“Ih, kamu kok narsis amat postang-posting foto di Instagram”
“Ih, cewek mahal itu yang tidak terlihat, hapus foto-fotomu di sosmed!”
“Aduh, perawan ndekem tok di rumah gini, mana bisa dapat jodoh. Di tempat kerjapun gak ada yang mau”
Mubadalah.id – Lagi-lagi, perempuan dan segala sumpah serapah yang tertuju padanya selalu menjadi top tier pembahasan dan penyebab insecurity yang tiada habis. Belum tandas pembahasan tentang bagaimana perempuan harus menjaga tubuhnya dari masa gadis hingga setelah menikah. Selain itu, perempuan juga diterjun bebaskan pada pembahasan “wanita mahal” atau yang lebih terkenal dengan “high value” di konten sosial media.
Jika kita kulik lebih dalam, sebenarnya tidak ada yang keliru dari konsep “wanita mahal” itu sendiri. Namun, persoalan muncul ketika konsep tersebut terbebani begitu banyak aturan dan persepsi yang saling bertabrakan. Sebagian orang menganggap perempuan high value adalah mereka yang merdeka secara finansial, berpendidikan tinggi, mampu bekerja dan menghasilkan uang tanpa bergantung pada suami. Label well educated pun melekat dengan bangga.
Di sisi lain, ada pula persepsi yang berlawanan. Perempuan justru teranggap “mahal” jika ia tertutup dari media sosial, tidak menampilkan diri, terlebih jika ia berhijab. Ironisnya, perempuan yang aktif di media sosial kerap mereka anggap gagal menjadi perempuan mahal, seolah eksistensi digital otomatis menurunkan nilai diri dia.
Lalu, benarkah konsep “wanita mahal” sebatas pada kehadiran atau ketiadaan perempuan di media sosial? Apakah perempuan harus hidup dengan postingan nol dan rasa takut untuk sekadar membagikan foto diri sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali terbungkus dengan dalih agama. Karena itu, penting untuk melihat bagaimana sebenarnya Islam memandang aktivitas perempuan di media sosial.
Fenomena Wanita Memosting Foto dan Video: Antara Kebutuhan, Syari’at, dan Fitnah
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan gemar berfoto, berswafoto, bahkan membuat video. Aktivitas ini bisa sekadar untuk koleksi pribadi, kebutuhan kerja, atau terbagikan ke media sosial. Persoalan muncul ketika konten tersebut terkonsumsi secara luas. Termasuk oleh laki-laki yang bukan mahram, bahkan tersebar tanpa kendali.
Dalam kondisi tertentu, perempuan bisa menjadi objek pandangan yang memicu fitnah. Bukan hanya perempuan yang kita anggap cantik, mereka yang menganggap “biasa saja” pun tak luput dari hinaan. Pada titik ini, baik perempuan yang sering keluar rumah maupun yang memilih diam di rumah, dampaknya kerap sama. Media sosial telah menjadi panggung baru tempat tubuh dan eksistensi perempuan terus kita nilai.
Secara hukum, menggunakan media sosial pada dasarnya mubah atau boleh. Namun kebolehan ini beserta catatan penting. Jika konten yang terbagikan menimbulkan fitnah, baik karena aurat, gaya berpakaian, ekspresi, cara berbicara, maupun niat di balik unggahan, maka hukum unggahan tersebut berubah. Syariat tidak hanya mengatur tampilan luar, tetapi juga dampak dan tujuan.
Dalam Kitab Mukhtashar Tuhfah Al-Muhtaj disebutkan:
(ويحرم نظر فحل) وخصي ومجبوب بخلاف الممسوح، أما الخنثى فيحرم نظره للرجال أو النساء أو خنثى مثله والعكس في الجميع احتياطاً (بالغ) ولو شيخا هَمَّا ومخنثا وهو المتشبه بالنساء- عاقل مختار (إلى عورة حرة) خرج مثالها فلا يحرم نظره في نحو مرآة, ومحل ذلك حيث لم يخش فتنة ولا شهوة.
(مختصر تحفة المحتاج بشرح المنهاج ج٣ ص ١٦٤)
“Dan haram melihat aurat laki-laki dewasa baik yang masih utuh, atau yang telah dikebiri, maupun yang telah dipotong seluruh kemaluannya, berbeda dengan orang yang alat kelaminnya rata atau hilang sejak lahir. Adapun khunsa (orang yang memiliki dua alat kelamin), maka haram dilihat oleh laki-laki, perempuan, atau khunsa lainnya, dan juga sebaliknya, semuanya sebagai bentuk kehati-hatian. Yang sudah baligh meskipun dia sudah tua, atau seorang mukhannits (pria yang menyerupai wanita berakal dan dengan kehendak sendiri) Kepada aurat perempuan yang merdeka, dan yang keluar dari contoh ini tidak termasuk. Maka tidak haram melihat perempuan dari cermin atau sejenisnya. Dan ketentuan ini berlaku selama tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah atau syahwat.”
Sedangkan dalam Kitab I’anah at-Thalibin menjelaskan:
الفتنة هي ميل النفس ودعاؤها إلى الجماع
( إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ج٣ص٣٠١)
“Fitnah adalah kecenderungan dan dorongan jiwa terhadap hubungan seksual.”
Dengan demikian, media sosial hanyalah alat. Ia bisa menjadi sarana silaturahmi, dakwah, edukasi, dan pengembangan diri. Namun ia juga bisa menjadi ruang maksiat terbuka jika kita gunakan tanpa kebijaksanaan.
Jika perempuan hadir di media sosial bukan untuk memikat atau mencari validasi lawan jenis, melainkan untuk berkarya, bekerja, atau berkembang, maka tidak ada yang salah dengan kehadiran tersebut.
Eksitensi Perempuan di Media Sosial Tidak untuk Memberi Makan Ego Laki-laki
Masalahnya, dalam praktik sosial, aturan dan etika ini kerap terpelintir. Agama dan moral sering menjadi alat untuk mengontrol perempuan, sementara laki-laki jarang terbebani standar yang sama.
Perempuan sejak lama akrab dengan perintah “neriman”, “manut”, dan “ngalah”. Bahkan dalam relasi romantis yang belum berujung pernikahan, perempuan terdoktrin untuk terus mengalah. Katanya, jika terlalu keras kepala, tak akan ada laki-laki yang mau meminang.
Namun di saat yang sama, perempuan juga diingatkan agar tidak terlalu “mudah didapat”. Sebuah paradoks: meminta perempuan nerimo, tapi jangan terlalu cepat nerimo.
Konsep ini terasa absurd, entah siapa pencanangnya.
Perempuan berpendidikan tinggi, bekerja, mandiri secara finansial, dan selektif memilih pasangan bukanlah perempuan keras kepala. Perempuan yang pendidikannya sederhana, bekerja sebagai buruh pabrik, dan tampil apa adanya juga bukan perempuan gagal. Begitu pula perempuan yang menjadi influencer dan wajahnya terpampang di mana-mana, tidak otomatis lebih hina dari mereka yang memilih tak muncul di media sosial.
Sebaliknya, perempuan yang tidak aktif di media sosial pun tidak otomatis lebih “mahal” atau lebih mulia.
Perempuan tidak bersolek untuk pria. Ia tidak hidup untuk melayani ego laki-laki, lalu menghilang. Ia ada karena alasan yang jauh lebih manusiawi dan bermakna. Tidak ada satu pun pihak yang berhak merasa lebih suci, lebih mulia, atau lebih tinggi hanya karena memilih jalan hidup yang berbeda.
Dalam pemikiran feminis, perempuan sejak lama terpahami sebagai subjek yang utuh, bukan sekadar objek pandangan atau pelengkap kehidupan laki-laki. Simone de Beauvoir, misalnya, menegaskan bahwa perempuan kerap kita tempatkan sebagai the Other, yang keberadaannya terdefinisikan melalui laki-laki.
Nilai perempuan terukur dari seberapa ia inginkan, dipilih, atau disetujui. Padahal, eksistensi perempuan tidak pernah dimaksudkan untuk sekadar menjadi cermin ego laki-laki. Perempuan ada terlebih dahulu sebagai manusia, dengan kehendak, ambisi, dan pilihan hidupnya sendiri, sebelum kemudian dilekatkan berbagai peran sosial yang sering kali membatasi.
Pemikir feminis lain seperti Bell Hooks juga mengkritik keras bagaimana sistem patriarki membuat perempuan terus-menerus menginternalisasi standar yang bukan miliknya. Perempuan diajarkan untuk menyesuaikan diri, mengecilkan suara, dan mengatur eksistensinya agar “nyaman” bagi laki-laki.
Dalam konteks ini, kehadiran perempuan di ruang publik, termasuk media sosial kerap dipermasalahkan bukan karena dampaknya, melainkan karena ia menantang kontrol. Maka, memperjuangkan eksistensi perempuan bukan tentang menolak nilai moral atau agama, melainkan tentang mengembalikan posisi perempuan sebagai subjek yang berhak menentukan makna hidupnya sendiri. Tanpa harus selalu bertanya: ini pantas di mata laki-laki atau tidak?
Wanita Mahal yang Sesungguhnya
Konsep wanita mahal sering kali terdengar megah, namun justru menjadi jebakan baru bagi perempuan. Ia terpakai sebagai standar moral, alat kontrol, bahkan senjata untuk saling menghakimi. Perempuan akan kita sebut “mahal” jika memenuhi kriteria tertentu: tidak terlalu terlihat, tidak terlalu bersuara, tidak terlalu bebas, tidak terlalu ini dan itu. Anehnya, semakin banyak syarat yang kita lekatkan, semakin sempit ruang gerak perempuan untuk menjadi dirinya sendiri.
Padahal, jika kita tarik ke makna paling dasar, “mahal” bukanlah soal sulit terakses atau jarang terlihat. Mahal berarti bernilai. Dan nilai tidak pernah lahir dari ketakutan, represi, atau penghapusan diri. Nilai lahir dari kesadaran, pilihan, dan integritas.
Wanita mahal yang sesungguhnya adalah perempuan yang mengenal dirinya. Ia tahu apa yang ia yakini, apa yang ia jadikan batasan, dan apa yang ia perjuangkan. Keputusannya untuk tampil di ruang publik atau memilih hidup lebih privat, bukan terdorong oleh rasa takut akan penilaian, melainkan oleh kesadaran penuh atas konsekuensi dan tanggung jawabnya sendiri. Ia tidak hidup untuk memenuhi ekspektasi sosial yang berubah-ubah, tetapi berangkat dari nilai yang ia pegang.
Wanita mahal tidak bisa tereduksi pada penampilan, status pernikahan, tingkat pendidikan, atau keaktifan di media sosial. Perempuan yang berpendidikan tinggi dan bekerja bukan otomatis lebih bernilai daripada mereka yang memilih jalur hidup domestik. Begitu pula sebaliknya. Nilai perempuan tidak ditentukan oleh seberapa ia “diinginkan” atau “dipilih”, tetapi oleh seberapa ia berdaulat di atas kakinya sendiri.
Wanita yang Berdaulat atas Diri Sendiri
Dalam konteks moral dan agama, wanita mahal bukanlah mereka yang sekadar patuh secara lahiriah, bukan mereka yang nggah nggeh pada konsep yang masyarakat tuliskan. Tetapi wanita mahal adalah yang memahami makna dari kepatuhan itu.
Ia tidak menjalankan nilai karena tekanan, melainkan karena kesadaran. Ia menjaga diri bukan karena takut dicap, tetapi karena memahami batasan dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Moralitas yang lahir dari kesadaran selalu lebih kokoh daripada moralitas yang lahir dari pengawasan.
Wanita mahal juga tidak merasa perlu merendahkan perempuan lain demi menaikkan posisinya sendiri. Ia tidak membangun identitasnya dengan mengatakan, “aku lebih baik karena aku tidak seperti mereka.” Justru, ia paham bahwa setiap perempuan memiliki konteks, jalan hidup, dan perjuangan yang berbeda. Empati menjadi bagian dari kematangannya.
Yang paling penting, wanita mahal tidak hidup untuk memberi makan ego siapa pun. Tidak mengecilkan diri agar orang lain merasa besar. Ia tidak berpura-pura bodoh agar terlihat mudah terkendalikan. Tidak meniadakan suara dan pikirannya demi dicintai. Jika cinta menuntut penghapusan diri, maka itu bukan cinta, melainkan dominasi.
Pada akhirnya, wanita mahal bukanlah konsep yang bisa ditetapkan oleh masyarakat, media sosial, atau bahkan oleh mereka yang merasa paling bermoral. Wanita mahal adalah mereka yang utuh sebagai manusia. Mereka yang berpikir, memilih, bertanggung jawab, dan hidup dengan martabat. Nilainya tidak terletak pada seberapa ia tersembunyikan, tetapi pada seberapa ia berdaulat atas dirinya sendiri. []


















































