Mubadalah.id – Panitia Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan, Pantia Nurlaeli, menegaskan kembali realitas pahit kehidupan perempuan yang terus berulang. Para perempuan masih menjadi kelompok paling rentan menjadi korban kekerasan, baik di ruang publik maupun privat.
Oleh sebab itu, Nurlaeli mengajak peserta untuk menengok kembali pandangan al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad Saw sebagai fondasi nilai keadilan gender dalam Islam.
“Dalam banyak kesempatan, Nabi menunjukkan keberpihakannya terhadap perempuan,” ujar Nurlaeli membuka pemaparannya.
Ia mengingatkan kembali pesan Nabi dalam khutbah terakhir bahwa perempuan harus dimuliakan, dihormati, dan diperlakukan dengan adil. Ketika Nabi ditanya siapa yang paling pantas dihormati, beliau menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu,” sebuah pengulangan yang menjadi sinyal kuat bahwa perempuan memiliki kedudukan mulia di mata agama.
Nurlaeli juga menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan kemuliaan perempuan dengan sangat eksplisit.
Dalam QS. An-Nisa ayat 34, perempuan digambarkan sebagai pihak yang harus dijaga dan dihormati. QS. An-Nahl ayat 72 menyebut perempuan sebagai karunia. Sementara QS. At-Taubah ayat 17 menegaskan bahwa yang membedakan manusia hanyalah takwa, bukan jenis kelamin.
“Kalau Al-Qur’an sudah memuliakan perempuan sedemikian rinci, pertanyaannya: mengapa hingga hari ini korban kekerasan masih didominasi perempuan?” tanyanya, memberi jeda panjang yang membuat ruangan hening.
Perempuan Lebih Rentan
Pertanyaan itu menjadi pintu masuk untuk membedah akar kekerasan yang dihadapi perempuan. Menurut Nurlaeli, kerentanan perempuan bukan bawaan lahir. Perempuan menjadi rentan karena ditempatkan dalam sistem sosial yang tidak adil, yang membatasi gerak, menekan suara, dan mengendalikan tubuh mereka.
“Perempuan sering dilemahkan sejak kecil,” jelasnya. Mulai dari pembatasan ruang bermain, hingga anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi.
Ia mengutip contoh nyata yaitu dua remaja perempuan di Cirebon yang diperkosa ketika ibu mereka bekerja di luar negeri.
“Mereka tidak mampu melawan, bukan karena tidak kuat, tetapi karena ketakutan dan relasi kuasa yang membuat mereka membeku.” Rasa takut, malu, dan ancaman terhadap kehormatan keluarga menjadi alasan klasik yang membuat korban memilih diam.
Kasus lain sering kali terdengar yaitu perempuan mengalami kekerasan karena menolak cinta, karena hal sepele, atau bahkan karena persoalan uang yang jumlahnya tidak masuk akal.
“Apa artinya sepuluh ribu rupiah di zaman sekarang?” tanya Nurlaeli. “Tapi nyawa perempuan melayang karena alasan sesederhana itu.”
Ruang Domestik: Tempat di Mana Kekerasan Berakar
Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap perempuan bukan hanya terjadi di jalanan, tetapi justru di rumah sendiri. Ruang domestik yang sering digambarkan sebagai ruang aman menjadi lokasi di mana perempuan kehilangan kendali atas tubuh dan keputusannya.
“Pertanyaannya adalah perempuan ini milik siapa?” kata Nurlaeli. “Ketika belum menikah, ia harus minta izin ayah. Setelah menikah, harus minta izin suami. Bahkan untuk sekadar keluar rumah, yang orang-orang tanya adalah: ‘Anak sama siapa?’”
Ia menambahkan bahwa pertanyaan yang sama hampir tidak pernah ia tanyakan kepada laki-laki. Laki-laki bekerja, pulang malam, atau mengikuti kegiatan publik tanpa harus mempertanggungjawabkan urusan domestik.
Sementara perempuan tetap dibebani dengan seluruh kerja reproduktif: memasak, mengurus anak, pekerjaan rumah, dan segala tugas yang dianggap “kodrat”.
“Padahal pengasuhan adalah kerja dua orang tua, bukan satu,” tegasnya. Ia menggambarkan yaitu ibu menyiapkan sarapan, ayah memandikan anak atau mengajak bermain.
“Bonding itu penting. Ketika anak besar, ia akan mengingat peran kedua orang tuanya—bukan hanya ibunya.”
Nurlaeli tidak hanya berbicara sebagai aktivis atau pendamping korban. Ia juga berbicara sebagai perempuan yang mengalami bias itu secara langsung.
“Ketika saya pergi, orang tidak pernah bertanya soal pekerjaan yang saya lakukan. Mereka hanya bertanya, ‘Anak sama siapa?’” katanya.
Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk halus dari kontrol sosial yang membuat perempuan kehilangan otonomi, bahkan atas tubuh dan hidupnya sendiri.
Menggugah Kembali Kesadaran Kolektif
Menutup pemaparannya, Nurlaeli menekankan bahwa perubahan tidak akan terjadi jika masyarakat hanya fokus pada korban tanpa membongkar akar strukturalnya.
Karena kekerasan terhadap perempuan adalah konsekuensi dari budaya yang menormalisasi dominasi laki-laki, membatasi perempuan, dan menempatkan beban ganda pada mereka.
“Kita harus kembali ke nilai dasar yang diajarkan Islam. Jika Nabi memuliakan perempuan, bagaimana mungkin kita membiarkan kekerasan terus terjadi? Dan bagaimana mungkin kita membiarkan perempuan terus kehilangan dirinya dalam sistem yang tidak adil?,” ujarnya
Rangkaian 16 HAKTP hari itu bukan hanya ruang diskusi, tetapi ajakan untuk menelusuri kembali makna kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa memuliakan perempuan bukan sekadar ajaran agama tetapi tugas sosial, etis, dan moral yang harus kita tegakkan bersama. []







































