Jumat, 21 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    P2GP

    P2GP Harus Diakhiri: KUPI Minta Negara Serius Libatkan Ulama Perempuan dalam Setiap Kebijakan

    P2GP

    Istiqamah di Tengah Penolakan: Perjuangan Panjang KUPI Menghentikan P2GP

    Sunat Perempuan

    Membumikan Ijtihad: Langkah KUPI Menghapus Sunat Perempuan dari Ruang Keluarga hingga Negara

    Sunat Perempuan

    Perjuangan KUPI Menghentikan Sunat Perempuan: Dari Musyawarah, Penolakan, hingga Penerimaan Publik

    P2GP

    Prof. Alim: sebagai Bentuk Penolakan terhadap P2GP, Pengalaman Perempuan Harus Ditulis

    Fatwa KUPI P2GP

    Fatwa KUPI Jadi Motor Advokasi: UNFPA Puji Tiga Tahun Kerja Ulama Perempuan Menghapus P2GP

    P2GP

    P2GP Harus Dihentikan Total: KemenPPPA Akui Fatwa KUPI sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

    Buku Anak yang Dinanti Jangan Disakiti

    Luncurkan Buku Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti, Alimat Tegaskan Hentikan Praktik P2GP

    Human Rights Tulip 2025

    KUPI Masuk 10 Deretan Pembela HAM Dunia dalam Human Rights Tulip 2025

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Kekerasan Terhadap Perempuan yang

    Sampai Kapan Dalih Agama Dibiarkan Membenarkan Kekerasan terhadap Perempuan?

    Nikah Sirri

    Sudahi Nikah Sirri

    Industri ekstraktif

    Perjuangan Perempuan Adat Melawan Industri Ekstraktif

    Ketimpangan Kemanusiaan

    Gembar-gembor AI dan Persimpangan Kemanusiaan

    Bahasa Isyarat

    Bahasa Isyarat sebagai Jembatan Kesetaraan Komunikasi

    Intimate Wedding

    Francis Fukuyama: Intimate Wedding sebagai Gejala Runtuhnya Kolektivitas Tradisional

    Nancy Ajram

    Mengapa Nancy Ajram Begitu Menarik bagi Banyak Muslimah di Indonesia?

    Kesederhanaan

    Bahkan bagi Orang Biasa, Kesederhanaan Bukan Hal Biasa

    Tuhan dan Disabilitas

    Tuhan dan Disabilitas: Ketika Keimanan Tak Diukur dari Kefasihan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    P2GP

    P2GP Harus Diakhiri: KUPI Minta Negara Serius Libatkan Ulama Perempuan dalam Setiap Kebijakan

    P2GP

    Istiqamah di Tengah Penolakan: Perjuangan Panjang KUPI Menghentikan P2GP

    Sunat Perempuan

    Membumikan Ijtihad: Langkah KUPI Menghapus Sunat Perempuan dari Ruang Keluarga hingga Negara

    Sunat Perempuan

    Perjuangan KUPI Menghentikan Sunat Perempuan: Dari Musyawarah, Penolakan, hingga Penerimaan Publik

    P2GP

    Prof. Alim: sebagai Bentuk Penolakan terhadap P2GP, Pengalaman Perempuan Harus Ditulis

    Fatwa KUPI P2GP

    Fatwa KUPI Jadi Motor Advokasi: UNFPA Puji Tiga Tahun Kerja Ulama Perempuan Menghapus P2GP

    P2GP

    P2GP Harus Dihentikan Total: KemenPPPA Akui Fatwa KUPI sebagai Penentu Arah Kebijakan Nasional

    Buku Anak yang Dinanti Jangan Disakiti

    Luncurkan Buku Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti, Alimat Tegaskan Hentikan Praktik P2GP

    Human Rights Tulip 2025

    KUPI Masuk 10 Deretan Pembela HAM Dunia dalam Human Rights Tulip 2025

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Kekerasan Terhadap Perempuan yang

    Sampai Kapan Dalih Agama Dibiarkan Membenarkan Kekerasan terhadap Perempuan?

    Nikah Sirri

    Sudahi Nikah Sirri

    Industri ekstraktif

    Perjuangan Perempuan Adat Melawan Industri Ekstraktif

    Ketimpangan Kemanusiaan

    Gembar-gembor AI dan Persimpangan Kemanusiaan

    Bahasa Isyarat

    Bahasa Isyarat sebagai Jembatan Kesetaraan Komunikasi

    Intimate Wedding

    Francis Fukuyama: Intimate Wedding sebagai Gejala Runtuhnya Kolektivitas Tradisional

    Nancy Ajram

    Mengapa Nancy Ajram Begitu Menarik bagi Banyak Muslimah di Indonesia?

    Kesederhanaan

    Bahkan bagi Orang Biasa, Kesederhanaan Bukan Hal Biasa

    Tuhan dan Disabilitas

    Tuhan dan Disabilitas: Ketika Keimanan Tak Diukur dari Kefasihan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Gus Ulil: Menyoal Takfir dalam Pandangan Al-Ghazali

Dalam bahasa yang lebih umum atau bahasa yang non agama, pengkafiran itu sebetulnya adalah makna atau bentuk lain dari budaya “cancel culture”

Salman Akif Faylasuf Salman Akif Faylasuf
25 Agustus 2023
in Hikmah
0
Takfir dalam Pandangan Al-Ghazali

Takfir dalam Pandangan Al-Ghazali

762
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tak bisa kita pungkiri bahwa kecenderungan untuk mengkafirkan kelompok atau golongan lain yang berbeda pendapat dengan kita hari ini sangat marak-menyeruak. Dalam bahasa yang lebih umum atau bahasa yang non agama, pengkafiran itu sebetulnya adalah makna atau bentuk lain dari budaya “cancel culture”, sebuah budaya yang bertujuan untuk menyingkirkan dan mengasingkan orang lain yang berbeda pendapat dengan kita.

Kenapa hal ini penting untuk kita percakapkan kembali? Jawabannya karena kita hidup di dalam versi lain dari semacam “perang budaya” atau “perang ide”, disamping karena terbuka luasnya ruang media sosial (teknologi komunikasi) yang memungkinkan semua orang untuk berbicara apa saja dengan bahasa yang lugas.

Jadi, sekarang kita hidup dalam era di mana orang bisa “omong-ngomong” dengan bahasa sehari-hari. Dalam hal ini, kata Gus Ulil, bahasa sehari-hari mereka (cara ngomongnya) tidak ada tekanan untuk tampak lebih sopan, apalagi menghormati lawan bicara. Pokoknya, sekiranya mereka punya pikiran A, mereka akan mengeluarkan apa adanya tanpa ada penyuntingan.

Tentu saja, bahasa “blak-blakan” tanpa di filter itu akan menciptakan suasana yang berbeda, yaitu orang lain mudah mudah terpicu dan marah karena tidak adanya sopan santunnya sama sekali. Tak terkecuali terjadinya gesekan dan menyakiti hati orang lain. Salah satu bahasa yang belakang ini cukup menyakiti adalah kata “pengkafiran”.

Kita tahu, pengkafiran adalah cara komunikasi orang yang tidak menyukai pendapat orang lain atau tidak setuju. Kenapa harus dengan bahasa pengkafiran? Karena ini adalah satu-satunya cara mereka untuk membungkam argumen lawannya. Alih-alih membungkam, sekiranya mereka menggunakan argumen yang normal (logis), maka tidak akan pernah selesai. Itu artinya, dengan menggunakan tuduhan kafir, maka pembicaraan menjadi selesai.

Takfir dalam pandangan Al-Ghazali?

Syahdan, kita tahu Al-Ghazali salah satu tokoh besar yang hidup dalam situasi yang penuh kecamuk. Pada masa Al-Ghazali hidup, pertengkaran antar mazhab dan perdebatan antara sekte-sekte sangat keras. Saking kerasnya, Al-Ghazali pun akhirnya menjadi sasaran dengan tuduhan kafir (pengkafiran).

Waktu berjalan, pengkafiran masih berlanjut, Al-Ghazali akhirnya menulis kitab Faishal Al-Tafriqah. Adalah sebuah kitab yang ia tulis untuk membela diri. Berharap agar tuduhan kafir-mengkafirkan tidak digunakan oleh mereka secara serampangan dan membabi-buta. Kenapa demikian?

Karena jika terpakai secara sembarangan oleh siapapun, tanpa ada parameter yang mengikat dan tanpa ada kriteria yang pasti, maka hal itu bisa menimbulkan kekacauan sosial, bahkan ketegangan dan juga permusuhan diantara golongan-golongan Islam. Yang jelas, siapapun pasti tidak akan mau dikafirkan. Itu sebabnya, dalam kitab Faishal Al-Tafriqah, Al-Ghazali mencoba untuk mendudukkan persoalan-persoalan pengkafiran secara proporsional.

Yang tidak kalah menarik, semua golongan dalam Islam, apapun itu mereka pasti menganggap bahwa diri atau golongannya mewakili Islam yang benar. Dalam bahasa lain, setiap golongan dalam Islam itu pasti membawa “trut klaim”. Artinya, setiap golongan dan kelompok dalam Islam pasti mengklaim bahwa dirinya benar. Bahkan ada yang jauh lebih paling benar.

Ketika kelompok-golongan ini kita kafirkan sudah pasti marah. Begitu juga sebaliknya. Itu sebabnya, takfir secara sembarangan dan serampangan itu pasti akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kelompok-kelompok Islam sendiri. Ujung-ujungnya pun bukan menemukan solusi, melainkan adalah perpecahan internal umat Islam. Dan masalah-masalah seperti ini akan menjadi serius ketika dikombinasikan dengan dimensi-dimensi lain.

Lalu apa tawaran Al-Ghazali untuk mencegahnya?

Gus Ulil mengatakan, bahwa langkah pertama takfir dalam pandangan Al-Ghazali adalah ia memberi definisi yang lebih solid yang bisa menjadi pegangan bersama. Seperti definisi iman. Bahwa iman adalah percaya kepada apapun yang Nabi Muhammad Saw sampaikan.

Jadi, apapun yang Nabi sampaikan baik itu berupa wahyu al-Qur’an maupun ajaran-ajaran lain. Kemudian belakangan dikumpulkan dalam kitab namanya hadis, itulah ajaran kanjeng Nabi. Kita wajib percaya kepada seluruh apa yang Nabi sampaikan.

Langkah kedua, makna percaya itu apa? Definisi ini kalau kita telusuri lebih jauh, makna kita percaya itu adalah bahwa segala apa yang dikatakan dan dibawa oleh kanjeng nabi itu benar ada dan nyata. Setelah mengerti dan mengetahui benar adanya, Al-Ghazali kemudian mengajak memikirkan “ada” itu maknanya apa?

Al-Ghazali mengatakan, bahwa “ada” itu adalah “wujud”. Misalnya, kita melihat jam tangan berada di depan kita, lalu ketika di singkirkan maka jam tangan tidak ada di depan kita. Namun memori mengenai jam tangan itu masih tercetak dalam pikiran kita. Artinya, kita masih bisa menggambarkan jam tangan yang tadi, baik warnanya, mereknya, dan jarumnya.

Contoh lain, misalnya dalam pikiran kita ada konsep angka 2, 3, 4, dan 5. Itu ada dalam pikiran kita. Akan tetapi apakah angka itu bisa dilihat? Jawabannya pasti tidak bisa dilihat. Namun ia ada dalam pikiran. Jadi “ada” itu mempunyai banyak modalitas.

Pembagian Modalitas Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali membagi modalitas ada itu dalam 5 jenis. Pertama Al–Dzati. Adalah wujud yang ada fisiknya (dzat) berupa barang nyata (material-hakiki) di depan mata dan bisa dipegang. Singkatnya, wujud dzati adalah wujud yang terang-benderang tidak memerlukan contoh dan definisi.

Kedua Al–Hissi. Membayangkan bayangan seolah hadir di depan kita, tapi orang lain tidak bisa melihat karena bayangan ini hanya untuk dirinya saja (bayangan ini tidak ada di luar secara meteril). Wujud yang dilihat pada saat kita tidur (mimpi). Dalam tidur kita bisa melihat sesuatu yang tidak ada wujudnya. Kita bisa melihat dengan Indra, tapi tidak ada fisiknya (dzat).

Ketiga Al-Khayali. Sesuatu yang bisa diindera (diingat kembali) ketika sesuatu atau benda itu hilang. Wujud itu akan tetap tergambar seperti semula gambar ada di dalam pikiran (otak). Wujud yang bersifat memorial (al-quwwah al-khayaliyah). Pendek kata, wujud khayali adalah suatu kekuatan yang bisa mencetak gambar realitas di dalam pikiran kita.

Keempat Al-Aqli. Wujud yang ada di dalam pikiran. Karena itu, sesuatu yang ada berubah substansi. Jelasnya, wujud yang bersifat intelektual (punyak gagasan dalam pikiran). Misalnya, seorang sarjana punyak gagasan menulis artikel di jurnal. Seorang arsitek ingin membangun apartemen megah dan lainnya.

Kelima Al-Syabahi. Wujud yang bersifat keserupaan, wujud yang bersifat analogis. Atau dalam bahasa filsafat Yunani kita mengenalnya dengan istilah “antropomorfism”. Adanya wujud ini tidak ada, juga tidak ada gambar hakikatnya, terlebih dalam memori dan akal kita, melainkan adanya berada pada sesuatu lain yang menyerupainya dalam salah satu kekhususan.

Definisi Iman

Masih tentang definisi iman. Misalnya ayat yang artinya: “Tangannya Allah di atas tangan mereka”. Jadi kita percaya bahwa Allah Swt. itu mempunyai tangan. Hanya saja, maknanya bukan ada secara material, melainkan ada secara syahabi atau metaforis. Dalam hal ini, kata Gus Ulil, makna tangan di sini bermakna kekuasaan, karena tangan pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu.

Lebih ringkasnya, cara menangkal pengkafiran menurut Al-Ghazali adalah, dengan cara definisi iman diperluas agar yang bisa dianggap beriman tidak hanya dari golongan kita saja, akan tetapi golongan-golongan yang berbeda dengan kita juga iman. Dengan demikian, definisi iman harus inklusif.

Tak heran jika kemudian dalam kitab Faishal Al-Tafriqah ada sub bab yang isinya adalah bahwa kebenaran itu bukan monopoli satu mazhab atau satu golongan, melainkan kebenaran itu bisa ada pada banyak golongan, tidak eksklusif. Itulah inti gagasan dari Al-Ghazali. Sekali lagi, bahwa cara menangkal pengkafiran adalah dengan membuat definisi mukmin dan muslim itu inklusif.

Sebagai penutup, Gus Ulil mengatakan, bahwa definisi muslim adalah semua orang yang bersyahadad, percaya bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan, dan Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah, lalu dia percaya kepada rukun iman yang lain.

Sekiranya ia memenuhi dan menjalankan kewajiban agama seraya melakukan salat, puasa, zakat, dan haji maka ia adalah muslim. Tak hanya itu, lanjut Gus Ulil, tak peduli apakah orang itu mazhabnya A, B, dan C selagi masih bersyahadat, salat, dan melakukan kewajiban-kewajiban agama yang lain, maka ia masuk dalam kategori muslim. Wallahu a’lam bisshawab. []

Tags: Al GhazaliGus Ulil Abshar AbdallaPemikiran Al-GhazaliTakfirTuduhan Kafir
Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait Posts

Akurasi data
Publik

Akurasi Data Masih Jadi Problematika, Kapan Inkusivitas akan Mengada?

14 September 2025
Emansipasi Perempuan
Personal

Emansipasi Perempuan Menurut Al-Ghazali: Telaah atas Kitab Ihya’ Ulum al-Din

30 Juli 2025
Kritik Kesaksian Perempuan
Hikmah

Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

8 Mei 2025
Orang-orang Dermawan
Hikmah

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Membaca Hikayat Orang-orang Dermawan

20 Desember 2024
Kedermawanan
Hikmah

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Riwayat Kedermawanan Para Penguasa

11 Desember 2024
Imam al-Ghazali
Keluarga

Imam Al-Ghazali: Orang Tua Harus Menjadi Guru Terbaik dalam Mendidik Anak

22 November 2024
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Industri ekstraktif

    Perjuangan Perempuan Adat Melawan Industri Ekstraktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bahasa Isyarat sebagai Jembatan Kesetaraan Komunikasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gembar-gembor AI dan Persimpangan Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Istiqamah di Tengah Penolakan: Perjuangan Panjang KUPI Menghentikan P2GP

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membumikan Ijtihad: Langkah KUPI Menghapus Sunat Perempuan dari Ruang Keluarga hingga Negara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Sampai Kapan Dalih Agama Dibiarkan Membenarkan Kekerasan terhadap Perempuan?
  • Sudahi Nikah Sirri
  • Perjuangan Perempuan Adat Melawan Industri Ekstraktif
  • Film Kopi Pangku: Memberi Kehidupan di Tengah Lapisan Kerentanan
  • P2GP Harus Diakhiri: KUPI Minta Negara Serius Libatkan Ulama Perempuan dalam Setiap Kebijakan

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID