Mubadalah.id – Perlu kita sadari, hingga hari ini perempuan disabilitas masih hidup dalam situasi yang penuh dengan diskriminasi berlapis, dipinggirkan karena disabilitas sekaligus direndahkan karena dia perempuan. Realitas ini kerap luput dari perhatian kita semua, baik di ruang publik maupun dalam perumusan kebijakan.
Merujuk, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 mencatat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai sekitar 14,2 juta jiwa. Hampir setengahnya, sekitar 7,1 juta orang, adalah perempuan.
Angka ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa isu perempuan disabilitas bukan persoalan pinggiran, melainkan masalah struktural yang menyangkut jutaan warga negara dan menuntut penanganan yang sungguh-sungguh.
Secara hukum, perlindungan terhadap penyandang disabilitas telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-undang ini menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan setara dengan individu non-disabilitas. Negara berkewajiban menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas agar mereka dapat hidup aman, bermartabat, dan berdaya.
Realitas di Lapangan
Namun realitas di lapangan masih jauh dari amanat hukum tersebut. Akses terhadap fasilitas umum, pendidikan, layanan kesehatan, hingga perlindungan hukum masih sangat terbatas. Banyak ruang publik belum ramah disabilitas.
Bahkan, kesempatan untuk berkontribusi baik bagi laki-laki maupun perempuan disabilitas masih sering tertutup. Dan yang lebih memprihatinkan, persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas tidak berhenti pada soal fasilitas, tetapi juga pada stigma dan diskriminasi sosial.
Bagi perempuan disabilitas, stigma itu datang berlapis. Di satu sisi, mereka distigmatisasi karena disabilitas. Di sisi lain, mereka menghadapi konstruksi sosial tentang perempuan yang masih dianggap lemah, tidak mandiri, dan berada di posisi subordinat. Dua stigma ini saling menguatkan, menjadikan perempuan disabilitas kelompok yang paling rentan dipinggirkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak anggapan bahwa perempuan adalah pihak yang lemah dan tidak produktif.
Anggapan ini semakin diperparah ketika dilekatkan pada tubuh perempuan disabilitas. Mereka kerap dianggap tidak mampu, tidak berdaya, dan tidak layak diberi tanggung jawab.
Namun, bagi saya, cara pandang keliru ini akibat minimnya edukasi publik tentang inklusivitas dan hak-hak perempuan disabilitas.
Kondisi Perempuan yang Rentan
Perempuan, secara umum, masih menjadi kelompok yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender, baik di ruang publik maupun ruang privat. Kerentanan ini menjadi jauh lebih besar ketika perempuan tersebut adalah penyandang disabilitas, karena ia berada pada posisi yang sangat rentan dan sering kali minim perlindungan.
Keterbatasan fisik, sensorik, atau intelektual membuat perempuan disabilitas lebih mudah menjadi target kekerasan. Ironisnya, ketika kekerasan itu terjadi, mereka justru sering tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Banyak kasus pelecehan terhadap perempuan disabilitas tidak tertangani dengan baik, bahkan kerap terabaikan.
Lebih menyakitkan lagi, korban sering kali justru disalahkan. Pertanyaan-pertanyaan seperti “kenapa tidak menjaga diri?” atau “kenapa tidak melawan?” masih sering dilontarkan.
Pola pikir menyalahkan korban ini secara halus menegaskan asumsi bahwa perempuan termasuk perempuan disabilitas—lemah dan pantas menjadi korban. Bagi perempuan disabilitas, ini berarti beban yang harus mereka tanggung menjadi tiga kali lipat: stigma gender, stigma disabilitas, dan stigma sebagai korban.
Padahal, dalam prinsip ajaran Islam sendiri, diskriminasi semacam ini tidak memiliki dasar. Al-Qur’an secara tegas mengajarkan prinsip kesetaraan manusia.
Dalam QS. al-Hujurat ayat 13 disebutkan bahwa manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, dan kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin, kondisi fisik, atau latar belakang sosial, melainkan oleh ketakwaannya.
Ayat ini menegaskan bahwa misi utama Islam adalah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi.
Namun nilai normatif tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam praktik kehidupan kita. Pasalnya, perempuan disabilitas masih sering menjadi korban kekerasan, pelecehan, dan pengabaian baik oleh laki-laki maupun oleh lingkungan sosial terdekatnya.
Bahkan sesama perempuan pun tidak selalu hadir. Alih-alih mendapat dukungan, korban justru kerap menerima cibiran dan penghakiman.
Hukum Belum Inklusif
Masalah ini semakin rumit karena layanan publik di Indonesia belum sepenuhnya inklusif. Akses terhadap mekanisme pengaduan, layanan kesehatan, hingga proses hukum sering kali tidak ramah disabilitas.
Salah satunya adalah ketiadaan penerjemah bahasa isyarat bagi perempuan tunarungu membuat mereka kesulitan melaporkan kekerasan yang ia alami. Dalam hal ini, negara, dalam banyak kasus, belum benar-benar hadir.
Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan perempuan disabilitas bukan hanya soal individu, tetapi soal struktur sosial, ekonomi, dan kebijakan publik yang belum sensitif terhadap disabilitas. Selama negara dan masyarakat belum memahami bahwa perempuan disabilitas menanggung beban berlapis, maka ketidakadilan akan terus berulang.
Karena itu, sudah saatnya perempuan disabilitas, kita tempatkan sebagai subjek penuh. Mereka berhak atas perlindungan, akses, dan ruang yang setara. []




















































