“Menjadi manusia seutuhnya, Berarti mampu menyeimbangkan tubuh dan jiwa”
Mubadalah.id. Teknologi menghadirkan tantangan baru, terutama bagi generasi muda. Media sosial, aplikasi pesan, dan ruang digital membuka peluang interaksi tanpa batas. Sayangnya, kebebasan ini sering disalahartikan sebagai pembenaran atas segala hal yang terasa nyaman.
Banyak orang menilai kewajaran hanya dari rasa suka dan persetujuan bersama. Padahal, tidak semua yang terasa menyenangkan membawa kebaikan. Jiwa membutuhkan ukuran lain: apakah tindakan itu mendekatkan manusia pada Tuhan atau justru menjauhkannya?
Saat Waktu Mengajak Kita Berhenti
Akhir tahun sering menghadirkan jeda yang jarang kita temui di hari-hari biasa. Ritme hidup melambat, agenda mulai berkurang, dan pikiran punya ruang untuk menoleh ke dalam. Di saat seperti inilah, banyak yang mulai bertanya: selama ini, apa yang sebenarnya menggerakkan hidup kita? Apakah kita berjalan dengan kesadaran, atau sekadar mengikuti dorongan?
Pertanyaan semacam itu perlu kita hadirkan sebagai bahan renungan, terutama di tengah hidup modern yang terus mendorong kita bergerak tanpa henti. Notifikasi datang silih berganti, target menuntut untuk segera dicapai, dan kenyamanan instan terus menggoda perhatian. Dalam situasi ini, kita kerap menjalani hidup secara otomatis, bertindak karena terbiasa, bukan karena memilih dengan sadar.
Manusia sebagai Makhluk yang Diciptakan
Manusia tidak hadir di dunia ini secara kebetulan. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk, bukan sebagai pusat segalanya. Kesadaran sebagai makhluk seharusnya membentuk sikap hidup yang lebih rendah hati dan bertanggung jawab.
Tapi seringkali kita lupa. Kita bekerja, berinteraksi, dan menikmati hidup, sibuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa berhenti bertanya: ke mana semua ini bermuara? Aktivitas berjalan otomatis, seolah kita hanya mengikuti arus tanpa sadar memilih langkah.
Saat kita melupakan posisi sebagai makhluk, hidup terasa kabur, seperti berjalan di jalan yang tak bernama. Menyadari hal itu, bahkan sedikit, memberi kesempatan untuk menarik napas, menimbang langkah, dan menata kembali arah hidup sebelum tahun berganti.
Ketika Tubuh Memimpin Arah Hidup
Sebagai makhluk biologis, manusia membawa kebutuhan jasmani yang nyata. Tubuh meminta makan saat lapar, istirahat saat lelah, dan kesenangan saat jenuh. Semua itu bagian dari fitrah yang tidak bisa dihapus. Manusia tidak perlu memusuhi tubuhnya sendiri.
Kerapkali, persoalan mulai muncul ketika manusia tidak lagi sekadar mendengarkan tubuh, tetapi menyerahkan kendali hidup sepenuhnya kepadanya. Pada titik ini, rasa nyaman berubah menjadi kompas utama.
Manusia mulai mengukur kebenaran dari apa yang terasa enak, ringan, dan menyenangkan. Ia mengambil keputusan berdasarkan dorongan sesaat, bukan pertimbangan nilai dan norma. Perlahan, tanpa sadar, menyingkirkan suara hati yang mengajak berpikir lebih jauh tentang dampak dan tanggung jawab.
Ketika tubuh memimpin tanpa kendali jiwa, manusia mudah terjebak dalam lingkaran yang melelahkan. Terus mengejar kepuasan, tetapi jarang merasa cukup. Setiap kesenangan cepat berlalu dan menuntut pengganti yang baru. Hidup tampak ramai, tetapi batin terasa kosong. Dalam kondisi ini, manusia tidak kekurangan aktivitas, melainkan kehilangan arah. Ia bergerak terus, tetapi tidak selalu tahu ke mana dan untuk apa.
Suara Jiwa yang Sering Terabaikan
Di balik hiruk-pikuk kebutuhan jasmani, jiwa terus berbicara, meski dengan suara yang lebih pelan. Jiwa mengajak manusia berpikir tentang makna, tujuan, dan arah hidup. Jiwa mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal hari ini, tetapi juga tentang pertanggungjawaban.
Menutup Tahun dengan Keseimbangan
Akhir tahun menghadirkan ruang hening untuk menata ulang arah hidup dengan lebih jujur. Tidak selalu diperlukan resolusi besar yang penuh janji, karena sering kali perubahan lahir dari kesadaran kecil yang dijaga secara konsisten. Mendengarkan suara batin sebelum mengikuti dorongan tubuh, menimbang langkah sebelum bertindak, serta menghadirkan Tuhan dalam setiap keputusan menjadi bekal penting untuk melangkah ke depan dengan tenang.
Menjadi pribadi yang utuh bukan soal memilih antara tubuh atau jiwa, melainkan merawat keduanya agar tetap selaras. Tubuh memberi kekuatan untuk menjalani hari, sementara jiwa menjaga arah dan tujuan. Tantangan terbesar justru terletak pada kemampuan menjaga keseimbangan itu, terutama ketika kesibukan sering kali membuat kita lupa berhenti dan bertanya pada diri sendiri.
Saat tubuh dan jiwa berjalan seiring, hidup tidak lagi sekadar dijalani, tetapi direnungi dan disyukuri. Setiap langkah terasa lebih bermakna, setiap proses mengajarkan kedewasaan. Di titik inilah akhir tahun bukan sekadar penutup waktu, melainkan awal dari perjalanan batin yang lebih sadar dan penuh harap. []




















































