Mubadalah.id – Menjadi perempuan yang hidup di tengah-tengah budaya patriarki itu memang tak mudah. Seringkali laku dan tindakan perempuan yang mencoba merubah kebiasaan dari berbagai sisi kehidupan hari ini, menjadi perbincangan banyak kalangan. Tak hanya dari masyarakat sekitar ia tinggal, bahkan tantangan itu datang dari keluarga sendiri. Lalu mengapa jika aku seorang perempuan?
Saat perempuan masih berada dalam keluarga yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki, maka ia akan dianggap sebagai perempuan yang pembangkang. Karena memilih mendobrak bias atau berbeda dari kebiasaan sebelumnya.
Saya sebagai perempuan yang hari ini mencoba untuk keluar dari belenggu budaya patriarki dalam keluarga sendiri. Merasa seringkali mendapatkan stigma dan tuduhan-tuduhan yang tidak mengenakan, dianggap sebagai perempuan yang lupa bagaimana menjadi perempuan yang baik. Perempuan yang terlalu berambisi, perempuan yang lupa kodratnya sebagai calon ibu dan istri. Di mana tidak kaum laki-laki sukai dan sebagainya.
Kata-kata “Kamu kan Perempuan” seolah menjadi senjata ampuh bagi jamak orang untuk mengintimidasi dan mendiskriminasi kaum perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya. Ketika perempuan hari ini memilih untuk belum menikah di usia yang sesuai standar masyarakat.
Maka ia akan dianggap perempuan yang tidak laku, egois, mementingkan diri sendiri, terlalu pemilih, dan banyak lagi tuduhan-tuduhan lainnya, Bahkan seringkali kita menemui pernyataan-pernyataan “kamu kan perempuan” untuk melegitimasi sikap ketidakadilannya terhadap perempuan.
Pendidikan dan Karir Perempuan
Ketika perempuan memilih untuk berpendidikan dan berkarir dalam hidupnya, maka juga akan mendapatkan kecaman-kecaman yang serupa, “kamu kan perempuan.” Jangan sekolah terus yang kamu pikirkan, nanti laki-laki takut denganmu. Jangan terlalu mandiri sekalilah jadi perempuan, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganmu.
Seolah perempuan hidup di dunia ini hanya memikirkan begaimana penilaian laki-laki terhadapnya, dari pada membangun kesadaran diri setiap individu, bahwa laki-laki dan perempuan harus menjadi manusia yang berdaya sesuai versinya masing-masing.
Seolah terlahir menjadi seorang perempuan itu adalah mimpi buruk. Hidup menjadi perempuan harus siap-siap dengan berbagai represi akan otoritas hidupnya. Harus siap dengan berbagai bentuk objektifikasi yang terlontarkan kepadanya, harus siap menjadi makhluk inferior yang selalu dinomor duakan oleh masyarakat dan lingkungan. Menjadi perempuan, seolah hidupnya, tak hanya milik dia. Melainkan milik sosial yang harus memenuhi tuntutan ini itu agar dianggap perempuan baik yang sesuai standar masyarakat.
Menjadi Perempuan Mandiri dan Berdaya
Bagiku pribadi, menjadi perempuan mandiri dan berdaya adalah bentuk dari saling bertumbuh dalam suatu keluarga maupun dalam relasi rumah tangga nantinya. Sebagai seorang anak yang lahir dari seorang single parent, kehidupan ibuku memenuhi kebutuhan anak-anaknya seorang diri. Ibu adalah contoh yang membuatku semakin yakin bahwa, apapun dan bagaimanapun perekonomian keluargamu, maka tetaplah menjadi sosok yang mandiri.
Ibuku selalu berpesan bahwa, seberapa kayan suamimu kelak, maka tetaplah kamu menjadi perempuan yang mampu mandiri dan membantu pemasukan keluarga. Karena kita tidak akan pernah tahu persis, bagaimana kehidupan di masa depan, apakah kamu akan berpisah dengan pasanganmu karena perceraian ataupun kematian. Walaupun kita tentu tidak ingin mendoakan hal-hal buruk tersebut terjadi dalam kehidupan, tapi sebagai manusia, kita memang harus siap dengan kondisi terburuk sekalipun, bukan?
Sering sekali saya melihat fenomena-fenomena di lingkungan sekitar, ketika mereka memilih menikah muda, rumah tangganya kerap sekali diwarnai cekcok yang pada akhirnya berujung dengan perceraian dini. Ada juga seorang istri yang ketika memutuskan menikah, memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa ikut mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarganya.
Namun pada akhirnya ketika suaminya meninggalkannya, ia hidup tanpa arah, bahkan harus mengais sedikit demi sedikit rezeki kerja serabutan untuk bertahan hidup dengan anak-anaknya. Miris bukan?
Laki-laki dan Perempuan Setara
Hal-hal di atas membuat saya semakin yakin bahwa setiap individu yang dewasa harus mandiri, terlepas dari ia perempuan ataupun laki-laki, menikah ataupun belum menikah. Maka, menjadi perempuan mandiri dan berdaya bukan berarti ia adalah sosok yang sok-sokan, egois, mementingkan diri sendiri.
Apalagi ada anggapan sebagai perempuan pembangkang dan menyaingi laki-laki, tidak sama sekali. Mandiri, sejatinya adalah mengajarkan kita menjadi manusia yang siap dengan berbagai bentuk kemungkinan kehidupan di masa depan. Sehingga, ada ataupun tidak ada pasangan nantinya, harapannya perempuan akan mampu memenuhi kehidupannya dengan layak.
Jadi, jangan selalu mengkambing hitamkan kata-kata “kamu kan perempuan” untuk membelenggunya menjadi manusia yang lebih berdaya dan merdeka. Biarkan seorang perempuan melakukan hal-hal baik yang menjadi pilihan hidupnya dengan rasa tanggung jawab. Selagi ia tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menentukan pilihan hidupnya. Yang penting ia sadar dengan setiap keputusan yang ia ambil. []