• Login
  • Register
Rabu, 4 Oktober 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Gus Ulil: Menyoal Takfir dalam Pandangan Al-Ghazali

Dalam bahasa yang lebih umum atau bahasa yang non agama, pengkafiran itu sebetulnya adalah makna atau bentuk lain dari budaya “cancel culture”

Salman Akif Faylasuf Salman Akif Faylasuf
25/08/2023
in Hikmah
0
Takfir dalam Pandangan Al-Ghazali

Takfir dalam Pandangan Al-Ghazali

642
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tak bisa kita pungkiri bahwa kecenderungan untuk mengkafirkan kelompok atau golongan lain yang berbeda pendapat dengan kita hari ini sangat marak-menyeruak. Dalam bahasa yang lebih umum atau bahasa yang non agama, pengkafiran itu sebetulnya adalah makna atau bentuk lain dari budaya “cancel culture”, sebuah budaya yang bertujuan untuk menyingkirkan dan mengasingkan orang lain yang berbeda pendapat dengan kita.

Kenapa hal ini penting untuk kita percakapkan kembali? Jawabannya karena kita hidup di dalam versi lain dari semacam “perang budaya” atau “perang ide”, disamping karena terbuka luasnya ruang media sosial (teknologi komunikasi) yang memungkinkan semua orang untuk berbicara apa saja dengan bahasa yang lugas.

Jadi, sekarang kita hidup dalam era di mana orang bisa “omong-ngomong” dengan bahasa sehari-hari. Dalam hal ini, kata Gus Ulil, bahasa sehari-hari mereka (cara ngomongnya) tidak ada tekanan untuk tampak lebih sopan, apalagi menghormati lawan bicara. Pokoknya, sekiranya mereka punya pikiran A, mereka akan mengeluarkan apa adanya tanpa ada penyuntingan.

Tentu saja, bahasa “blak-blakan” tanpa di filter itu akan menciptakan suasana yang berbeda, yaitu orang lain mudah mudah terpicu dan marah karena tidak adanya sopan santunnya sama sekali. Tak terkecuali terjadinya gesekan dan menyakiti hati orang lain. Salah satu bahasa yang belakang ini cukup menyakiti adalah kata “pengkafiran”.

Kita tahu, pengkafiran adalah cara komunikasi orang yang tidak menyukai pendapat orang lain atau tidak setuju. Kenapa harus dengan bahasa pengkafiran? Karena ini adalah satu-satunya cara mereka untuk membungkam argumen lawannya. Alih-alih membungkam, sekiranya mereka menggunakan argumen yang normal (logis), maka tidak akan pernah selesai. Itu artinya, dengan menggunakan tuduhan kafir, maka pembicaraan menjadi selesai.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Manusia Melihat Allah di Akhirat
  • Belajar Menghargai Keberagaman lewat Kurikulum Diri
  • Pengalaman Zakat Perempuan, dan Keajaiban 2,5 Persen
  • RIP: Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
    • Takfir dalam pandangan Al-Ghazali?
    • Lalu apa tawaran Al-Ghazali untuk mencegahnya?
    • Pembagian Modalitas Menurut Al-Ghazali
    • Definisi Iman

Baca Juga:

Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Manusia Melihat Allah di Akhirat

Belajar Menghargai Keberagaman lewat Kurikulum Diri

Pengalaman Zakat Perempuan, dan Keajaiban 2,5 Persen

RIP: Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Takfir dalam pandangan Al-Ghazali?

Syahdan, kita tahu Al-Ghazali salah satu tokoh besar yang hidup dalam situasi yang penuh kecamuk. Pada masa Al-Ghazali hidup, pertengkaran antar mazhab dan perdebatan antara sekte-sekte sangat keras. Saking kerasnya, Al-Ghazali pun akhirnya menjadi sasaran dengan tuduhan kafir (pengkafiran).

Waktu berjalan, pengkafiran masih berlanjut, Al-Ghazali akhirnya menulis kitab Faishal Al-Tafriqah. Adalah sebuah kitab yang ia tulis untuk membela diri. Berharap agar tuduhan kafir-mengkafirkan tidak digunakan oleh mereka secara serampangan dan membabi-buta. Kenapa demikian?

Karena jika terpakai secara sembarangan oleh siapapun, tanpa ada parameter yang mengikat dan tanpa ada kriteria yang pasti, maka hal itu bisa menimbulkan kekacauan sosial, bahkan ketegangan dan juga permusuhan diantara golongan-golongan Islam. Yang jelas, siapapun pasti tidak akan mau dikafirkan. Itu sebabnya, dalam kitab Faishal Al-Tafriqah, Al-Ghazali mencoba untuk mendudukkan persoalan-persoalan pengkafiran secara proporsional.

Yang tidak kalah menarik, semua golongan dalam Islam, apapun itu mereka pasti menganggap bahwa diri atau golongannya mewakili Islam yang benar. Dalam bahasa lain, setiap golongan dalam Islam itu pasti membawa “trut klaim”. Artinya, setiap golongan dan kelompok dalam Islam pasti mengklaim bahwa dirinya benar. Bahkan ada yang jauh lebih paling benar.

Ketika kelompok-golongan ini kita kafirkan sudah pasti marah. Begitu juga sebaliknya. Itu sebabnya, takfir secara sembarangan dan serampangan itu pasti akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kelompok-kelompok Islam sendiri. Ujung-ujungnya pun bukan menemukan solusi, melainkan adalah perpecahan internal umat Islam. Dan masalah-masalah seperti ini akan menjadi serius ketika dikombinasikan dengan dimensi-dimensi lain.

Lalu apa tawaran Al-Ghazali untuk mencegahnya?

Gus Ulil mengatakan, bahwa langkah pertama takfir dalam pandangan Al-Ghazali adalah ia memberi definisi yang lebih solid yang bisa menjadi pegangan bersama. Seperti definisi iman. Bahwa iman adalah percaya kepada apapun yang Nabi Muhammad Saw sampaikan.

Jadi, apapun yang Nabi sampaikan baik itu berupa wahyu al-Qur’an maupun ajaran-ajaran lain. Kemudian belakangan dikumpulkan dalam kitab namanya hadis, itulah ajaran kanjeng Nabi. Kita wajib percaya kepada seluruh apa yang Nabi sampaikan.

Langkah kedua, makna percaya itu apa? Definisi ini kalau kita telusuri lebih jauh, makna kita percaya itu adalah bahwa segala apa yang dikatakan dan dibawa oleh kanjeng nabi itu benar ada dan nyata. Setelah mengerti dan mengetahui benar adanya, Al-Ghazali kemudian mengajak memikirkan “ada” itu maknanya apa?

Al-Ghazali mengatakan, bahwa “ada” itu adalah “wujud”. Misalnya, kita melihat jam tangan berada di depan kita, lalu ketika di singkirkan maka jam tangan tidak ada di depan kita. Namun memori mengenai jam tangan itu masih tercetak dalam pikiran kita. Artinya, kita masih bisa menggambarkan jam tangan yang tadi, baik warnanya, mereknya, dan jarumnya.

Contoh lain, misalnya dalam pikiran kita ada konsep angka 2, 3, 4, dan 5. Itu ada dalam pikiran kita. Akan tetapi apakah angka itu bisa dilihat? Jawabannya pasti tidak bisa dilihat. Namun ia ada dalam pikiran. Jadi “ada” itu mempunyai banyak modalitas.

Pembagian Modalitas Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali membagi modalitas ada itu dalam 5 jenis. Pertama Al–Dzati. Adalah wujud yang ada fisiknya (dzat) berupa barang nyata (material-hakiki) di depan mata dan bisa dipegang. Singkatnya, wujud dzati adalah wujud yang terang-benderang tidak memerlukan contoh dan definisi.

Kedua Al–Hissi. Membayangkan bayangan seolah hadir di depan kita, tapi orang lain tidak bisa melihat karena bayangan ini hanya untuk dirinya saja (bayangan ini tidak ada di luar secara meteril). Wujud yang dilihat pada saat kita tidur (mimpi). Dalam tidur kita bisa melihat sesuatu yang tidak ada wujudnya. Kita bisa melihat dengan Indra, tapi tidak ada fisiknya (dzat).

Ketiga Al-Khayali. Sesuatu yang bisa diindera (diingat kembali) ketika sesuatu atau benda itu hilang. Wujud itu akan tetap tergambar seperti semula gambar ada di dalam pikiran (otak). Wujud yang bersifat memorial (al-quwwah al-khayaliyah). Pendek kata, wujud khayali adalah suatu kekuatan yang bisa mencetak gambar realitas di dalam pikiran kita.

Keempat Al-Aqli. Wujud yang ada di dalam pikiran. Karena itu, sesuatu yang ada berubah substansi. Jelasnya, wujud yang bersifat intelektual (punyak gagasan dalam pikiran). Misalnya, seorang sarjana punyak gagasan menulis artikel di jurnal. Seorang arsitek ingin membangun apartemen megah dan lainnya.

Kelima Al-Syabahi. Wujud yang bersifat keserupaan, wujud yang bersifat analogis. Atau dalam bahasa filsafat Yunani kita mengenalnya dengan istilah “antropomorfism”. Adanya wujud ini tidak ada, juga tidak ada gambar hakikatnya, terlebih dalam memori dan akal kita, melainkan adanya berada pada sesuatu lain yang menyerupainya dalam salah satu kekhususan.

Definisi Iman

Masih tentang definisi iman. Misalnya ayat yang artinya: “Tangannya Allah di atas tangan mereka”. Jadi kita percaya bahwa Allah Swt. itu mempunyai tangan. Hanya saja, maknanya bukan ada secara material, melainkan ada secara syahabi atau metaforis. Dalam hal ini, kata Gus Ulil, makna tangan di sini bermakna kekuasaan, karena tangan pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu.

Lebih ringkasnya, cara menangkal pengkafiran menurut Al-Ghazali adalah, dengan cara definisi iman diperluas agar yang bisa dianggap beriman tidak hanya dari golongan kita saja, akan tetapi golongan-golongan yang berbeda dengan kita juga iman. Dengan demikian, definisi iman harus inklusif.

Tak heran jika kemudian dalam kitab Faishal Al-Tafriqah ada sub bab yang isinya adalah bahwa kebenaran itu bukan monopoli satu mazhab atau satu golongan, melainkan kebenaran itu bisa ada pada banyak golongan, tidak eksklusif. Itulah inti gagasan dari Al-Ghazali. Sekali lagi, bahwa cara menangkal pengkafiran adalah dengan membuat definisi mukmin dan muslim itu inklusif.

Sebagai penutup, Gus Ulil mengatakan, bahwa definisi muslim adalah semua orang yang bersyahadad, percaya bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan, dan Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah, lalu dia percaya kepada rukun iman yang lain.

Sekiranya ia memenuhi dan menjalankan kewajiban agama seraya melakukan salat, puasa, zakat, dan haji maka ia adalah muslim. Tak hanya itu, lanjut Gus Ulil, tak peduli apakah orang itu mazhabnya A, B, dan C selagi masih bersyahadat, salat, dan melakukan kewajiban-kewajiban agama yang lain, maka ia masuk dalam kategori muslim. Wallahu a’lam bisshawab. []

Tags: Al GhazaliGus Ulil Abshar AbdallaPemikiran Al-GhazaliTakfirTuduhan Kafir
Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf

Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Terkait Posts

Kesalingan

Relasi Suami Istri adalah Kesalingan dan Kerjasama

4 Oktober 2023
Istri Bersujud

Makna Hadis Istri Bersujud kepada Suami dalam Perspektif Mubadalah

4 Oktober 2023
Istri Salihah

Hadis Suami Saleh dan Istri Salihah dalam Perspektif Mubadalah

4 Oktober 2023
Suami Istri

Prinsip Pernikahan Harus Suami Istri Selalu Rawat dan Pelihara dengan Baik

4 Oktober 2023
Hiasan

Suami dan Istri adalah Sama-sama Hiasan Dunia

3 Oktober 2023
Relasi Laki-laki

Relasi Mubadalah Pastikan Laki-laki Menjadi Saleh dan Perempuan Jadi Shalihah

3 Oktober 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • mubadalah

    Prinsip Mubadalah adalah Prinsip untuk Kesetaraan dan Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Kesalingan Dalam Mencari Nafkah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 9 Konsep Keluarga Maslahah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Teladan Nabi dalam Pemberian Stimulasi Fisik Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Relasi Suami Istri adalah Kesalingan dan Kerjasama
  • Perempuan Guru Mengaji di Sabuah
  • Makna Hadis Istri Bersujud kepada Suami dalam Perspektif Mubadalah
  • Serigala Betina dalam Diri Perempuan: Mengenalkan Psikologi Feminis
  • Hadis Suami Saleh dan Istri Salihah dalam Perspektif Mubadalah

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist