Mubadalah.id – Usulan pemerintah untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional memantik penolakan dari banyak kalangan.
Salah satu penolakan paling keras datang dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia yang justru menjadi korban langsung dari kebijakan Orde Baru.
Ketua PBNU, Savic Ali, dan ulama kharismatik KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) sama-sama menyatakan penolakannya terhadap rencana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Savic Ali seperti dikutip dari berita di Mubadalah.id mengingatkan publik bahwa sejarah mencatat bagaimana Orde Baru mengebiri NU di segala level, dari politik, pendidikan, hingga sosial-keagamaan.
“Orde Baru dalam sejarahnya mengebiri Nahdlatul Ulama di segala level. Mulai dari politik sampai pendidikan,” ujar Savic.
Baginya, gagasan untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan jelas tak masuk akal. “Kalau Soeharto menjadi pahlawan, gak ketemu nalar kita karena Soeharto bagian dari masalah; legacynya banyak yang bermasalah, korbannya banyak sekali,” tegasnya.
Gus Mus: “Orang NU yang Mengusulkan, Tidak Ngerti Sejarah”
Penolakan serupa disampaikan oleh Mustasyar PBNU, Gus Mus. “Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Gus Mus seperti dilansir dari NU Online.
Gus Mus yang juga menegaskan usulan semacam ini menunjukkan bahwa sebagian orang telah kehilangan kepekaan terhadap sejarah dan penderitaan bangsanya sendiri.
“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.
Pernyataan Gus Mus ini menampar kesadaran kolektif kita. Sebab, bagaimana mungkin seorang diktator yang membungkam kebebasan rakyat, menindas umat Islam terutama warga NU, dan merampas hak masyarakat bisa kita sebut pahlawan?
Sejarah telah mencatat bahwa Soeharto naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta merangkak pasca peristiwa 1965. Jutaan orang ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh atas tuduhan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ia kemudian membangun rezim yang kokoh dengan kontrol militer, birokrasi, dan Partai Golkar. Dari situlah Orde Baru berdiri. Bahkan menjadi alat kekuasaan untuk mengontrol rakyat, media dibungkam, aktivis ditangkap, dan kebebasan berpikir kebiri.
Menolak Pemutihan Sejarah
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar keputusan keliru, tetapi bentuk nyata pengkhianatan terhadap sejarah dan para korban masa Orde Baru. Bahkan langkah tersebut sama saja dengan upaya pemutihan sejarah.
Hal ini tentu sangat berbahaya, karena generasi muda tumbuh tanpa mengenal sisi gelap kekuasaan yang pernah mencengkeram bangsa ini. Bahkan menjadi rezim yang membungkam suara rakyat, menindas kebebasan, dan warga NU.
Jika pemerintah nekat mengangkat Soeharto sebagai pahlawan. Maka sama saja dengan melukai kembali para korban pelanggaran HAM, membungkam suara aktivis, dan menghapus ingatan kolektif tentang matinya demokrasi di bawah Orde Baru.
Pahlawan Tak Lahir dari Penindasan
Oleh karena itu, penting untuk saya tegaskan bahwa Soeharto bukan pahlawan. Ia adalah bagian dari babak kelam bangsa ini.
Di atas, Gus Mus dan Savic Ali sama-sama telah mengingatkan bahwa pahlawan adalah mereka yang berkorban demi rakyat, bukan mereka yang membuat rakyat menderita.
Maka dari itu, menolak Soeharto menjadi pahlawan bukanlah sikap dendam, melainkan wujud tanggung jawab moral terhadap kebenaran sejarah. Sikap ini lahir dari kesadaran bahwa bangsa yang besar tidak boleh kita bangun di atas kebohongan. Melainkan di atas keberanian untuk mengakui masa lalunya dengan jujur.
Dengan begitu, memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menutup mata terhadap penderitaan rakyat yang menjadi korban represi Orde Baru.
Itu artinya, negara sedang mengajarkan kepada generasi muda bahwa kekuasaan yang menindas pun bisa diampuni atas nama pembangunan. Padahal, tidak ada pembangunan yang layak dipuji jika dibayar dengan pembungkaman dan penindasan.
Mari, sejarah tidak boleh tunduk pada kepentingan politik sesaat. Ketika sejarah dibungkam oleh kekuasaan, bangsa ini akan tersesat, kehilangan arah, dan gagal membedakan siapa yang benar-benar berjuang untuk rakyat dan siapa yang justru menindasnya.
Oleh sebab itu, menolak Soeharto sebagai pahlawan adalah upaya mempertahankan agar bangsa ini tetap waras. Juga, agar kebenaran tidak boleh mati di bawah kekuasaan yang pernah membungkam dan menindasnya. []











































