Mubadalah.id – Ini adalah tulisan bagian kedua dari Peringati 16 HAKTP Internasional 2024, Perempuan Mau Ke Mana? Adapun berdasar rilis Komnas Perempuan, dalam diskusi konsultatif organisasi-organisasi masyarakat sipil maupun pelaporan dan review atas BPfA+30. Setidaknya ada 5 tema isu piroritas yang terbahas.
Kelimanya adalah: (1) Krisis Iklim; (2) Digitalisasi; (3) Keuangan; (4) Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace, Security); Serta (5) Kesehatan Seksual dan Reproduksi.
Pendekatan interseksional dengan perhatian khusus pada kelompok rentan, (seperti penyandang disabilitas, lansia, minoritas seksual, penyandang HIV/AIDS, serta masyarakat adat), dan representasi substantif serta kerentanan berbasis jender menjadi pisau analisa utama dalam diskusi kelima isu tersebut.
Isu-isu Prioritas dalam BPfA+30
Dalam pertemuan BPfA+30 Indonesia sendiri beri perhatian serius pada isu terutama terkait dengan rencana strategis saat ini dan ke depan, serta kaitannya dengan situasi di Indonesia. Antara lain tentang krisis iklim dan dampaknya yang khas terhadap perempuan. Care economy (ekonomi perawatan) yang sudah sangat mendesak untuk membutuhkan pengakuan dan perlindungan terhadap perempuan pekerja.
Seperti Perempuan pekerja rumah tangga; Perempuan pekerja tak berbayar (unpaid women workers), Perempuan pekerja rumahan. Serta isu-isu ancaman terhadap demokrasi dan gerakan ujaran anti jender dan HAM. Femisida; Isu digitalisasi, termasuk penguatan ekonomi perempuan dan penghapusan gender digital gap, keamanan data pribadi, serta kekerasan berbasis jender siber lainnya; Juga terakhir terkait isu tuntutan penghapusan P2GP.
Sementara itu terkait sejumlah capaian, Indonesia sendiri menyampaikan peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Meski diakui masih belum penuhi kuota 30 persen. Serta terkait berlakunya payung hukum berupa Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Sedang terkait rencana aksi ke depan, Indonesia akan terus berfokus pada kesetaraan jender dan pemenuhan HAM dalam konteks krisis iklim. Penyikapan terhadap kekerasan berbasis jender terhadap perempuan dan anak perempuan.
Selain itu juga peningkatan partisipasi politik dan kepemimpinan perempuan dalam turut mendorong kemerdekaan Palestina dan galang dukungan negara-negara dunia. Sementara itu dalam catatan Komnas Perempuan, forum BPfA+30 terlihat kurang menyoroti isu hukuman mati dan pelanggaran HAM berat.
Kesetaraan Jender, Masalah Semua Orang
Kini masalahnya adalah, kesetaraan jender kerap hanya terpandang sebagai persoalan perempuan. Padahal sesungguhnya kesetaraan jender bukan hanya persoalan perempuan, melainkan persoalan semua orang. Karena itu, jalan yang hendak tertempuh untuk mewujudkan kesetaraan jender tidaklah mudah dan linier. Tetapi membutuhkan kerja keras dan kolaborasi masyarakat Indonesia sendiri, Asia Pasifik, maupun global.
Kompas.id dalam beritanya menyebutkan bahwa, meskipun Deklarasi Beijing terus menjadi kekuatan pendorong dunia untuk mencapai kesetaraan jender; Pekerjaan kita bersama masih belum selesai dengan banyaknya kesenjangan yang perlu tertutup segera.
Masa depan dunia yang terbayangkan, penuh dengan kesetaraan, martabat, dan kesempatan, serta terbebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan, serta konflik perang, sangat bergantung pula pada pilihan dan tindakan bersama atas pelaksanaan Konferensi (BPfA+30) tersebut.
Dalam konteks Indonesia sendiri upaya arusutama kesetaraan jender masih terus temui jalan berbatu. Bahkan pemerintahan Indonesia ternilai cenderung masih hindari isu-isu sensitif terkait kesetaraan jender dan HAM, termasuk hak kesehatan seksual dan reproduksi, serta interseksionalitas lainnya. Selain itu berbagai kebijakan daerah juga terdeteksi masih sangat diskriminatif.
Data dari Komnas Perempuan
Pada Oktober 2024 lalu Komnas Perempuan setidaknya ungkap bahwa sejak 2009 – 2023 terdapat sebanyak 450 kebijakan diskriminatif, dengan 56 persen di antaranya menyasar pada perempuan. Kini setidaknya dari 450 kebijakan tersebut, terdapat 292 kebijakan yang masih berlaku dan 158 kebijakan yang tidak berlaku lagi. Tidak hanya Peraturan Daerah (Perda), kebijakan itu juga berupa Keputusan Gubernur, Bupati, maupun Walikota se-Indonesia.
Memang tak dapat terpungkiri, banyaknya kebijakan diskriminatif tersebut terlatarbelakangi antara lain masih berlangsungnya nilai-nilai dan konsep budaya patriarki yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada hubungan kekuasaan yang tidak setara, sehingga menimbulkan diskriminasi jender.
Kurangnya pemahaman para perumus dan perancang peraturan perundang-undangan tersebut dalam memahami azas relasi kesetaraan (adil) jender, telah berdampak nyata pada kebijakan yang subordinat atas kehidupan perempuan dan anak perempuan di Indonesia.
Karenanya KPPPA pada periode lalu tampak juga terus berusaha keras inisiasi penyusunan regulasi yang dapat akomodir upaya untuk memastikan kebutuhan peraturan perundangan yang responsif jender. Inisiasi tersebut seperti telah terejawantah melalui Peraturan Menteri PPPA No. 6 Tahun 2023 tentang Parameter Kesetaraan Jender dalam Peraturan Perundang-undangan dan Instrumen Hukum Lainnya.
Selain itu juga KPPPA keluarkan Surat Edaran No. 1 Tahun 2024 terkait dengan percepatan penyelenggaraan pengarusutamaan jender dalam pembangunan nasional. Di mana di dalamnya juga menyampaikan untuk segera menindaklanjuti analisis Perda-perda diskriminatif jender.
Perempuan Harus Mendapatkan Kesetaraan, Keadilan Disertai Ketulusan
Secara terpisah pada awal 2024 pada forum Temu Perempuan Inspiratif di Denpasar, Bali yang juga hadir di dalamnya KPPPA, Syamsiyah Ahmad, tokoh yang kini berusia 91 tahun berpendapat bahwa pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan kesetaraan jender niscaya membutuhkan keterlibatan laki-laki di dalamnya.
Dengan demikian akan tercipta kemitraan bersama antara perempuan dan laki-laki tanpa paksaan. Keduanya harus menjadi mitra yang setara, adil, dan tulus. Dengan disertai kehadiran negara di dalamnya, untuk lakukan upaya-upaya struktural sekaligus juga kultural bersama-bersama berbagai gerakan sosial masyarakat. Sebagaimana KUPI/ Kongres Ulama Perempuan Indonesia- yang selama ini telah aktif suarakan kesetaran jender dengan berbagai strategi-strategi alternatif yang tertempuh.
Rumit. Karena setara dan adil dapat terlihat oleh semua orang. Namun ketulusan hanya ada di dalam hati. Tak terlihat. Tetapi begitu terang akan dapat terasakan jika hal tersebut terimplementasikan pula dalam kebijakan-kebijakan negara tersebut yang arusutamakan kesetaraan jender. Oleh karena itu menurut Syamsiyah juga, jangan sampai ada kesetaraan pura-pura (pseudo gender equality). Seolah-olah setara, padahal belum.
Konsep Adil Setara sejak dari Keluarga
Kata Syamsiyah, tokoh yang juga menjadi satu-satunya perempuan yang terlibat dalam pembahasan Pembebasan Timor Leste pada 1999, konsep setara, adil, dan tulus itu harus juga mulai terbangun sejak dari keluarga.
Karenanya dari sana akan lahir keluarga yang membentuk anggota-anggota masyarakat yang setara. Hingga pada akhirnya bermuara pada terbentuknya bangsa-bangsa yang sehat secara mental, serta menjunjung tinggi nilai-nilai adil jender dan kesetaraan yang sejati.
Oleh karena itu upaya kesetaraan jender membutuhkan komitmen dan tekad yang kuat dari semua pihak sebagai basis utama dalam usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan juga pemenuhan Hak-hak Asasi Perempuan Internasional.
Dengan demikian, masa depan dunia yang terbayangkan, dengan penuh kesetaraan, martabat, dan kesempatan, serta terbebas dari segala bentuk diskriminasi, kekerasan, serta konflik perang berkepanjangan, bukan tidak mungkin bisa terwujudkan.
Karena sesungguhnya segala pertolongan atas upaya-upaya baik itu pasti datang dari Tuhan, dan kemenangan itu begitu teramat dekat. Selamat peringati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Internasional 2024 (16 HAKTP/ 16 Days of Activism Against Gender Violance). Lindungi Semua. Penuhi Hak Korban. Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan. Nasrun Minallah wa fathun qarib. Wallahu a’lam bisshawab. []