Mubadalah.id – Disabilitas selalu masuk dalam daftar “kaum rentan” bersama perempuan, anak, lansia, dan kelompok minoritas. Orang-orang mengulang label itu seperti template lama yang tidak pernah mereka uji. Mereka menempelkan kata rentan seolah kondisi tubuh otomatis menentukan kelemahan. Padahal, siapa sih yang menentukan ukuran kuat/lemah? Dunia yang kita bangun? Atau imajinasi usang yang masih kita anggap kebenaran?
Disabilitas juga sering memancing simpati yang terdengar manis tetapi terasa merendahkan. Kalimatnya terdengar peduli, niatnya kelihatan baik, tapi sebenernya ada yang keliru di situ. Karena masalah utamanya bukan pada tubuh, pikiran, atau kondisi orang dengan disabilitas. Masalahnya ada pada cara kita membangun dunia.
Oleh karena itu, saya lebih percaya kalau disabilitas itu bukan kaum rentan, tapi direntankan. Direntankan oleh sistem, oleh trotoar yang nggak ramah kursi roda, oleh gedung bertingkat tanpa lift, oleh formulir tanpa huruf braille, oleh video tanpa subtitle, oleh layanan publik yang menganggap semua orang bisa melihat, mendengar, berjalan, dan memahami dengan cara yang sama.
Dan sialnya, kita sering salah fokus. Kita kasihan pada disabilitas, tapi jarang marah pada sistem yang bikin hidup mereka jadi susah. Padahal kalau mau jujur, banyak hambatan yang dialami teman-teman disabilitas itu bukan karena kondisi tubuhnya, tapi karena lingkungan sosial yang nggak mau menyesuaikan.
Disabilitas tidak pernah merendahkan martabat manusia, struktur sosial yang abai terhadap keberagaman manusialah yang melakukannya. Kita sering lupa, kemuliaan itu bukan soal tubuh yang cocok dengan standar mayoritas. Maka, pertanyaannya harus kita ubah: bukan lagi “Siapa yang rentan?”, tetapi “Siapa yang menciptakan kerentanan itu?”
Mari kita turun sebentar ke dunia nyata. Coba bayangkan trotoar terdekat dari rumahmu. Trotoar itu mungkin masih berlubang, naik turun tanpa alasan, terhalang motor parkir, dan dihiasi tiang yang berdiri seperti jebakan. Lalu orang berkata, “Kasihan penyandang disabilitas, pasti susah lewat.”
Wait. Tunggu sebentar.
Seharusnya, pertanyaannya bukan “Kenapa mereka susah lewat?”.
Tapi, “Kenapa kita menciptakan ruang yang menyulitkan manusia untuk lewat?”
Ketika Sudut Pandang Bergeser, Dunia Ikut Bergeser
Karena, begitu kita mengubah pertanyaan, seluruh cara pandang ikut bergeser. Kita melihat bahwa yang sebenarnya, dunia tidak merugikan mereka karena tubuh mereka berbeda. Dunia merugikan mereka karena kita membangun dunia yang berantakan dan tidak mengakui keberagaman tubuh. Kita memilih satu jenis tubuh sebagai standar, lalu memperlakukan tubuh lain sebagai anomali.
Bayangin deh, kalau semua bangunan aksesibel, semua informasi bisa diakses, semua orang dibiasakan berkomunikasi dengan beragam cara, apakah disabilitas masih dianggap “rentan”? Atau justru dunia yang selama ini malas beradaptasi? Tapi sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. Orang dengan disabilitas terpaksa terus menyesuaikan diri, terus membuktikan diri, terus berjuang sendirian di sistem yang dari awal nggak siap buat mereka
Lalu ketika mereka kelelahan, kita bilang, “maklum, mereka kan rentan.” Kan absurd, ya?
Padahal, mungkin seringkali yang bikin lelah itu bukan disabilitasnya, tapi ketidakadilan yang berlapis-lapis. Lebih menyakitkan lagi, stigma sering dibungkus dengan belas kasihan itu tadi. Kita memuji berlebihan hanya karena mereka melakukan hal yang bagi orang non-disabilitas itu biasa. Kita sebut mereka “inspiratif” bukan karena karyanya, tapi karena keberadaannya. Seolah-olah standar normal manusia itu satu, dan harus ada label khusus bagi siapapun yang berbeda.
Hidup ini Beragam, Tapi Aksesnya Satu
Padahal, manusia memang beragam sejak awal. Tubuh manusia itu spektrum, kemampuan manusia itu luas, dan hidup nggak pernah satu ukuran untuk semua. Kalau kita benar-benar peduli, kita harus berhenti cuma merasa iba dan mulai bertanya:
Siapa yang sebenarnya bikin hidup jadi sulit?
Kenapa kebijakan publik kerap mengabaikan perspektif disabilitas?
Apa sebab ruang-ruang diskusi jarang melibatkan mereka sebagai subjek, bukan sekadar objek?
Bagaimana bisa keputusan tentang hidup mereka diambil tanpa menghadirkan suara mereka sendiri?
Mengakui bahwa disabilitas itu direntankan berarti kita mau jujur melihat struktur kuasa. Kita mau menggeser fokus dari “apa yang kurang dari mereka” ke “apa yang salah dari sistem kita”. Ini bukan soal menjadi pahlawan, tapi soal tanggung jawab bersama. Ingat, siapa pun dari kita bisa jadi penyandang disabilitas kapan saja. Karena usia, karena kecelakaan, karena sakit. Haruskah merasakannya dulu baru peduli?
Aksesibilitas bukan fasilitas khusus, tapi kebutuhan bersama. Hari ini mungkin kamu merasa “normal”, tapi dunia yang ramah disabilitas itu sebenarnya dunia yang ramah untuk semua orang. Buat orang tua, anak-anak, ibu hamil, orang sakit, bahkan buat kamu sendiri suatu hari nanti.
Jadi lain kali kalau dengar istilah “kaum rentan”, coba berhenti sebentar. Tanya:
Rentan karena apa, dan oleh siapa? Karena kalau kita terus menyalahkan tubuh, kita sedang membebaskan sistem dari tanggung jawabnya. Dan selama itu terjadi, ketidakadilan akan terus terwariskan dengan bahasa yang kelihatan sopan, tapi sesungguhnya menyingkirkan. Disabilitas bukan masalah yang perlu kita perbaiki, melainkan realitas yang layak kita hormati. Justru cara kita membangun dunia yang perlu kita ubah.
Al-Qur’an memanggil kita untuk menegakkan keadilan tanpa syarat:
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Mā’idah: 8)
Ayat itu menuntut kita menegakkan keadilan tanpa menempatkan siapa pun sebagai objek kasihan. Kalau bahasa menentukan cara kita memandang manusia, kita perlu bahasa yang memuliakan. Dan jujur saja, kata “rentan” sering tidak memuliakan siapa pun.
Percayalah, orang dengan disabilitas tidak membutuhkan kasihan. Mereka membutuhkan akses. Mereka membutuhkan kota yang inklusif, informasi yang bisa mereka jangkau, kebijakan yang menghargai martabat, kesempatan kerja yang setara, dan ruang untuk mengambil keputusan sendiri.
Keep in mind:
Kasihan itu murah.
Akses itu keadilan.
Setiap kali kita menghadirkan akses, anggapan tentang “kerentanan” pun runtuh. Sebab yang kita sebut rentan sering kali lahir dari cara kita menutup mata pada keberagaman manusia, bukan? Maka mari kita ucapkan ini dengan tegas: manusia tidak membutuhkan belas kasihan. Manusia membutuhkan dunia yang sungguh memanusiakan. Titik. []










































