Mubadalah.id – Ketika bahasa masih membatasi, penyandang disabilitas tidak hanya menghadapi hambatan fisik, tetapi juga batasan sosial yang lahir dari kata dan sikap masyarakat. Saat masyarakat berbicara tentang penyandang disabilitas, bahasa yang mereka pilih sering kali mencerminkan cara pandang sosial terhadap mereka.
Sayangnya, dalam banyak situasi, cara bicara ini justru memperkuat stigma dan diskriminasi, bukan membantu inklusi. Bahasa yang masih tidak ramah terhadap penyandang disabilitas sering menjadi salah satu batasan terbesar yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Komnas Perempuan menyatakan bahwa stigma negatif masyarakat terhadap perempuan penyandang disabilitas dapat memicu diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.
Stigma bahasa bukan sekadar soal kata, tetapi tentang cara bahasa membentuk realitas sosial. Bahasa yang tidak inklusif bisa menciptakan gambaran bahwa penyandang disabilitas adalah “berbeda” secara sosial atau bahkan kurang mampu dari pada orang lain. Sehingga, tanpa mereka sadari, masyarakat sering menggunakan istilah atau ujaran yang membatasi martabat dan peluang penyandang disabilitas.
Ketika Bahasa Melahirkan Diskriminasi di Ruang Publik
Ketika bahasa masih membatasi disabilitas. Ruang publik mulai dari media, sekolah, hingga lingkungan sosial, sering kali belum sepenuhnya aman dan setara bagi mereka. Stigma bahasa muncul di berbagai aspek kehidupan sosial. Bahasa yang tidak ramah juga menciptakan hambatan sistemik yang lebih luas.
Penolakan dan perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas di masyarakat, termasuk penggunaan istilah atau sikap negatif, terus terjadi. Beberapa anak penyandang disabilitas mengalami penolakan, perundungan, hingga kekerasan hanya karena pemahaman masyarakat yang masih dipenuhi label negatif.
Ketika masyarakat menggunakan istilah “cacat” atau pandangan yang memosisikan penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan, secara tidak langsung bahasa ini menghalangi mereka dari kesempatan yang setara, seperti pendidikan, pekerjaan, dan interaksi sosial yang adil. Praktik semacam ini tidak hanya linguistik, tetapi juga melahirkan sikap sosial yang membatasi penyandang disabilitas dalam berpartisipasi di ruang publik.
Menuju Bahasa yang Inklusif dan Setara
Upaya untuk mengubah cara bicara ini dapat kita mulai dari pemahaman tentang istilah yang lebih inklusif. Istilah seperti “penyandang disabilitas” dianggap lebih manusiawi dan netral dibanding istilah yang memiliki konotasi medis atau negatif.
Perubahan istilah semacam ini juga memengaruhi cara pandang dan interaksi masyarakat. Selain itu, pendidikan inklusif juga menjadi salah satu strategi untuk menghapuskan stigma negatif yang bersumber dari cara bicara yang membatasi.
Bahasa adalah alat yang kuat. Ketika masyarakat terus menggunakan bahasa yang membatasi penyandang disabilitas, mereka secara tidak langsung ikut menempatkan kelompok tersebut dalam posisi sosial yang kurang menguntungkan. Untuk benar-benar menghapus stigma, masyarakat perlu mengadopsi cara bicara yang bukan hanya netral, tetapi inklusif, menghargai martabat, dan membuka akses yang setara bagi semua orang.
Dengan menyadari kekuatan kata dan memilih istilah yang tepat dalam komunikasi sehari-hari, kita bisa membantu menciptakan lingkungan sosial yang lebih adil dan inklusif bagi penyandang disabilitas. Perubahan kecil dalam bahasa bisa menjadi langkah besar menuju masyarakat yang menghormati keberagaman kemampuan manusia.
Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan bahasa bukanlah isu sepele, melainkan masalah struktural yang memengaruhi kehidupan penyandang disabilitas secara luas. Menurut prinsip mubadalah, relasi sosial seharusnya kita bangun atas dasar kesalingan, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat setiap manusia.
Dalam konteks ini, bahasa tidak boleh memosisikan penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan atau pihak yang dianggap lebih rendah. Melainkan sebagai subjek setara yang memiliki hak, suara, dan peran yang sama dalam kehidupan sosial. []










































