Mubadalah.id – Citizen journalism alias jurnalisme warga menjadi hal lumrah dewasa ini. Sarana teknologi informasi telah mempermudah semua orang untuk sama-sama menjadi penebar berita. Tapi, apakah pernah terbayang jika citizen journalism kita rawan dikelindani semangat Ummu Jamil?
Tentu orang jamak tahu siapa Ummu Jamil. Ialah istri Abu Lahab yang oleh Alquran, dalam Surat Al Lahab, beroleh titel “hammalah al hathab“. Yakni sang pembawa tali dari sabut. Gelar itu merupakan sindiran bernada merendahkan (tawbieh). Pasalnya, Ummu Jamil gemar menebar fitnah.
Fitnah inilah yang mesti kita sangsikan. Apakah citizen journalism kita sungguh telah memberitakan peristiwa dengan sebenarnya? Apakah juga pemberitaan itu melindungi hak-hak kalangan rentan atau subaltern? Bagaimana pula dengan hak-hak penyandang difabel?
Beberapa kesangsian itu kiranya akan mengantarkan kita pada sikap yang lebih moderat (awsath). Kita tak boleh lugu-lugu amat kala menerima berita. Siapa tahu, berkelindan hoaks atau disinformasi yang sengaja mengudara.
Kita juga tak semestinya bergegabah menyambung berita sebelum jelas putih terangnya; juga hitam gelapnya. Adagium “saring sebelum sharing” layak menjadi acuan. Kini, bertambah lagi adagium anyar “pause before post“. Tahan, sebelum sok tahu!
Citizen journalism dalam ombak ‘No viral, no justice‘
Masalah citizen journalism hari ini juga menyangkut mazhab viralitas. Orang makin percaya bahwa viral merupakan acuan tunggal untuk menuai keadilan. Seakan, sumber keadilan itu ada pada seberapa banyak orang tahu. Alih-alih seberapa mau orang peduli.
Tak mengherankan jika kini kita acap menjumpai hal-hal aeng seperti ini: saat terjadi kecelakaan, orang sibuk memviralkan; alih-alih menolong korban. Derasnya ombak viralitas membuat orang lupa untuk menyaring, gagap untuk mem-pause.
Padahal, dalam mazhab ‘no viral no justice‘ itu, berkeliaran narasi dan emosi. Fakta menjadi serupa plastisin yang liat lagi enak dikiyak-kiyuk. Emosi berdiri gagah menindihi fakta dan verifikasi. Sungguhkah kebohongan kini lebih gagah dari kenyataan?
Mazhab viralitas juga berpotensi melahirkan standar ganda dalam proses penegakan keadilan. Narasi yang ayu bisa menggoda opini publik. Berita sensasional segera ditindak, sementara peristiwa yang tak cukup nyaring dipojoksudutkan dahulu.
Agaknya, praktik citizen journalism yang bertuhankan viralitas ini lebih serupa lomba teriak. Siapa yang lebih lantang, nyaring, dan menarik kuping publik, dialah sang jawara. Terlepas dari benar-salahnya, juga akurat-melesetnya!
Jurnalisme warga, bukan berarti warga adalah jurnalis
Citizen journalism memang memberikan ruang dan akses kepada siapapun untuk menjadi pembawa warta. Sekadar berbekal gawai dan medsos, warta bisa segera mengudara. Orang dari penjuru lubang semut pun bisa tahu warta yang disebarkan.
Namun, perlu menjadi kesadaran bersama, bahwa jurnalisme warga tak lantas berarti bahwa setiap orang adalah jurnalis. Jurnalis terikat oleh kode etik jurnalisme. Mereka tak boleh asal bunyi (asbun), apalagi menjelma serupa Ummu Jamil—pengimpor hoaks.
Jurnalis harus memberitakan berita dan fakta sebagaimana wujudnya. Tak boleh ada “pengenaan pakaian” terhadap fenomena yang mengada. Fakta mesti lugu, suci dari tedheng aling-aling. It is what it is!
Keduanya juga memiliki peranan yang berbeda. Jurnalisme warga lebih berfungsi untuk menggerakkan, misalnya menggalang solidaritas. Karenanya, narasi dan emosi lebih berperan. Keberpihakan juga jelas.
Sementara, tugas dari jurnalis profesional adalah memberitakan. Mereka bertanggung jawab untuk membuat orang tahu. Namun, dalam implikasi yang lebih luas, jurnalis juga bergerak sebagai mesin demokrasi (Schudson, 1995 dalam Salsabila, K. & Rochani, I., 2022).
Tentu kita tidak lupa, bahwa demokrasi berdiri di atas kaki transparansi dan kepercayaan, bukan?
Sadar bersama, bergerak berjemaah
Pemahaman akan prinsip-prinsip citizen journalism yang baik kiranya bakal menuntun kita menuju aqwam at tharieq. Maksudnya, sebagai warga kebanyakan, kita bisa bersikap lebih hati-hati. Tak melulu memburu viralitas, namun akurasi dan verifikasi.
Kita sadar bahwa jurnalisme warga punya daya positifnya sendiri. Melaluinya, kohesi sosial bisa terbentuk. Orang bisa membangun keberpihakan kepada yang marjinal. Suara yang tak terdengar bisa lantang membunyi. Voice for the voiceless!
Daya untuk bergerak secara berjemaah ini tentu mesti bebas dari kepentingan segelintir orang. Intervensi-intervensi politis parsialis tak boleh merasuki. Karenanya, jurnalisme warga kita mesti kita jaga sendiri.
Pada ujungnya, kita mesti sadar untuk berjemaah mengawal narasi dan pemberitaan. Hoaks mesti kita lawan, misinformasi musuh bersama. Jurnalisme warga dapat berlaku sebagai ujung tombaknya.
Warga jaga warga! []












































