Mubadalah.id – Kekerasan terhadap anak bisa sering terjadi di manapun dan kapanpun. Termasuk di ruang virtual pun menjadi ruang yang belum aman untuk anak.
Di ruang virtual, seperti di sosial media, anak kerap menjadi korban kekerasan dengan ragam bentuk baik itu hate speech, cyberbullying, pedofilia, perlibatan anak dalam pornografi, dan sebagainya.
Terlebih, saat masa pandemi kemarin, sangat meningkat terkait intensitas penggunaan internet oleh anak, entah karena keperluan sekolah atau sosialisasi. Melarang anak untuk sama sekali tidak menggunakan internet dan gawai bukanlah pilihan bijak.
Terlebih, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak menyebutkan, orang tua juga mempunyai tanggung jawab dan dukungan untuk memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif pada anak. Terutama untuk memahami bahaya dan resikonya, agar anak dapat bertindak secara lebih bijak.
Isu-isu perlindungan khusus dalam hak anak, secara umum, sebagaimana dicatat Beniharmoni Harefa, adalah soal kurang efektivitasnya lembaga-lembaga negara, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonedsia (KPAI) dan aparat hukum, dalam hal kerjasama, kordinasi, dan jaminan kepastian hukum.
Kerjasama antara berbagai komponen yang bertanggungjawab juga masih mengalami kendala serius dalam pemenuhan hak-hak anak.
Seperti antara orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, negara, lembaga-lembaga sosial seperti pendidikan, lembaga usaha, dan juga lembaga-lembaga agama.
Kemudian, kurang kuatnya kelembagaan, sumber daya manusia, dan fasilitas juga menjadi kendala tersendiri.
Di samping itu juga kurangnya kesadaran masyarakat secara umum, terutama aparat hukum, tentang perlindungan anak dan pentingnya hak anak sebagai yang utama.
Kendala-kendala ini, baik yang struktual maupun kultural, akan membuat peraturan sebaik apapun menjadi tidak efektif bahkan tidak berguna sama sekali. (Rul)