Mubadalah.id – Hampir empat tahun ibu berpulang, membawa begitu banyak perubahan. Tidak ada lagi tungku kayu yang menyala, hanya suara cetrekan kompor sesekali. Karena memasak tak lagi menjadi rutinitas. Tumpukan cucian menghiasi sudut ruangan tersimpan dalam keranjang, satu terisi baju yang belum di cuci, satu lagi yang belum terlipat. Tak ada suara orang mengaji saat subuh di samping telinga, yang ada hanya sunyi.
Selain sedih karena kehilangan, aku pernah menangis tersedu-sedu hingga membuat keluargaku panik. Karena tangisku terdengar pilu, menyedihkan dan tak bisa aku hentikan. Mereka bahkan memanggil pemuka agama, takut aku ketempelan. Saking hebohnya tangisku saat itu.
Padahal, aku menangis karena merasa capek. Sudah merasa sedih karena kehilangan, aku juga berhadapan dengan segudang pekerjaan rumah tangga. Menyapu, ngepel, nyuci piring, memasak, nyuci baju, bahkan masih harus pergi bekerja setiap harinya. Aku lelah mengerjakan semuanya sendiri. Bapak seolah membebankan semuanya kepadaku.
Pagi sebelum bekerja, aku harus memasak nasi, mencuci pakaian, membereskan rumah. Lalu pergi bekerja. Saat pulang, tubuhku lelah tapi aku harus menyiapkan makan malam. Tumpukan piring yang belum tercuci, lalu pakaian yang menggunung karena belum terlipat. Melihatnya saja membuatku semakin merasa capek.
Kehilangan Ibu
Aku sedih kehilangan ibu, namun tak ada ruang untuk menangis. Aku capek mengerjakan semuanya sendirian. Bahkan aku merasa kesulitan mengikuti ritme kehidupan yang baru ku jalani setelah ibu tiada.
Karena saat ada ibu, aku hanya mencuci baju lalu pergi bekerja. Tidak ada tugas memasak atau lainnya. Karena aku merasa itu adalah tugas ibu.
Betapa seringnya aku dan Bapak meremehkan pekerjaan rumah tangga dan membebankannya pada ibu seorang saat itu.
Setelah kejadian aku menangis–yang disaksikan oleh saudaraku. Aku mulai menemukan ritmenya. Bahwa aku tidak harus mengerjakan semuanya, aku bisa mengerjakannya satu persatu. Ambil yang paling urgent untuk aku kerjakan. Bapak juga mulai belajar menanak nasi di magic com. Sehingga aku tidak lagi memasak sebelum berangkat kerja, sepulang bekerja nasi bahkan sudah matang.
Cukup membeli lauknya saja. Bapak juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, beliau menyapu ala kadarnya. Bahkan terkadang menjemur bajuku yang tidak keburu dijemur karena buru-buru. Beliau bahkan mencuci pakaiannya sendiri. Kadang memasak lauk yang ia inginkan untuk diri sendiri.
Karena keadaan, akhirnya Bapak melakukan pekerjaan rumah tangga yang semasa Ibu ada, tak pernah ia kerjakan.
Dulu, Ibu menyiapkan teh dan cemilan untuk Bapak di pagi hari, menyediakan semua yang bapak butuhkan. Sekarang, Bapak bisa melakukan semuanya sendiri. Menyeduh teh, dan menggoreng singkong secara mandiri. Saking tidak pernahnya turun ke dapur, Bapak bahkan kesulitan menyalakan kompor saat awal ibu tinggalkan. Sekarang ia sudah jago, bahkan bisa memasak semur daging sapi sendiri.
Bapak belajar banyak hal setelah ibu meninggal, begitu pula dengan aku
Lalu akhir-akhir ini, fyp video di tiktok. Kisah seorang suami ditinggal istrinya berhaji. Ia membagikan kisahnya dari mulai hari pertama hingga sekarang sudah hampir memasuki masa tinggal terakhir ibadah haji. Beliau membagikan “keriweuhannya” mengurus balita. yang mungkin baru ia rasakan setelah istrinya pergi berhaji.
Betapa chaosnya kondisi rumah saat ditinggalkan pawangnya. Namun ia berhasil melakukannya, terbukti dengan video yang beliau upload. Meskipun riweuh ia menjalankan tanggung jawabnya menjaga anak dan rumah. Bahkan ia pernah menambahkan kalimat candaan “Masuk surga jalur bapak rumah tangga” seolah mencerminkan betapa menguras tenaga dan kesabarannya menjadi Ibu rumah tangga yang sedang ia lakukan.
Ini menunjukan bahwa suami atau laki-laki itu bisa lho mengerjakan pekerjaan domestik yang selama ini sering kita bebankan pada perempuan. Hanya saja mereka engga mau melakukannya–karena beranggapan bahwa itu memang tugas perempuan. Dan baru akan mereka kerjakan saat istrinya tidak ada.
The power of kepepet!
Kemudian, selain lelaki patriarki yang engga mau. Perempuan juga turut serta melanggengkan budaya patriarki tanpa mereka sadari.
Salasatunya melalui pola asuh yang mereka terapkan pada anak lelakinya. Anak perempuan diajarkan dan di biasakan untuk menyapu, ngepel dan beres beres. Bahkan saat sudah remaja, anak perempuan akan sering dikenalkan dengan beragam jenis bumbu dapur. Mulai kita tekankan untuk bisa memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Sedangkan anak laki-laki, paling sering terlibat saat harus mengerjakan hal-hal berat saja. Misal mengangkut beras, mengangkat galon atau menggeser posisi lemari. Mereka seolah disetting hanya untuk mengerjakan hal-hal yang menjadi pekerjaan berat saja. Tidak kita biarkan untuk mengerjakan hal remeh temeh seperti menyapu dan lainnya.
Sehingga saat menjadi dewasa, laki-laki hanya terbiasa mengerjakan pekerjaan berat. Ego mereka akan tersentil apabila kita suruh mengerjakan hal hal domestik rumah tangga yang dianggap pekerjaan yang mudah dan ringan.
Tanpa sadar, seorang Ibu membesarkan anaknya untuk menjadi patriarki
Inilah tugas kita untuk meluruskan persepsi bahwa “pekerjaan domestik rumah tangga adalah pekerjaan yang mudah”.
Pekerjaan rumah tangga adalah berat, dan menjadi pekerjaan yang tidak ada habisnya. Dan itu tanggung jawab semua anggota keluarga. Tidak hanya menjadi tanggung jawab Ibu atau anak perempuan dirumahnya.
Anggapan bahwa lelaki tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga adalah salah. Mereka bukan tidak bisa, hanya engga mau melakukannya. Karena stigma yang melekat saat mengerjakannya.
Adalah dianggap lemah. Dan itu melukai ego laki-laki. []