Mubadalah.id – Saya mengikuti sholat tarawih di Griya Dakwah Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan, yang diampu oleh Pengurus PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) setempat. Griya Dakwah adalah rumah besar yang berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 750 m² dan multifungsi. Ia menjadi tempat salat berjamaah sekaligus markas gerakan amal ibadah para pengampu Pimpinan Ranting Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Selain itu, ia juga menjadi tempat belajar mengaji Al-Qur’an dan sekolah bahasa Inggris bagi anak-anak dan orang tua di kampung itu. Ia sangat nyaman sebagai tempat retreat dan pendidikan kader bagi adik-adik IMM, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Badan Eksekutif Mahasiswa dari berbagai kampus di seputar Ciputat, Pamulang, Jakarta, dan Banten. Meski resminya menjadi milik PRM Pondok Cabe Ilir, namun fungsinya bisa siapa saja yang menggunakannya, selama untuk kegiatan kebaikan.
Suasana Salat Tarawih di Griya Dakwah
Salat tarawih di Griya Dakwah memang terasa berbeda. Imamnya anak-anak muda dari IMM. Bacaan Al-Qur’annya bagus, cepat, memilih ayat-ayat yang pendek yang terbaca dengan suara merdu; rasanya enak sekali di telinga. Ada kesyahduan, ketenangan, dan keteduhan di dalam hati.
Ada faktor lain yang membuat saya betah. Kami para jamaah memiliki kesamaan frekuensi, sehingga obrolan hingga guyonan tentang apa saja yang kami bicarakan setelah salat selalu nyambung, bahkan terkadang lupa hingga terlalu larut untuk pulang ke rumah.
Seperti dalam ritual salat tarawih di tempat lain, setelah salat Isya’, ada ceramah selama tujuh menit yang tersampaikan oleh seorang penceramah yang ditunjuk. Malam tadi, pemberi ceramahnya adalah seorang perempuan, yaitu Ustadzah Dr. Hj. Umi Musyarofah, MA.
Dia adalah dosen di UIN Ciputat, berpengetahuan luas, dan mampu menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara lugas dan argumentatif di depan para jamaah tarawih di antara barisan laki-laki dan perempuan. Komposisi barisan jamaah perempuan dan laki-laki memang sengaja kami buat sejajar, dengan meja kayu belajar yang berfungsi sebagai separator.
Panggung Ceramah Bukan Hanya Milik Laki-laki
Penceramah perempuan itu berdiri tegak di depan barisan jamaah perempuan. Kesan saya, ia memiliki jam terbang tinggi sebagai penceramah. Pesan keagamaan yang beliau berikan seputar anjuran untuk meningkatkan amalan baik di bulan Ramadan. Mulai dari memperbanyak zikir, salat-salat sunnah selain tarawih, membaca dan memahami Al-Qur’an, menyantuni orang lain yang sedang dalam kesusahan, dan seterusnya. Amalan-amalan tersebut akan mampu memantapkan keimanan seorang hamba kepada Allah.
Usai salat tarawih, saya mendatangi penceramah perempuan untuk mengapresiasi kesediaannya mengisi kultum pada malam hari ini. Dia bercerita bahwa di bulan Ramadan ini ia juga akan mengisi ceramah yang sama di masjid Bekasi. Saya sekali lagi mengapresiasinya, mengingat jarang sekali ada perempuan yang diberi kesempatan untuk mengisi ceramah tujuh menit di bulan Ramadan.
Selama ini kesan yang muncul selalu seragam, bahwa seolah-olah panggung ceramah itu hanyalah menjadi mimbar milik laki-laki. Seharusnya, perempuan tidak menuai hambatan dalam mengisi ceramah. Mengingat agenda ceramah tujuh menit itu adalah budaya dari hasil kreasi manusia belaka. Ritual selama tujuh menit di antara usai salat Isya dan sholat tarawih itu bukan ibadah wajib yang tata caranya kita atur secara rigid dalam ilmu fiqih.
Mengapa Perempuan Boleh Menjadi Penceramah?
Bagi saya, perempuan boleh menjadi penceramah di bulan suci Ramadan. Alasannya karena materi ceramah yang tersampaikan akan terkait dengan problematika manusia yang melintasi batas jenis kelamin. Misalnya soal perintah untuk memperbanyak amalan baik di bulan Ramadan. Bukankah perintah itu bernilai universal bagi manusia, tidak ada pembeda antara laki-laki maupun perempuan?
Oleh karena itu, pesan kebajikan itu seharusnya tidak boleh kita batasi hanya tersampaikan oleh salah satu pemilik jenis kelamin saja. Pesan-pesan baik hendaknya juga bisa disampaikan baik oleh laki-laki maupun perempuan, karena pesan itu juga diperuntukkan bagi semua jenis kelamin.
Saya juga bertanya kepada Dr. Edi Amin, yang sehari-hari menjadi dosen di UIN Ciputat, sekaligus menjabat sebagai sekretaris PRM Pondok Cabe Ilir dan juga sebagai “Imam Besar” di Griya Dakwah. Baginya, penunjukan perempuan sebagai pengisi acara kultum Ramadan adalah hal yang sangat lumrah.
Bahkan, dia telah mengagendakan untuk tiga perempuan lain yang akan mengisi ceramah Ramadan nanti. Hal itu juga didasarkan pada aspirasi jamaah perempuan yang menghendaki agar penceramah tidak dibatasi oleh satu jenis kelamin saja. Syukur-syukur mereka bisa menyampaikan pertanyaan-pertanyaan sesudah sholat tarawih. Intinya, panitia Ramadhan diminta untuk proporsional dalam membagi tugas penceramah.
Berikan Porsi Ceramah pada Perempuan
Memberikan porsi ceramah kepada perempuan juga menjadi perhatian khusus Sekum Muhammadiyah, sekaligus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti. Sebagai penasihat PRM Pondok Cabe Ilir dan bertempat tinggal di wilayah itu. Beliau berpesan agar panitia selalu berlaku proporsional dalam membagi tugas-tugas ceramah. Penceramah sebaiknya tidak hanya berasal dari satu entitas.
Semoga gagasan baik ini bisa menjadi teladan bagi pengelola masjid dan kelompok pengajian di lingkungan Muhammadiyah dan Aisyiyah di tempat lain. Himbauan yang sama juga berlaku bagi para pengampu tempat-tempat pengajian yang diadakan oleh pengurus Aisyiyah.
Para pengisi acara pengajian hendaknya tidak kita batasi hanya pada salah satu jenis kelamin saja. Mengingat tema diskusi yang kita bicarakan akan selalu merujuk pada problematika anggota jamaah yang memiliki dimensi luas. Pembatasan pengampu materi yang hanya kita berikan kepada salah satu jenis kelamin, justru akan mempersempit ruang yang seharusnya berdimensi luas. []