Mubadalah.id – Di sela-sela gelaran temu lintas iman bertajuk Tanah Air (Itu) Bhinneka (TAB) VI oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menyeruak kabar bencana banjir yang mendera Sumatera tiba. Gelondongan kayu dan sampah tampak ikut hanyut.
Mendadak, rasa sangsi muncul “Bagaimana iman bertanggung jawab terhadap itu semua? Setidaknya, bagaimana iman melahirkan kepedulian terhadap lingkungan?”
Di TAB, saban usai sesi makan, sampah menumpuk di ujung mulut jalan. Ringan saja tangan kita bertakacuh pada kotak nasi, mika plastik, belulang daging, juga kulit buah. Sebagian telah berkenan sadar memilah, meski juga timbul secuil bangga dan rasa “wah” sebagai Sang Pemilah—petugas kuning.
Sementara, sebagian peserta lain memilih untuk ber-tawakkul kepada para pemilah itu. Mungkin, pikiran mereka begini, “Apalagi? Toh, udah kenyang, kan?”
Biarlah tukang sampah yang nanti mengurus. Lagi pula, Interfidei (host penyelenggara) tentu sudah bayar iuran. Kami tidak perlu pusing-pusing! Hmm…apa iya TAB ini sekadar menyambung rasa kepada manusia?
Sementara, pada sang alam, kita tak punya sebentuk hati?
Di Pesantren
Saya tumbuh di pesantren, tempat yang rutin menghelat kegiatan pengajian saban tiga puluh lima hari sekali (selapan). Pada malam penyelenggaraannya, bejubel orang takzim menyimak zikir, merapal munajat, juga mendengarkan lantunan kalam-kalam ilahi beserta wejangan-wejangan rohaninya.
Semuanya khusyu, seakan Tuhan turut mengada bersama dan hadir dalam wujud agung-Nya. Seusai bermunajat, pelbagai hidangan menyambut: snack berbungkus plastik, air berkah dalam botol, serta sepiring kudapan berat. Komplit sudah!
Sayangnya, seusai pengajian itu, sampah tertinggal. Jarang sekali ada jemaat yang berkenan membawa pulang sampahnya sendiri. Seringnya, mereka hanya membawa botol berisi air berkah yang diyakini punya manfaat.
Sementara, sampah yang acap bersemat label kotor, tertinggal begitu saja. Tanpa penyentuh. Tiada pembawa. Bukankah para santri yang nanti akan membereskannya? Peduli amat susah-susah bawa sampah?
Di titik itulah sebentuk protes menetes. Apakah iman hanya soal kebutuhan transaksional? Hamba berdoa, bermunajat, demi beroleh runtuhan nikmat dari Sang Paduka?
Namun, perihal sampah begini, iman tak punya energi. Iman lesu. Ia lepas tangan. Kebersihan dan keberlanjutan lingkungan tak jadi bagiannya. Sungguhkah begitu?
Semangat Ekoteologi Mandek?
Lama sudah dorongan akan pentingnya implementasi paradigma ekoteologi mewajah. Namun, hingga hari ini, hingga pelaksanaan temu lintas iman (interfaith) sekaliber TAB VI, kata eko- masih belum bermanifestasi.
Kita masih sibuk mengurus eksplorasi teologi. Tentunya hal itu tak salah. Apalagi, di negeri yang mendaku religius ini, masalah teologi tak pernah sepenuhnya beres.
Antaragama masih hobi gontok-gontokan. Hebatnya, TAB VI berhasil merajut anak-anak negeri dengan diversitas teologi untuk berpadu. Tapi tentu, kita tak boleh mandek di sana.
Iman kita mesti memberi energi untuk lebih peduli pada lingkungan, sebagaimana dalam iman penghayat Sapta Darma. Bagi mereka, alam semesta merupakan bagian tak terpisahkan dari diri sendiri.
Mereka memegang teguh kewajiban memayu hayuning bagya bawana. Tugas merawat dan menebar kebahagiaan di atas muka bumi. Demikianlah paparan Sekretaris Tuntunan Agung Sapta Darma, Suharto.
Belajar dari Penghayat Sapta Darma
Suharto menegaskan, penghayat Sapta Darma yang sungguh melaksanakan ajaran akan senantiasa peduli terhadap lingkungan. Keselarasan manusia dan alam serupa hubungan antara jasmani dan rohani.
Keduanya saling melekat, melengkapi, dan menyempurnakan. Demikianlah. Interaksi antara alam semesta dan para penghayat sedemikian dekat, erat, lagi lekat.
Sementara, sampah dan segala kotoran, serupa dengan nafsu. Nafsu merupakan anugerah yang mesti dikelola. Begitu halnya dengan sampah. Ia semestinya beroleh pengelolaan, bukan pengabaian dan pelepastanganan.
Setiap manusia punya tanggung jawab yang sama. Sebab, lingkungan yang sehat merupakan dasar dari tubuh yang waras. Selaras dengan Salam Waras yang senantiasa penghayat Sapta Darma ujarkan.
Sebagai penghujung, TAB VI tahun ini membuka mata akan semangat iman yang lebih luas. Iman yang berkenan untuk bekerja keras melawan degradasi lingkungan.
Cukuplah sudah serangkaian bencana mengirim reminder. Tiba waktunya iman kita bergerak, mendorong perubahan. Jika bencana lingkungan serupa azab, maka bukankah merawat alam berarti menebar rahmat? []












































