Mubadalah.id – Di tepi laut Kota Cirebon, tepatnya di Blok Samadikun RW 10, Kelurahan Kesenden, Kecamatan Kejaksan, aktivitas pengolahan ikan asin menjadi denyut ekonomi yang menghidupi banyak keluarga. Lebih dari enam unit usaha pengolahan ikan asin beroperasi aktif di kawasan ini, memproduksi bahan pangan yang tersebar ke berbagai daerah.
Namun, di balik denyut ekonomi tersebut, menyimpan persoalan lingkungan yaitu limbah ikan asin. Limbah dari proses produksi baik berupa limbah padat seperti sisik, kepala, dan jeroan ikan, maupun limbah cair dari air cucian dan penggaraman, kerap berakhir di selokan atau langsung dibuang ke pesisir pantai. Praktik ini terus berulang, seolah menjadi konsekuensi yang tak terelakkan dari usaha pengolahan ikan.
Padahal, dampaknya begitu besar, bau menyengat mencemari udara, kualitas lingkungan menurun, dan pencemaran lingkungan.
Berdasarkan hasil observasi lapangan, satu unit usaha pengolahan ikan asin di Samadikun dapat menghasilkan sekitar 20 hingga 25 kilogram limbah padat dalam satu kali produksi.
Jika dalam satu minggu terdapat tiga hingga empat unit usaha yang aktif, maka limbah organik yang dihasilkan bisa mencapai delapan kuintal per minggu. Angka yang tidak kecil, dan terlalu mahal untuk terus diabaikan.
Berangkat dari realitas inilah, saya bersama enam rekan Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) ISIF melakukan riset aksi di Blok Samadikun RW 10.
Memanfaatkan Limbah
Ketika menelusuri area produksi ikan asin, kami menemukan masalah besar. Limbah padat yang selama ini dianggap tak bernilai justru mengandung protein hewani dalam jumlah signifikan. Jeroan dan sisik ikan, yang dibuang begitu saja, sebenarnya memiliki potensi besar untuk diolah kembali menjadi produk berguna.
Sayangnya, sebagian pelaku usaha masih terjebak dalam pola: ambil, olah, buang. Pola produksi linear ini memang cepat dan praktis, tetapi meninggalkan beban lingkungan yang harus mereka tanggung bersama.
Padahal, jika limbah tersebut diolah menjadi produk turunan seperti pakan ikan, manfaatnya sangat banyak: lingkungan lebih bersih, biaya produksi petambak menurun, dan peluang ekonomi baru terbuka.
Dari situlah gagasan “Pakan Ikan Mandiri” lahir. Bersama warga setempat, kami mulai merancang dan memproduksi pakan ikan berbasis limbah padat ikan asin. Proses pembuatannya relatif mudah dan dapat mereka lakukan dengan peralatan rumah tangga yaitu blender, baskom, gilingan daging, wajan, hingga kompor.
Namun, tantangannya adalah kandungan garam yang tinggi pada limbah ikan asin. Untuk mengatasinya, limbah harus melalui proses pencucian dan perebusan berulang agar kadar garam berkurang dan kotoran hilang. Proses ini memang membutuhkan ketelatenan, tetapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan di tingkat rumah tangga.
Respon warga terhadap inovasi ini cukup menggembirakan. Banyak yang mulai melihat bahwa Pakan Ikan Mandiri sebagai alternatif untuk memanfaatkan limbah. Terutama bagi petambak ikan yang selama ini mengeluhkan mahalnya harga pakan pabrikan, yang secara langsung menekan biaya produksi dan menggerus keuntungan.
Membuka Peluang Usaha
Ketika kami memaparkan bahwa limbah yang selama ini menjadi sumber masalah justru dapat menjawab kebutuhan lokal, terutama dengan keberadaan sekitar 72 tambak ikan aktif di Kelurahan Kesenden—cara pandang sebagian warga mulai berubah. Limbah tidak lagi kita lihat sebagai beban, tetapi sebagai peluang.
Perubahan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga membawa banyak keuntungan. Petambak dapat menekan biaya produksi, sementara masyarakat pesisir memiliki peluang usaha baru, mulai dari pengumpulan limbah, pengolahan pakan, hingga pemasaran.
Bahkan, inisiatif ini berpotensi melibatkan pemuda setempat dalam rantai produksi baru yang lebih berkelanjutan.
Tentu, jalan menuju keberlanjutan membutuhkan pengolahan yang konsisten untuk memastikan kadar garam benar-benar aman bagi ikan. Selain itu, pakan hasil olahan ini masih perlu kita uji lebih lanjut dari sisi kandungan gizi, efektivitas, dan kelayakan usaha agar mampu bersaing di pasar yang lebih luas.
Namun, satu pelajaran penting dapat kita tarik dari Samadikun yaitu sumber daya. Bahkan yang kita sebut limbah sekalipun, tidak akan pernah bernilai jika kita terus memandangnya sebagai sampah. Sehingga yang kita butuhkan adalah pengetahuan, keberanian, dan kemauan untuk mencoba mengubah cara pandang.
Pemanfaatan limbah ikan asin menjadi pakan ikan adalah praktik nyata ekonomi sirkular dan ekonomi biru di tingkat masyarakat. Di sini, limbah tidak lagi berakhir sebagai pencemar, tetapi bertransformasi menjadi sumber daya baru yang mendukung perekenomian warga.
Jika upaya ini terus warga kembangkan, maka Samadikun tidak hanya kita kenal sebagai sentra ikan asin. Tetapi juga sebagai contoh kawasan pesisir yang mampu mengelola limbahnya secara cerdas dan berdaya guna. []




















































