Mubadalah.id – Perkawinan yang dikehendaki al-Qur’an adalah perkawinan yang kokoh, yang memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing. Yaitu kedunya harus saling melengkapi, saling berbagi, dan saling memperlakukan dengan baik, demi terciptanya kasih sayang, ketenteraman, dan kebahagiaan, baik antara suami dan istri. Juga termasuk antara suami-istri dengan anak-anak dan anggota keluarga yang lain.
Jika perkawinan yang kokoh ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat mereka hindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka.
Kehidupan berumah tangga memang tidak selamanya berjalan mulus tanpa konflik, perbedaan atau perdebatan. Bahkan bisa jadi perbedaan-perbedaan adalah bunga kehidupan berumah tangga, yang semestinya tidak memunculkan duri yang melukai salah seorang anggota keluarga.
Sebaliknya keduanya harus mengelolanya untuk menemukan sikap saling pengertian terhadap kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semangat saling pengertian yang meniscayakan tidak adanya kekuasaan yang dominan dari satu pihak kepada pihak yang lain.
Kekuasaan yang menempatkan satu pihak bisa mendidik, menyalahkan, mengadili bahkan menghakimi terhadap pihak lain yang selamanya harus menjadi objek untuk dididik, disalahkan dan dihakimi. Kekuasaan yang seperti ini pasti akan melahirkan kekerasan yang menistakan.
Kita bisa mengambil dari keluarga Rasulullah Saw. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. al-Ahzab, 33: 21).
Dalam sejarah rumah tangga Nabi Saw juga terjadi perbedaan dan perdebatan. Tetapi perbedaan ini sama sekali tidak melahirkan kekerasan. Dalam konflik yang sekeras apapun, Nabi Saw tidak pernah menggunakan media kekerasan untuk mengembalikan pada kebersamaan kehidupan bermuah tangga.
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.