Mubadalah.id – Tahun ini, peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) berlangsung dalam suasana penuh duka. Di berbagai wilayah Indonesia mulai dari Aceh, Sumatera Barat, hingga Sumatera Utara, bencana banjir dan longsor menerjang, menyisakan kesedihan dan kepedihan bagi banyak keluarga.
Bencana yang terus berulang dan semakin sering ini bukan sekadar musibah tahunan. Ia adalah penanda betapa rusaknya hubungan antara manusia dan alam. Dan seperti biasa, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling terdampak dari bencana tersebut.
Ketika sebagian masyarakat membicarakan kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan, para ibu di pedalaman Aceh sedang mengevakuasi anak-anak mereka dari rumah yang terendam.
Juga, ketika aktivis menggelar diskusi soal perlindungan perempuan dalam kampanye 16 HAKTP, remaja perempuan di Langkat atau Deli Serdang sedang menunggu antrean panjang untuk sekadar mendapatkan air bersih.
Di titik ini, kita dipaksa melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tentang pukulan, pelecehan, atau tindakan fisik semata. Karena kerusakan alam dan lemahnya tata kelola lingkungan adalah bentuk kekerasan struktural yang menghantam tubuh perempuan.
Perempuan, Anak, Lansia dan Penyandang Disabilitas
Setiap kali bencana terjadi, maka perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas adalah orang yang paling terdampak dan sangat rentan.
Di banyak titik pengungsian di Aceh, Sumbar dan Sumut, perempuan harus mengatur semuanya. Mereka harus menjaga anak-anak yang terisak ketakutan, mengurus kebutuhan keluarga, mencari air bersih, memastikan makanan tersedia, dan tetap menjaga keamanan diri.
Padahal situasi pengungsian jauh dari standar ramah perempuan. Di sana tidak ada ruang privat, tidak ada sekat antara laki-laki dan perempuan, kurangnya air bersih, menimnya penerangan. Hingga kamar mandi jauh atau gelap.
Dalam kondisi seperti itu, risiko terjadinya kekerasan dipastikan meningkat. Seperti pelecehan seksual, intimidasi, pengawasan minim terhadap anak, dan lemahnya keamanan di dalam posko.
Oleh karena itu, tidak jarang perempuan memilih menahan diri untuk tidak pergi ke toilet pada malam hari karena merasa tidak aman. Sementara itu, perempuan yang sedang menstruasi kesulitan mendapatkan pembalut dan akses air bersih yang memadai.
Lalu, anak-anak yang kehilangan rumahnya menjadi lebih mudah mengalami trauma atau terpisah dari keluarga saat evakuasi.
Semua itu menunjukkan bahwa bencana sangat rentan terjadinya kekerasan. Bahkan tubuh perempuan adalah objek pertama yang menerima dampaknya.
Terjadinya Banjir dan Longsor
Berulangnya banjir besar dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan berbagai wilayah lainnya bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem. Para aktivis lingkungan sudah lama mengingatkan bahwa kerusakan ekologis di Sumatera kini berada pada titik kritis.
Salah satu faktor terbesar adalah alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Deforestasi yang masif membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Hutan-hutan yang sebelumnya menjadi penyangga longsor ditebang atau dibakar untuk membuka kebun baru.
Terlebih, di banyak daerah, sawit bahkan masuk ke kawasan lindung, merangsek mendekati pemukiman, dan menggerus lahan-lahan adat yang menjadi sumber hidup masyarakat setempat.
Sehingga, ketika hujan turun deras, tanah yang gundul tidak bisa menahan air. Lalu sungai meluap, desa-desa diterjang, rumah hanyut, jembatan putus, hingga jalur transportasi lumpuh.
Namun lebih jauh dari itu, kerusakan ekologis juga menciptakan ketidakadilan berlapis. Mereka yang paling lemah yaitu para perempuan, anak, lansia dan penyandang disabilitas menjadi korban utama dari kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan keselamatan manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Di titik inilah, kita harus berani mengakui bahwa bencana yang terjadi bukan hanya bencana alam. Ini adalah bencana kebijakan.
Kekerasan Struktural
Kekerasan terhadap perempuan tidak selalu hadir dalam bentuk yang kasat mata. Ada kekerasan yang jauh lebih luas dan panjang dampaknya, yaitu kekerasan struktural. Ketika sebuah perusahaan sawit membuka ribuan hektare lahan tanpa analisis risiko yang memadai. Maka tindakan itu bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga menjadi bentuk kekerasan terhadap masyarakat di sekitarnya.
Terlebih, ketika negara membiarkan konversi hutan terus terjadi tanpa kendali, itu sama saja dengan melakukan kekerasan terhadap generasi mendatang. Bahkan ketika suara perempuan adat yang selama ini menjaga hutan diabaikan demi kepentingan investasi. Maka itu adalah bentuk kekerasan terhadap tubuh dan ruang hidup mereka.
Di pengungsian Aceh, Sumut, dan Sumbar hari ini, kekerasan struktural itu terasa nyata. Perempuan yang tidak pernah dilibatkan dalam keputusan tata ruang, tidak pernah diundang dalam rapat perizinan, tidak pernah duduk di meja pengambil kebijakan. Justru harus menanggung akibat dari keputusan yang tidak pernah mereka setujui.
Aktivis Lingkungan: Kerusakan Alam = Kekerasan terhadap Perempuan
Para aktivis lingkungan dari Aceh, Sumatera, hingga jaringan nasional seperti Walhi dan Greenpeace telah berkali-kali mengingatkan bahwa kerusakan alam bukan hanya isu ekologi. Itu isu kemanusiaan, perempuan, dan keadilan sosial.
Dengan banyaknya hutan yang hilang artinya, membuat para perempuan harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air, akses terhadap pangan lokal berkurang, risiko bencana meningkat, kemiskinan semakin parah, tubuh perempuan lebih rentan menghadapi kekerasan.
Oleh sebab itu, bencana ekologis adalah bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan. Yang dampaknya sama saja, menyakiti, melemahkan, dan merampas hak dasar perempuan untuk hidup aman.
Sementara itu, meski perempuan menjadi korban paling terdampak, namun ia juga adalah penyintas yang paling kuat. Di banyak daerah, mereka justru menjadi kekuatan utama dalam proses pemulihan.
Mereka mengorganisir dapur umum, mengelola distribusi logistik, menjaga anak-anak agar tetap tenang, memetakan kebutuhan warga, dan memastikan kelompok rentan tidak terabaikan.
Bahkan, di beberapa daerah adat Sumatera dan Kalimantan, perempuanlah yang memimpin gerakan penyelamatan hutan. Mereka memantau alih fungsi lahan, mendokumentasikan pembukaan kebun sawit ilegal, dan menyuarakan hak-hak komunitas adat.
Namun perjuangan ini sering kali tidak tercatat. Tidak masuk laporan. Bahkan, tidak dianggap sebagai kerja penting. Padahal tanpa perempuan, banyak desa mungkin tidak akan selamat dari bencana.
16 HAKTP
Dalam momentum 16 HAKTP tahun ini, kita tidak bisa lagi membatasi pembahasan pada kekerasan domestik atau pelecehan seksual saja. Isu lingkungan harus menjadi bagian dari gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan.
Karena ketika tubuh perempuan dan tubuh alam hancur dalam pola yang sama. Ia dikorbankan demi keuntungan, dianggap tidak penting, bahkan dijadikan sebagai objek eksploitasi.
Jika kita sungguh ingin menghapus kekerasan terhadap perempuan, maka kita harus menghentikan alih fungsi hutan yang merusak dan menegakkan hukum terhadap perusahaan yang mengakibatkan bencana.
Juga termasuk melibatkan perempuan dalam perumusan kebijakan tata ruang, serta memperkuat gerakan perempuan penjaga hutan dan lingkungan.
Karena itu, memperjuangkan hak perempuan berarti juga memperjuangkan keadilan ekologis. Dan mungkin, di tengah banjir dan longsor yang semakin sering ini, kita harus mengingat satu hal yaitu
“Jika alam hancur, perempuanlah yang paling dulu merasakan deritanya. Dan jika perempuan bangkit, alam memiliki peluang untuk pulih kembali.” []










































