Saat kecil kita sering mendengar stigma tentang agama lain yang berbeda dengan kita, baik dari keluarga maupun lingkungan tempat tinggal, mereka bilang kalau agama lain itu salah, dan kita tidak boleh dekat-dekat dengan mereka. Kamu pernah merasakan itu saat kecil atau keluargamu sangat menjunjung toleransi? Terlahir dalam keluarga yang menganut agama mayoritas membuat seolah semua sama dengan kita, kadang lupa bahwa ada orang-orang yang menganut kepercayaan berbeda.
Namun tidak semua keluarga menerapkan prinsip saling menghargai dengan sebenarnya, yang dirasakan hanyalah menghormati secara ucapan dan tulisan ketika ada pertanyaan-pertanyaan moral dalam soal ujian. Faktanya? Ada jarak antara kami dan teman-teman non-muslim, hanya bisa membicarakan mereka dari belakang, tanpa berani bertanya langsung, saling berprasangka.
Apakah semua keluarga agama mayoritas seperti itu? jelas tidak, ada beberapa keluarga yang memang mengajarkan arti toleransi sebenarnya, tapi banyak pula yang tidak mengajarkan hal itu. Stigma yang diujarkan pada anak kecil biasanya menyangkut tentang agama, bukan tentang kepribadian orang tersebut, misalnya
Kalau kamu masuk gereja (termasuk Vihara, Pura, Klenteng) kamu jadi kafir, jangan dekat-dekat.
Kalau kamu liat atau baca injil, kamu kafir, hati-hati berteman dengan orang non-muslim
Saat kecil stigma itu jelas ditelan mentah-mentah dan menjadi keyakinan. Lalu bagaimana saat kecil berteman dengan non-muslim? Ya kami tetap berteman sebgaimana anak kecil pada umumnya bermain, tapi kami menganggap bahwa dia berbeda dan kami menjaga jarak.
Tapi seiring berjalannya waktu pada usia remaja, stigma itu tidak bisa diyakini begitu saja, karena pola pikir dan rasa ingin tahu yang semakin berkembang menjadikan rasa penasaran untuk mencari kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan, ada yang mencari jawaban dengan membaca-baca buku tentang trinitas agama, agama samawi, filsafat agama dan lain sebagainya, tidak jarang pula mencari kepuasan atas rasa ingin tahu dengan mengikuti komunitas-komunitas yang ada di daerahnya.
Pada masa inilah moment yang penting, seharusnya orangtua maupun keluarga terdekat membimbing dan menemani, karena jika informasi yang didapatkan salah maka tidak menutup kemungkinan remaja akan terseret pada ekstrimisme. Gejolak rasa penasaran saat remaja tidak bisa dicegah, sudah saatnya untuk tidak lagi menganggap membicarakan agama lain adalah hal tabu, karena Allah SWT memang menghendaki adanya perbedaan bukan?
Jangankan perbedaan di luar agama yang kita anut, dalam Islam saja ada banyak perbedaan seperti adanya NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah dan lain sebagainya. Apakah orangtua/lingkunganmu pernah membahas perbedaan itu? Apakah mereka meyakinkan padamu bahwa perbedaan itu sunnatullah? Tapi kamu mempunyai hak untuk terus meyakini hal tersebut atau berubah dengan mencari jawaban atas pertanyaan ‘apakah perbedaan itu dilarang.
Wacana toleransi memang akhir-akhir ini sangat masif, tapi tetap saja, itu hanya akan menjadi sebatas ucapan dan teks saja jika prasangka tidak dihilangkan. Salah satu komunitas yang mengampanyekan tentang toleransi dan keberagaman adalah Jaringan Gusdurian, komunitas ini aktif menyusuri kampus-kampus.
Komunitas ini juga punya kegiatan safari, kegiatan ini berkeliling ke rumah-rumah ibadah agama lain dan mendengarkan cerita mereka, kami tertarik untuk ikut. Rumah ibadah yang pertama dikunjungi adalah gereja, tempat yang sangat dilarang oleh orangtua dan lingkungan terdekat untuk kami kunjungi, bagaimana perasaan saat itu?
Takut dan grogi, takut karena hal itu telah dilarang oleh orang tua sejak kecil, takut ketahuan orangtua lalu dimarahi, grogi karena berusaha melawan ketakutan itu. ketika memasuki gereja, seolah Romo yang berada dalam gereja tahu bahwa kami takut untuk masuk, beliau tersenyum dan berkata “tidak apa-apa, kalau tidak nyaman masuk bisa duduk di sebelah dan makan snack sambil minum teh hangat.”
Tapi kami tetap masuk. Tidak menyangka sekarang ada salib besar dihadapanku dan aku duduk di kursi panjang dalam gereja, Romo mulai berbicara di depan, beliau bercerita tentang agama yang dianutnya, kalimat penutup ceritanya “agama kami meyakini seperti ini, kalau di agama kalian seperti apa, mari kita saling bercerita, tanya apapun tentang agama kami boleh.”
Setelah itu terjadilah percakapan dari berbagai agama dalam forum tersebut. Bagi kami yang tumbuh terbiasa mendengar stigma agama lain, takjub melihat hal tersebut, sungguh ringan dan menyenangkan mengetahui satu sama lain, ternyata berteman berbeda agama itu tidak menyeramkan.
Menyoal keimanan, dengan berteman berbeda agama tidak akan merusak iman selagi saling menghargai dan menghormati. Kegiatan safari berlanjut pada Masjid, Vihara, Klenteng dan Pura, sungguh menyenangkan mengetahui keberagaman Indonesia. Pengalaman ini menjadikan kami meyakini suatu hal, bahwa kedamaian antar umat beragama akan terjaga jika tidak ada prasangka.
Jadi, jangan ada lagi stigma tentang beda agama. Karena manusia adalah sama. Prasangka hanyalah ketakutan-ketakutan yang tak berdasar, cara efektif menghilangkan prasangka adalah dengan mendengar dan didengar, membangun hubungan sosial dan komunikasi tanpa jarak serta sekat. []