Mubadalah.id – Apakah wajar suami menuntut istri cantik? Simak cerpen tentang Nina ini. Nina bukanlah gadis tercantik yang pernah kutemui, tapi dulu dia adalah satu-satunya perempuan yang membuatku jatuh hati. Bagiku Nina adalah yang tercantik. Memasuki kepala tiga, dengan dua anak kami yang dilahirkannya, wajah imut dan badan Nina tidak banyak berubah. Hanya sayang … Nina jarang memoles diri dan lebih sering memakai daster yang membuatnya terlihat lebih tua dari usianya.
Padahal di luar sana banyak yang membuat mata ini lelah. Di mana-mana isinya wajah perempuan cantik. Melihat televisi, artis bening semua. Di medsos, para perempuan muncul dengan wajah terbaiknya. Tak peduli itu wajah warisan, efek kamera, canggihnya aplikasi atau karena editan. Belum lagi di kantor. Teman kerja perempuan banyak yang tampil necis, rapi dan wangi.
Demi menyelamatkan mata yang mulai sepet, kutekadkan membawa tema ini sebagai bahan pillow talk kami sebelum tidur.
“Ayah belum tidur?” Nina muncul dengan mata lelah. Dia baru saja menemani dua jagoan kami yang selalu menagih dongeng sebelum tidur. Seperti malam-malam sebelumnya, Nina mengenakan daster favoritnya. Berwarna biru yang sudah pudar dengan motif bunga. Kalau disekolahkan, daster Nina sudah kelas dua SD dan sudah pintar baca.
“Belum, nunggu Dinda.” Pipi istriku merona dipanggil Dinda. Ternyata sangat mudah membuat istri tersenyum selain diberi uang belanja.
“Tumben … biasanya langsung tidur sambil meluk handphone,” sindir Nina sambil menata bantal-bantal lebih tinggi untuk menyangga punggungnya.
Kuacungkan benda yang sering membuat Nina cemburu sebelum disimpan jauh di bawah lantai. “Dinda lebih penting dari handphone. Yang ini gak bisa diajak susah senang bersama. Kerjanya minta pulsa sama kuota.” Nina tertawa kecil mendengar ocehanku. Terlalu sering kudengar keluhan tentang kebiasaanku yang dianggapnya keterlaluan bersama produk teknologi yang satu ini.
“Besok Bunda belanja baju yang banyak. Ayah ingin lihat Bunda pakai baju lain biar bisa tetap cantik meski di rumah.” Akhirnya kusuarakan juga isi hati.
“Ayah gak suka lihat Bunda dasteran terus?” Nina sepertinya mengerti arah pembicaraan kami. Ia tak jadi menarik selimut. Matanya melebar mungkin karena mendengar kata belanja.
“Katanya kan istri yang baik itu akan menyenangkan jika dilihat. Tolonglah mata para suami. Di luar sana banyak godaannya.” Aku memasang wajah melas. Berharap Nina mengerti.
“Memangnya kalau para istri tampil cantik dan semua perempuan di luar sana menutup auratnya, otak laki-laki akan tetap lurus dan kalem tanpa berpikir untuk melirik dan menggoda perempuan lain?” jawab Nina membuatku tak berkutik. “Perintah menjaga pandangan dan memelihara kemaluan itu disebut Allah juga untuk lelaki dan perempuan sepaket dengan perintah menutup aurat.”
“Iya deh … kita harus saling jaga satu sama lain.” Nina makin pintar saja setiap harinya. Entah di mana dia mengaji. Kusudahi pembicaraan malam itu dengan memberinya kartu ATM tempat menyimpan uang tabungan di luar uang belanja yang rutin kuberikan padanya.
Nina benar-benar mengikuti keinginanku. Pulang kerja, dia sudah menunggu dengan senyum termanisnya. Parfum wangi lembut menyapa hidungku saat di dekatnya. Dia juga mengganti model baju dan potongan rambut. Riasan tipis tampak mempertegas kecantikan wajahnya. Rasanya aku kembali jatuh cinta pada orang yang sama.
“Bunda juga beli kaos dan celana katun yang nyaman untuk Ayah pakai di rumah. Sama parfum bagus yang wanginya pasti suka. Ayah juga harus tampil ganteng untuk istri. Jangan cuma pakai kaos singlet dan sarung doang. Bau ketek dan keringat lagi!” Aku nyengir mendengar Nina menyindir seragam kebesaranku selama di rumah.
“Siap laksanakan Dinda Ratu ….” Kusimpan tangan di pelipis menyambut perintahnya. Nina tergelak seraya menyerahkan kembali kartu ATM yang kuberikan tadi malam.
“Makasih ya Ayah … hari ini Bunda bahagia sekali. Baru kali ini Bunda bisa sepuasnya belanja. Kata Ayah kan harus tampil cantik. Jadi tadi sekalian ke salon sama beli make up dan skin care yang udah lama Bunda incar.”
Nina kembali tersenyum lebar sambil mengeluarkan beberapa nota dari saku bajunya sebelum pergi. Kubuka sekilas sebelum nanti kertas-kertas itu berakhir menjadi sampah. Seketika tujuh ratus bintang menari. Angka-angka yang tertera langsung membuatku memijit pelipis. Ludes sudah tabungan yang kusimpan berbulan-bulan lamanya.
Hari ini aku membuat catatan untuk para suami: Jangan suami menuntut istri cantik seperti Nia Ramadhani kalau tak sanggup memberi seperti Ardi Bakrie, sebab di balik bedak dan lipstik istri ada tangan suami yang memodali. []