Mubadalah.id – Sekali waktu pernah salah seorang teman yang berprofesi ASN mencoba wirausaha dengan mengunggah beberapa produk yang ingin dijual dalam sebuah postingan WhatsApp. Alih-alih memborong atau paling tidak menanyakan perihal produk yang dijualnya, “netizen” justru menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernada sindiran melesat lurus kearah bullyan.
Beberapa orang mempertanyakan motif teman saya berjualan. Apa gaji yang diberikan negara kurang sehingga harus berjualan? Lebih dari itu, bahkan beberapa orang mempertanyakan kredibilitas teman saya untuk berwirausaha, biasa nunggu tanggal transferan, abdi negara tahu apa soal jualan? Demikian teman tersebut bercerita.
Entah darimana awal mula pembatasan ASN tidak boleh berwirausaha. Mungkin, selama ini banyak cerita dari pelaku usaha yang menyuarakan kesuksesan berwirausaha didapat dari sebuah pengorbanan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang dinilai mapan oleh masyarakat. Saya menduga inilah awal mulanya masyarakat membuat kesimpulan bahwa seorang pegawai tidak akan sukses berwirausaha jika tidak fokus pada proses pengembangan usahanya.
Profesi ASN lekat dengan kerja pengabdian. ASN digaji untuk menjalankan tugas pelayanan terhadap masyarakat. Hal ini membutuhkan fokus tenaga, pikiran sekaligus waktu yang cukup besar. Tapi apakah anda pernah membayangkan, bagaimana akhir kisah para ASN yang pensiun?
Benar, ASN yang pensiun mendapatkan tunjangan masa tua yang jika diukur dalam hitungan materi akan selesai pembahasannya. Terlepas dari apakah cukup atau tidak. Setidaknya sudah ada pihak yang menanggung kehidupan masa tuanya. Namun apakah para pensiunan ASN ini siap dengan konsekuensi pasca meninggalkan rutinitas padat yang pada masanya dianggap hal yang membosankan namun masa yang lainnya dirindukan itu?
Berhenti dari rutinitas padat sungguh hal yang menyiksa bagi fisik maupun psikis. Fisik akan mengalami perubahan ritme dari awalnya sibuk penuh dinamika menjadi diam statis. Jika diterus-teruskan, tubuh akan bergerak stagnan bahkan tidak jarang akhirnya menjadikan munculnya penyakit-penyakit fisik. Ketika alarm fisik mulai mendengungkan fase menurun, tentu psikis akan turut terkena imbasnya. Dari sinilah kesibukan bewirausaha yang sudah dipersiapkan sejak masa muda bisa jadi salah satu alternatif penawarnya.
Mungkin alasan tersebut terkesan mementingkan kepentingan pribadi. Sesungguhnya dari sisi yang lain, ada alasan mendasar mengapa ASN perlu berwirausaha. Spirit pemberdayaan menjadi jawabannya. ASN yang sistem penggajiannya dinilai stabil menjadi modal awal menjalankan rangkaian kerja pemberdayaan ini.
Sebagai wujud konkretnya, modal berupa gaji inilah yang digunakan untuk menggerakkan mereka yang tidak memiliki pekerjaan untuk secara bekerja sama membentuk sebuah usaha. Melihat jumlah ASN yang cukup banyak, bayangkan jika satu ASN memiliki bidang usaha yang mempekerjakan minimal 2 orang saja, hal ini tentu akan sangat membantu.
Dalam kasus lain, guru saya yang seorang guru honorer pernah berkata, “Jangan mengandalkan gaji guru sebagai penopang kehidupan, berwirausahalah!”. Dulu sekitar tahun 2012, pertama kali mendengar kalimat ini, terlintas dibenak saya bahwa gaji guru swasta tidak seberapa untuk bisa meng-cover kebutuhan yang semakin bertambah. Belum lagi untuk meng-cover “gaya hidup”, semakin tidak masuk akal sepertinya. Oleh karena itulah, wejangan ini perlu ditancapkan dalam-dalam.
Tahun berlalu, kesejahteraan guru khususnya guru honorer mulai meningkat. Wejangan guru saya mungkin menjadi tidak lagi relevan. Namun saya percaya bahwa sebuah teks akan selalu hidup jika menemukan konteksnya.
Benar saja, belakangan saya menemukan makna baru tentang wejangan ini. Jangan mengandalkan gaji guru sesungguhnya dimaksudkan agar profesi guru tidak menjadikan diri tamak akan hal-hal yang berbau materi. Guru merupakan salah satu profesi pengabdian. Masyarakat mempersepsikan guru sebagai profesi mulia bahkan terpatri sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Dalam ajaran agama, perilaku guru dianggap sesuatu yang penuh dengan hal-hal sakral. “Digugu dan ditiru”, demikian orang-orang menjelaskan apa itu guru. Konsekuensi dari digugu dan ditiru tersebut seorang guru diharapkan mampu menjaga marwah dirinya agar darinya, lahir generasi-generasi yang baik. Salah satu cara menjaga marwah tersebut adalah dengan tidak mengandalkan gaji guru sebagai satu-satunya sumber kehidupan.
Pada muaranya, saya ingin mengatakan bahwa berwirausaha bukanlah monopoli orang-orang tertentu saja. Salah satu ajaran yang disampaikan Nabi menyebutkan bahwa rizki atau makanan yang baik adalah makanan yang dihasilkan dari hasil kerja keras tangannya sendiri (berwirausaha).
Dalam kesempatan lain, Nabi juga menyebutkan bahwa profesi terbaik adalah berwirausaha. Dari ajaran ini, pemaknaan seharusnya bukan sesempit berdagang itu pekerjaan yang terbaik, sunnah Nabi, dengan lalu embel-embel pekerjaan lain adalah pekerjaan yang buruk.
Celakanya, pemaknaan yang semacam ini diimplementasikan oleh sebagian masyarakat dengan berbondong-bondong meninggalkan pekerjaan-pekerjaan tertentu demi mengamini pemahaman yang sempit ini. Bagaimana jika ajaran ini kita maknai bahwa apapun keadaan seseorang (berprofesi atau baru akan menentukan profesi), berdagang (secara luas berwirausaha) merupakan hal yang sah-sah saja dilakukan dalam keadaan apapun.
Ibarat nasi kucing dalam sebuah angkringan. Terlepas nasi kucing itu menjadi menu utama atau hanya menu sampingan (karena pengunjung lebih memilih ngopi saja). Nasi kucing semestinya disediakan di angkringan. Semua tergantung pilihan pengunjung.
Berwirausaha menjadi pilihan profesi utama ataupun profesi sampingan, semua sah-sah saja. Kembali pada masing-masing dari kita. Poinnya tentu berwirausaha. Sudah saatnya mematahkan stigma bahwa kesuksesan berwirausaha hanya dimiliki orang yang mau meninggalkan pekerjaan “mapan”nya. Lakukan peran (kebermanfaatan) seluas-luasnya dan sebaik-baiknya.
Menjadi ASN dan berwirausahalah sebagai wujud rasa syukur atas kepastian gaji dengan membawa spirit pemberdayaan bagi orang lain. Atau, menjadi guru dan berwirausahalah sebagai wujud keterlepasan dari kungkungan pengharapan gaji yang serba tidak pasti. Hal itu sah-sah saja. Yang tidak boleh itu kan hanya rangkap jabatan di pemerintahan, bukan begitu? []