Mubadalah.Id- Di era digital, informasi sangat mudah tersiar, viral, dan menjadi perbincangan di berbagai media. Tidak seperti dulu, informasi tersebar ke masyarakat hanya bersumber dari media massa seperti televisi atau koran. Sekarang bukan hanya jurnalis Televisi atau koran, sekarang semua orang memiliki kebebasan menyebarluaskan informasi. Inilah contoh kecil masifnya citizen journalism atau jurnalisme warga.
Istilah citizen Journalism merujuk pada kegiatan masyarakat umum; bukan jurnalis profesional yang melaporkan kejadian, menyebarkan informasi, membuat berita, hingga menanggapi berita.
Tentu, akses informasi jadi lebih mudah sampai ke berbagai penjuru. Tetapi hal ini menyimpan fakta pahit, yaitu berita bohong pun semakin mudah tersebar. Begitu juga pro kontra atas suatu pemberitaan, semakin mudah memecah masyarakat berdasarkan opini masing-masing.
Jadi, mari kita bedah lagi bagaimana peran wartawan atau jurnalis dalam produksi informasi. Sehingga kita dapat meneladani prinsip dan etika jurnalisme ketika menyebarkan informasi di berbagai media.
Memahami Etika Jurnalisme Inklusi
Kita sama-sama tahu bahwa peran jurnalis sangat vital untuk memproduksi dan menyebarkan informasi ke masyarakat dari berbagai media. Oleh sebab itu, setiap jurnalis harus memahami etika jurnalisme sebagai pedomanya.
Ada satu perbincangan menarik di sesi webinar Mubadalah beberapa waktu lalu. Kak Anita Dhewy; jurnalis konde.co selaku narasumber memaparkan berbagai macam rules sebagai seorang jurnalis. Bagaimana seorang jurnalis bukan hanya menyampaikan berita, tetapi memaparkan fakta. Seorang jurnalis harus memiliki kepekaan terhadap berbagai isu yang ada di masyarakat.
Kemudian jika berbicara tentang inklusif, seorang jurnalis harus menyajikan informasi yang berimbang; termasuk dari perspektif minoritas. Peliputan dan penyajian berita hendaknya merepresentasikan suara dari kelompok minoritas; termasuk teman-teman disabilitas. Sehingga informasi yang tersebar akan lebih beragam dan kaya perspektif.
Kak Anita juga memaparkan perspektif GEDSI (Gender Equity Disability and Social Inclusion) sebagai pedoman ketika menyajikan berita, jurnalis harus memahami prinsip-prinsip kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusif di lingkup sosial agar tidak ada kelompok yang luput dari peliputan. Dampaknya akan menghindarkan jurnalis dari peliputan yang diskriminatif, bahkan berujung pada clickbait semata.
Satu hal lagi yang paling penting dalam etika jurnalisme inklusi adalah tentang empati. Kak Anita berkali-kali menegaskan soal empati dalam meliput berita terkait disabilitas. Setiap manusia memang perlu melatih empati. Jurnalis membutuhkan skill ini agar bisa meletakkan pandangan pribadinya dan berusaha memahami dari sudut pandang disabilitas atau kelompok minoritas lainnya.
Prinsip jurnalisme inklusi ini tidak hanya berlaku bagi seorang jurnalis. Tetapi sangat penting juga bagi masyarakat yang hendak menyebarkan berita di berbagai media pribadinya. Ya, kita tahu masyarakat sangat mudah terbawa hoax, hal semacam ini agar tidak semakin banyak terjadi di Indonesia.
Setiap Masyarakat Bisa Menjadi Jurnalis. Benarkah?
Pasti sering kan melihat suatu berita viral di media sosial bermula dari satu postingan seseorang? Seperti berita seseorang memviralkan kasus bullying, pencurian, penipuan, KDRT, perselingkuhan, hingga update terkini kondisi bencana di suatu daerah. Inilah bentuk nyata praktik citizen journalism.
Jika menyangkut sebuah profesi, berdasarkan pasal 1 nomor 4 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, kegiatan jurnalitik untuk berita di media massa adalah pekerjaan wartawan. Kemudian pada pasal 8 menyebutkan bahwa mereka mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya.
Menariknya, di Indonesia media sosial bukan hanya menjadi tempat hiburan, melainkan berkembang sebagai sarana saling bertukar informasi. Bahkan tak jarang, wartawan pun memberitakan kabar di media massa bersumber dari hasil citizen journalism.
Sebuah simbiosis mutualisme. Masyarakat memiliki kebebasan akses media dan kebebasan berpendapat. Begitupun jurnalis mendapatkan informasi yang lebih beragam dari jejaring internet.
Ya, setiap masyarakat bisa menjadi jurnalis. Beginilah konsep citizen journalism yang membuka kesempatan bagi setiap masyarakat untuk membagikan berita tanpa berprofesi sebagai wartawan di media massa. Mereka bisa membagikan informasi, menyajikan berita lewat unggahan di akun-akun media sosial seperti Instagram, TikTok, X, Facebook atau Threads.
Meskipun bersifat bebas, tetapi unggahan berita di laman media sosial harus tetap memperhatikan etika jurnalisme, ya. Di antaranya adalah tidak mengangung unsur kebohongan (hoax), tidak memicu konflik, SARA, tidak mencemarkan nama baik seseorang atau instansi, dan melakukan verifikasi.
Selain itu mengunggah di media sosial pribadi, tetap harus melakukan verifikasi atau berdasarkan persetujuan pihak terkait ya. Sebab jika melanggar hal-hal ini, akan berpotensi pada melanggar Undang-Undang, yaitu melanggar melanggar UU ITE.
Begitu juga dengan prinsip jurnalisme inklusi. Seiring berjalannya waktu, jurnalisme inklusi bukan hanya menjadi prinsip bagi wartawan saat meliput berita. Hal ini harus menjadi tanggung jawab bersama saat menyebarkan berita di media sosial peribadi atau praktik citizen journalism. []











































