Mubadalah.id – Tangannya terasa dingin dan gemetaran sesaat sebelum mencoba membuka mulutnya untuk bercerita. Raut mukanya masih nampak begitu gelisah. “Perempuan murahan!” kalimat pertama yang kudengar saat ia mulai berani bercerita. Ia memulainya dengan tangisan, raut muka yang pucat pasi, dan bibir yang gemetaran. Seorang perempuan berusia 21 tahun, cantik nan anggun.
Peristiwa itu terjadi 7 tahun silam, namun baru berani ia sampaikan saat ini. Keberaniannya untuk menceritakan kisah pilunya berawal dari ketidaksengajaan beberapa waktu yang lalu. Kami bertemu dalam acara sosialisasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Usai ia menceritakan seluruh pengalaman menyakitkan tersebut, ada pertanyaan besar yang mungkin bisa saja terjadi kepada siapapun di dunia ini, yaitu hukum aborsi bagi korban pemerkosaan. Ia merasa bahwa aborsi adaIah dosa besar yang pernah ia lakukan. Ia tak pernah menginginkan menjadi korban pemerkosaan. Apalagi di masa yang seharusnya ia menempuh pendidikan, dan sedang asik untuk berteman serta memiliki banyak pengalaman.
Menghadapi Stigma
Tidak hanya cibiran akibat aborsi di luar pernikahan yang pernah ia terima. Keluarganya juga sering dimarginalisasi oleh masyarakat. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menghujat perilakunya, karena sangat menyimpang dari ajaran agama Islam.
Masyarakat tidak hanya mencibir tindakan aborsinya saja. Akan tetapi, bebannya kian berat karena keluarganya merupakan salah satu tokoh agama yang berpengaruh di kampung halaman. Tidak tahan dengan semua perilaku masyarakat terhadap keluarganya, ia dan keluarga pindah jauh ke luar negeri.
Kisahnya membuatku teringat akan satu buku yang pernah aku baca beberapa waktu lalu. Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi Dalam Perspektif Islam karya Profesor Istibsyaroh. Dia adalah seorang ulama perempuan NU yang berasal dari Jombang, dan merupakan guru besar di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Aborsi dalam Pandangan Ulama Perempuan
Istibsyaroh setuju aborsi adalah tindakan yan haram secara syariat Islam. Namun, juga meyakini bahwa hukum Islam dapat fleksibel terhadap kasus tertentu yang terjadi pada umat Islam atau kita sebut ijtihad ulama’.
Menurutnya, penentu hukum pelarangan aborsi dalam Islam masih atas dasar penghormatan terhadap makhluk hidup yang bernyawa. Namun belum memperhatikan hak kesehatan reproduksi perempuan. Menurutnya, hal ini terjadi karena pendekatan terhadap penentuan hukum aborsi di Indonesia hanya sebatas pendekatan perspektif moral dan hukum saja.
Selain itu, Istibsyaroh menambahkan, ada beberapa alasan mengapa perempuan memilih melakukan aborsi. Ketika perempuan memilih untuk melakukan aborsi bisa saja, itu bukanlah pilihan hidup yang ia inginkan.
Pertama, melakukan aborsi mungkin saja karena kehamilan yang tidak diinginkan, seperti hasil perkosaan atau hamil di luar nikah.
Kedua, dalam sisi kesehatan ada sebagian perempuan yang harus melakukan aborsi karena kondisi kesehatan tubuhnya, seperti adanya tumor atau kanker di rahim.
Ketiga, gagalnya program keluarga berencana, penggunaan alat kontrasepsi yang tidak bekerja dengan baik sehingga terjadi kehamilan yang tidak terencana.
Keempat, faktor ekonomi dan sosial yang tidak siap.
Kelima, aborsi dilakukan karena paksaan dari pasangan atau pihak luar.
Perspektif Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan
Istibsyaroh berpendapat bahwa penentuan hukum aborsi terhadap perempuan haruslah juga menggunakan perspektif hak-hak kesehatan reproduksi perempuan. Karena perempuanlah yang seharusnya memiliki hak penuh terhadap tubuhnya. Keputusan untuk hamil atau tidak, hak perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman dalam konsideran hukum baik hukum Islam maupun hukum di Indonesia.
Apabila perspektif yang kita gunakan untuk aborsi adalah nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk menjalani hak kesehatan reproduksinya, maka seharusnya ada hukum Islam yang menyatakan dengan tegas dengan segala konsekuensinya.
Sementara apabila pilihan terbaik bagi perempuan dalam kasus aborsi adalah pro terhadap kehidupan bernyawa (pro-life), maka hukum Islam seharusnya dapat mensosialisasikan sikap menerima anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu membuat sistem sosial yang siap dengan segala resiko pilihan “pro life” tersebut.
Dengan berbagi faktor penyebab terjadinya aborsi, Istibsyaroh memiliki pandangan bahwa apabila aborsi dilakukan oleh pasangan yang tidak memiliki ikatan pernikahan maka ia sependapat dengan semua ulama, yaitu haram.
Sedangkan untuk kasus aborsi yang dilakukan perempuan, di mana ia memiliki ikatan pernikahan, namun dalam kondisi tertentu seperti adanya gangguan kesehatan, sehingga apabila tidak aborsi dapat menyebabkan kehilangan nyawanya, maka Istibsyaroh berpendapat bahwa aborsi boleh saja ia lakukan sesuai dengan prosedur medis yang berlaku.
Dengan demikian apabila ada perempuan menjadi korban pemerkosaan, dengan usia yang masih rentan dalam kehamilan, atau kehamilan yang tidak diinginkan tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik mental dan fisik mungkin aborsi dapat menjadi salah satu jalan.
Namun, apabila korban dapat menerima kondisinya dengan catatan tidak menyebabkan gangguan kesehatan maka Islampun lebih memuliakannya, karena pilihan untuk mempertahankan kandungannya itu. []