ra, beliau ada perempuan teladan dalam memenuhi panggilan Islam. Beliau jugalah yang menjadi subjek dari wahyu “Iqra” (bacalah). Dan kita tidak bisa membayangkan kalau tidak ada Khodijah Ra, saya kira Islam juga tidak ada.
Dengan adanya Khodijah Ra, seharusnya membuat kita menjadi sadar bahwa peran perempuan sejak awal kenabian Muhammad Saw telah memberikan pengaruh yang sangat luar biasa besar dalam perkembangan agama Islam. Kehadiran Islam dan Nabi Muhammad Saw adalah sebagai perintah dan petunjuk bahwa wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk laki-laki dan perempuan. Maka saya kira sejarah ini amat penting untuk terus kita baca dan diingat. Bahwa perempuan sejak masa Nabi Muhammad Saw, sama-sama dipanggil, disapa, dan dituntut untuk aktif di ruang publik termasuk di masjid.
Maka dengan demikian, kita kembali lagi ke atas, bahwa kisah-kisah para sahabat perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw yang beraktivitas aktif di masjid adalah penegasan untuk memberi ruang bagi perempuan dalam mendapatkan segala manfaat yang tersedia di ruang publik. Tidak hanya ibadah ritual di masjid belaka, tetapi juga manfaat sosial yang lain, yang ada di ruang publik. []