Mubadalah.id – Sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagaimana orang tua membuka media sosial di sela-sela waktu mengasuh anak. Mungkin sambil menunggu anak bermain, atau di ruang tunggu klinik, atau bahkan sambil duduk menemani anak makan. Di layar ponsel, beranda media sosial penuh dengan konten pengasuhan yang memukau.
Ada video ibu yang dengan sabar mengajarkan anaknya membaca tanpa sedikit pun nada tinggi. Lalu ada foto keluarga dengan rumah yang tertata rapi, anak-anak berpakaian serasi, senyum semua orang begitu tulus. Ada pula cerita tentang metode pengasuhan terbaru yang diklaim ampuh membentuk karakter anak sejak dini. Semua terlihat begitu ideal, begitu terencana, begitu berhasil.
Lalu muncul pertanyaan dalam hati. Mengapa justru di tengah niat baik untuk mengasuh anak dengan sebaik-baiknya, yang tumbuh adalah perasaan cemas? Mengapa semakin banyak kita tahu tentang cara mendidik yang benar, justru semakin merasa tidak pernah cukup baik?
Parenting Anxiety: Kecemasan yang Tak Selalu Disadari
Kecemasan dalam mengasuh atau yang sering kita sebut parenting anxiety sebenarnya adalah perasaan takut yang mendalam bahwa kita akan gagal sebagai orang tua. Takut bahwa anak tidak akan tumbuh optimal. Takut salah memilih metode pendidikan.
Kecemasan ini sering kali tampil dalam bentuk kebiasaan membandingkan. Kita membandingkan pencapaian anak kita dengan anak orang lain yang seusia. Kita membandingkan cara kita merespon tantrum anak dengan cara orang tua lain yang terlihat lebih tenang dan bijaksana.
Penting untuk kita tegaskan bahwa kondisi ini bukan pertanda lemahnya iman atau kurangnya cinta orang tua pada anak. Akan tetapi adalah respons terhadap tekanan sosial yang nyata, yang terstruktur, dan yang sering kali tidak kita sadari dari mana asalnya dan bagaimana cara kerjanya.
Parenting Goals: Dari Inspirasi Menjadi Tekanan Sosial
Sebenarnya istilah parenting goals pada awalnya muncul sebagai bentuk apresiasi. Ketika melihat orang tua yang kreatif dalam mengajak anak bermain, yang sabar dalam menghadapi tingkah anak, atau yang penuh perhatian pada detail tumbuh kembang anak, wajar jika kita merasa terinspirasi.
Video atau foto pengasuhan yang hangat memang bisa memberikan ide dan semangat baru. Namun seiring masuknya konten semacam ini ke dalam mesin algoritma media sosial, terjadi pergeseran makna yang cukup drastis dalam memahami pola pengasuhan anak.
Adapun pengasuhan yang sejatinya adalah relasi intim dan personal antara orang tua dan anak, kini mulai diperlakukan layaknya pencapaian yang harus terukur dan kita perlihatkan kepada khalayak.
Media Sosial dan Standar Pengasuhan yang Tidak Realistis
Media sosial pada dasarnya adalah ruang berbagi. Namun yang perlu kita pahami adalah bahwa hampir semua orang hanya membagikan potongan terbaik dari kehidupan mereka.
Foto anak yang tersenyum riang bukanlah potret dari tangisan selama satu jam sebelumnya ketika mereka merengek tidak mau makan. Video kegiatan seru di akhir pekan tidak menampilkan percakapan tegang antara suami dan istri tentang siapa yang harus menjaga anak keesokan paginya karena keduanya sama-sama lelah.
Hal yang lebih berbahaya dari sekadar tampilan potongan terbaik adalah hilangnya konteks. Kita tidak tahu bahwa ibu yang terlihat santai dan kreatif dalam mendampingi anak sebenarnya memiliki asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan domestik.
Semua informasi latar belakang yang memberikan konteks nyata tentang bagaimana pencapaian itu bisa terjadi justru menghilang. Yang tersisa hanyalah gambaran sempurna yang membuat orang tua lain bertanya dalam hati, mengapa saya tidak bisa seperti itu?
Beban Psikologis dalam Keluarga: Siapa yang Paling Terdampak?
Dalam konteks budaya kita, perempuan atau ibu adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran utama dari berbagai standar parenting goals. Merekalah yang lebih banyak disorot dalam setiap aspek pengasuhan, mulai dari bagaimana cara berbicara kepada anak, bagaimana mengatur kebersihan dan kerapian rumah, hingga bagaimana menyeimbangkan antara karier dan tanggung jawab keluarga.
Ketika seorang anak mengalami tantrum di tempat umum, pandangan orang-orang langsung tertuju pada sosok ibunya. Ketika nilai anak di sekolah menurun, pihak sekolah juga cenderung memanggil atau menghubungi ibu terlebih dahulu untuk membahas masalah tersebut.
Sementara itu, ayah sering kali tidak mengalami tekanan emosional yang setara. Bukan karena mereka tidak peduli atau tidak mencintai anak, tetapi karena ekspektasi sosial memang tidak menempatkan ayah dalam posisi pengawasan yang seketat ibu.
Parenting Anxiety dan Relasi Orang Tua dengan Anak
Orang tua yang dihinggapi kecemasan berlebihan dalam mengasuh biasanya mengalami kelelahan yang berlapis. Lelah karena harus terus-menerus waspada terhadap setiap perkembangan anak. Lelah karena harus selalu mengevaluasi apakah cara mereka sudah benar atau belum.
Kelelahan emosional semacam ini sangat mudah berubah menjadi amarah yang meledak-ledak. Kesabaran menipis. Nada suara meninggi. Ekspresi wajah mengeras.
Anak yang seharusnya terlihat sebagai manusia utuh dengan keunikan dan kecepatannya sendiri dalam tumbuh, malah mulai dipandang sebagai proyek yang harus diselesaikan dengan sempurna. Tanpa disadari, relasi antara orang tua dan anak mengalami pergeseran karakter.
Membaca Ulang Pengasuhan dari Perspektif Keadilan Relasi
Perspektif keadilan relasi mengajak kita untuk melihat pengasuhan bukan sebagai tanggung jawab yang dibebankan kepada satu pihak saja, tetapi sebagai bentuk kolaborasi yang melibatkan semua anggota keluarga.
Dalam kerangka ini, ayah dan ibu sama-sama hadir bukan hanya secara fisik tetapi juga secara emosional. Pembagian peran domestik dan tanggung jawab emosional dilakukan dengan adil, bukan sekadar dalam bentuk membantu sesekali, tetapi benar-benar berbagi beban secara setara.
Yang tidak kalah penting dalam perspektif ini adalah pengakuan terhadap keterbatasan manusiawi. Kita sebagai orang tua boleh merasa lelah. Boleh mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya tentang cara mendidik anak. Boleh melakukan kesalahan dan kemudian belajar dari kesalahan tersebut. Semua itu bukan berarti kita tidak mencintai anak atau tidak serius dalam mengasuh.
Mengasuh dengan Cukup, Bukan Sempurna
Pada akhirnya, anak-anak tidak membutuhkan sosok orang tua yang sempurna dalam setiap aspek. Yang mereka butuhkan adalah orang tua yang hadir dengan sepenuh hati, yang memperlakukan mereka dengan adil dalam relasi, dan yang tidak menjadikan mereka sebagai alat pembuktian diri di hadapan masyarakat.
Melepaskan diri dari ilusi parenting goals yang seragam dan menuntut kesempurnaan bukan berarti kita menjadi acuh terhadap tumbuh kembang anak. Justru sebaliknya, kita memilih untuk peduli dengan cara yang lebih manusiawi dan lebih realistis. []



















































