Mubadalah.id – Dalam dunia perjodohan kebanyakan orang tua ingin anak-anak mereka mendapatkan pasangan hidup yang terbaik. Karenanya, tak jarang mereka menjatuhkan pilihan pada orang yang lebih dari anaknya, misal dalam hal pendidikan, profesi, strata sosial, atau minimal setara. Inilah yang disebut kafaah dalam hukum Islam atau bahasa gampangnya kafaah adalah level.
Kafaah semacam filter dalam memilih pasangan dan biasanya sesuai dengan kecenderungan si calon dan keluarganya. Seperti sahabat saya, asli Sumenep tapi tidak mau memiliki suami orang Madura, maka lelaki yang melamarnya jika masih berdarah Madura ya tidak akan diterimanya.
Padahal orang Madura manis-manis, sopan-sopan pula tapi ya terserah dia, hidup dia kok. Anda juga pasti memiliki filter sendiri dalam memilih pasangan hidup. Ada yang ingin pasangannya hafal Alquran karena ingin keturunannya menjadi penjaga Alquran. Ada pula yang ingin pasangannya sudah memiliki profesi mapan karena tak ingin hidup susah, dan masih banyak lagi filter yang menjadi standar dalam memilih jodoh. Itu semua terserah calon mempelai dan keluarga.
Tapi sebenarnya kafaah itu ada nggak sih dalam Islam? Dan apa tujuannya? Bukankah tidak adil jika yang kaya dengan yang kaya, sementara yang miskin tidak punya kesempatan memperbaiki keturunan. Atau yang bangsa darah biru dengan selevelnya, lalu tidak adakah kesempatan bangsa selainnya akan naik strata sosial?
Oke mari perinci satu persatu. Hampir semua kitab fikih empat madzhab menjelaskan kafaah, itu berarti entitas ini memiliki perhatian khusus dalam hukum Islam. Memilih pasangan yang setara dengan dirinya adalah hak setiap individu, utamanya bagi wali dan perempuan. Oleh karenanya hak ini boleh diambil atau ditinggalkan.
Sementara mengenai standar kafaah bukanlah suatu hal yang final. Syekh Zainuddin Al-Malibarī membatasi kafaah pada lima sifat; kemerdekaan, nasab, profesi, aib nikah dan agama keluarga. Hal ini disimpulkan dari Nabi yang menikahi Aisyah dan Hafshah yang masih keturunan bangsa Quraisy. Karena dikatakan bahwa bangsa Quraisy levelnya dengan bangsa Quraisy juga.
Berbeda dengan Ibn Hazm yang mengabaikan standar-standar itu, semuanya baik selama tidak berzina. Buktinya Nabi pernah menikahkan Zainab ummul mukminin dengan Zaid bin Hāritsah budaknya. No problem. Maka anak saudagar sah-sah saja menikah dengan anak pengangguran, atau anak priyayi menikah dengan anak tukang kuli. No problem. Lagi-lagi ini kembali pada kecenderungan atau privilej keluarga masing-masing.
Inilah yang dimaksud bahwa kafaah adalah hak perempuan dan walinya maka ia boleh memperhitungkan atau mengabaikan sifat-sifat itu.
Saya sendiri lebih setuju pada standar kafaahnya Ibn al-Qayyim yang menjadikan tolok ukur level terpenting adalah agama sebab dalam Alquran dikatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS Alhujurat:13) dan Nabi pernah berkata “Manusia itu sama, sebagaimana gigi sisir.”
Namun lain kepala lain pula pemikirannya. Tidak sedikit keinginan orang tua dan anak dalam hal ini berseberangan, orang tua inginkan jodoh yang sekufu sementara anak tidak mementingkan itu. Saat inilah tujuan kafaah harus dijelaskan agar semua pihak bisa menemukan jalan keluar.
Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa kafaah ditinjau dari psikologi dan sosiologi bertujuan untuk meraih kemaslahatan dalam perkawinan ((http://digilib.uin-suka.ac.id/22089/). Saya ingin menambahkan lebih rinci lagi bahwa pasangan yang memiliki latar belakang sama akan meminimalisir perselisihan.
Sebaliknya pasangan yang berbeda, latar belakang pendidikannya, pekerjaannya dan orientasi hidupnya riskan menimbulkan perselisihan. Perselisihan dalam hal apapun, cara pandang, cara mendidik anak, cara bersikap pada pasangan. Dan inilah yang ingin dihindari oleh para penggagas syariat (mujtahid). Dengan demikian dipertimbangkanlah kafaah dalam hukum Islam untuk mencari pasangan hidup agar menjauh dari madarat percekcokan antar anggota keluarga.
Jadi intinya patokan kafaah tertinggi adalah takwa (agama) sebab jika terpaksa beberapa hal atau semuanya berbeda sementara keyakinan dan tingkat ketakwaan kedua mempelai sama-sama kuat maka perbedaan yang terjadi akan menemukan titik temu dan jalan keluar. Akhir kata, tujuan kesetaraan (kafaah) itu adalah meraih kemaslahatan dalam berkeluarga dengan meminimalisir perselisihan. []