Mubadalah.id – Kategori kedua dari konsepsi anak (al-walad) adalah terkait dengan seluk beluk nasab seseorang, atau dalam posisi relasinya dengan kedua orang tuanya.
Status ini, menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak, akan terus melekat sejak dalam kandungan sampai usia dewasa berapa pun. (Baca juga: Maulid Nabi : Korelasi Parenting Aminah Ibunda Rasulullah dan Trend Daycare Masa Kini)
Dalam konsepsi anak yang relasional ini, kata Kang Faqih, mengenalnya sebagai sebuah ajaran birr al-walidayn, atau berbakti kepada kedua orang tua dan memiliki berbagai tanggungjawab dan kewajiban terhadap orang tuanya.
Misalnya tentang relasi orang tua kepada anak untuk saling berbuat baik, berperilaku mulia, mentaati perintah, menjaga dan melindungi, serta menanggung nafkah.
Jika merujuk pada konsepsi pertama, seharusnya yang diberi tanggungjawab birr al-walidayn ini adalah bagi anak-anak yang sudah dewasa, bukan yang masih dalam usia anak. (Baca juga: Membaca Hidup Nabi Muhammad: Kitab yang Berjalan)
Namun, kitab-kitab fikih secara umum membahasnya tanpa ada kejelasan usia seseorang kapan mulai berkewajiban birr al-walidayn kepada kedua orang tuanya.
Kealpaan ini menyiratkan bahwa mereka yang di usia anak tidak hanya memiliki hak. Tetapi juga kewajiban, seperti tanggungjawab birr al-walidayn ini. (Baca juga: Penjelasan 3 Fase Pertumbuhan Anak dalam Hukum Islam)
Kewajiban anak yang demikian ini, banyak penulis kontemporer tegaskan tentang hak anak dalam Islam. Bahkan menganggapnya sebagai distingsi dari Konvensi Hak Anak di tingkat global. (Rul)