Mubadalah.id – Selama bertahun-tahun, dunia fashion show kerap diposisikan sebagai ruang eksklusif yang menuntut standar tubuh tertentu. Kondisi tersebut membuat penyandang disabilitas jarang mendapatkan ruang untuk tampil dan berpartisipasi. Maka dari itu, Harmoni Inklusif hadir sebagai ajang yang membuka akses tersebut dengan menempatkan penyandang disabilitas sebagai subjek utama di panggung fashion show.
Harmoni inklusi merupakan ajang fashion show terbesar dan pertama di Indonesia yang secara khusus menampilkan model-model penyandang disabilitas sebagai subjek utama. Debut perdananya pada Desember 2024 menjadi tonggak penting dalam upaya pemberdayaan penyandang disabilitas, khususnya di sektor industri kreatif dan fashion.
Setahun berselang, pada 6 Desember 2025 lalu, Harmoni Inklusif kembali diselenggarakan di The Nine, Sopo Del Tower, Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam gelaran tahun ini, sebanyak 35 model penyandang disabilitas tampil di atas runway membawakan berbagai koleksi busana karya desainer nasional.
Founder LAYAK Foundation, Karina Aprilia, mengatakan bahwa pada tahun ini Harmoni Inklusif mengembangkan total 64 anak dengan beragam karakter dan kategori disabilitas. Menurutnya, kegiatan ini tidak hanya berfokus pada pertunjukan, tetapi juga pada proses pembinaan dan pengembangan potensi secara berkelanjutan.
Harmoni Inklusif 2025 mengusung tema Threads of Resilience yang mengangkat ketangguhan penyandang disabilitas serta kekayaan budaya suku Alor. Tema tersebut diwujudkan melalui desain busana dan konsep pertunjukan yang menampilkan unsur budaya lokal sebagai bagian dari narasi acara.
Layak School dan Layak Talent Agency
Sebelum melakukan fashion show, para model peyandang disabilitas menjalani pelatihan intensif di bawah naungan Layak School dan Layak Talent Agency—lembaga yang berfokus pada pengembangan talenta penyandang disabilitas.
Pelatihan tersebut mencakup catwalk, tata rias, pose, hingga penguatan mental agar para peserta siap menghadapi sorotan lampu dan pandangan publik.
Proses pembinaan dilakukan secara serius oleh para profesional di industri mode dan kecantikan, di antaranya Laura Muljadi, Fabienne Nicole, Arcellyn Berlian, Bubah Alfian, Rory Asyari, Han Chandra, Vania Agustina, serta sejumlah mentor dan model berpengalaman lainnya.
Kehadiran mereka menegaskan bahwa inklusi tidak berarti menurunkan standar, melainkan memperluas akses terhadap standar profesional itu sendiri.
Di sisi desain, Harmoni Inklusif 2025 melibatkan sejumlah nama ternama seperti AMOTSYAMSURIMUDA, Nita Seno Adji x STHYA, Raegitazoro, Studio Ikaten, serta Wilsen Willim yang tahun ini merilis koleksi kolaborasi bersama Oemah Etnik.
Kolaborasi ini membuktikan bahwa estetika, keahlian teknis, dan inklusi bukanlah hal yang saling bertentangan. Justru sebaliknya, inklusi memperkaya proses kreatif.
Para desainer pun mengakui pengalaman berharga tersebut. Raegita Oktora, misalnya, menyebut bekerja dengan model penyandang disabilitas sebagai pengalaman baru yang menyenangkan. “Saya merasa sangat menikmati prosesnya, terutama ketika bisa mengenal karakter masing-masing model,” ujarnya.
Senada dengan itu, Nita Seno Adji menegaskan profesionalisme para model. “Keterbatasan itu sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah talenta yang diasah dengan baik,” katanya. Pernyataan ini penting untuk kita catat, sebab masih banyak anggapan bahwa penyandang disabilitas harus selalu “dibantu”, bukan diajak bekerja secara setara.
Penyandang Disabilitas sebagai Subjek
Bagi saya, menyaksikan Harmoni Inklusif adalah pengalaman yang mengharukan sekaligus membanggakan. Ini bukan sekadar fashion show, melainkan perayaan atas hak untuk kita akui dan hargai. Sebab, selama ini ruang publik yang tertutup perlahan terbuka, dan di sanalah para penyandang disabilitas berdiri sebagai subjek yang utuh.
Namun, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan pahit. Hingga hari ini, penyandang disabilitas masih kerap berhadapan dengan pembatasan sosial dan budaya. Mereka sering diabaikan, disingkirkan dari ruang publik, bahkan dianggap tidak pantas tampil di dunia modeling dan fashion.
Akibatnya, banyak dari mereka tumbuh dengan rasa minder, menutup potensi, dan menganggap bakatnya sebagai sesuatu yang tidak layak tampil di ruang publik. Bagi saya, ini bukan kesalahan individu, melainkan kegagalan sistem sosial yang belum sepenuhnya inklusif.
Padahal, ruang publik semestinya menjadi ruang bersama, ruang yang merangkul keberagaman dalam segala bentuknya, termasuk perbedaan fisik dan kemampuan.
Oleh sebab itu, Harmoni Inklusif, dengan seluruh keberhasilannya, telah membuka jalan dan memberi contoh konkret bahwa penyandang disabilitas tidak hanya mampu berpartisipasi, tetapi juga berkontribusi dan menginspirasi.
Kini, tantangannya adalah memastikan bahwa harmoni ini tidak berhenti di atas runway, melainkan masuk ke ruang-ruang publik lainnya. Seperti pendidikan, kerja, seni, dan kebijakan. Sebab inklusi sebenarnya bukan tentang satu acara, melainkan tentang keberlanjutan sikap dan keberpihakan.[]




















































