Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, secara mendadak saya diminta untuk mengisi sebuah kajian. Awalnya terlintas ingin menolak, karena memang dadakan banget, siang ngabarin besoknya langsung ngisi. Tapi entahlah ujung-ujungnya iya-iya aja dan menyetujuinya.
Dengan modal nekat yang gas-gas aja, modal persiapan yang seadanya, akhirnya saya memilih topik “lepaskan beban, bahagiakan pikiran”. “Sepertinya topik ini yang paling menarik dan paling mudah dipahami deh di antara deretan pilihan topik yang sempat terlintas”, begitu batin saya.
Karena sifat kajiannya berupa keislaman, mau tidak mau saya harus menyiapkan dalil-dalil penguat, baik dari Alquran maupun hadis, atau pernyataan-pernyataan ulama yang menyokong topik.
Karena topik ini berkaitan erat dengan mental health. Sehingga saya mengambil beberapa prinsip saja dari filsafat Stoa, ya hitung-hitung mengenalkan sedikit filsafat, yang menurut beberapa pandangan dianggap kafir.
Meskipun dalam memahami Tuhan, filsafat Stoa bercorak Panteisme; yang menilai alam dan realitas sebagai entitas tertinggi atau Tuhan itu sendiri. Hal itu jelas sangat berbeda dalam pandangan Islam yang menolak segala bentuk penyamarataan antara Sang Khalik dan makhlukNya.
Betapapun begitu, saya rasa dalam menghadapi problematika kesehatan mental, prinsip-prinsip filsafat Stoa masih bisa kita petik hikmah-hikmah prinsipil yang sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman.
Kalau berdasarkan hadis nabi, hikmah merupakan barang yang hilang dari seorang mukmin, Maka jika menemukannya, kita lebih berhak mengambilnya kembali.
Atau dalam redaksi yang berbeda berbunyi begini,
خُذِ الحِكْمَةَ وَلاَ يَضُرُّكَ مِنْ أَيِّ وِعَأءٍ خَرَجَتْ
Ambillah hikmah, yang takkan merugikanmu, dari manapun ia keluar.
Jadi dari manapun asalnya, jika itu masih bermanfaat untuk kebaikan kita, mengapa tidak?
Inilah alasan mengapa jalur pencarian filosofis dari luar Islam tetap saya suguhkan. Toh intinya tetap ingin menjawab pertanyaan besar tadi, “bagaimana sih cara melepaskan beban dan membahagiakan pikiran?”
Dikotomi Kontrol
Cara Pertama adalah, dikotomi kontrol.
Dalam filsafat Stoa hidup itu terdiri dari dua hal, pertama segala yang ada dalam kendali (internal), ini meliputi persepsi, tindakan, keinginan, dan sejenisnya. Kedua, yang berada di luar kendali kita (eksternal). Hal ini meliputi kekayaan, keberhasilan, dan cuaca, juga termasuk opini orang-orang terhadap kita.
Mudahnya begini deh, kebahagiaan dan kesedihan kita itu sedikit banyak dipengaruhi dua hal ini. Tapi jika kita mampu mengelolanya dengan baik, tentu akan mendapat dampak yang baik pula bagi kesehatan mental kita.
Contoh nih, kita lagi ngobrol ngalor-ngidul dengan seorang teman, setelah pulang kita kepikiran, apakah yang kita omongin nyakitin dia gak ya, jangan-jangan saran yang kita beri malah jadi masalah baru bukan sebagai solusi, apa kita sudah menjadi pendengar yang baik; yang tau kapan harus mendengarkan dan kapan harus nimbrung.
Menakuti apa yang tidak atau belum terjadi adalah sia-sia belaka dan berdampak buruk ke kita. Sebab itu merupakan hal eksternal yang tidak bisa kita kontrol. Orang lain mau berpendapat apapun tentang kita itu hak mereka yang tidak bisa kita kendalikan. Sehingga yang bisa kita kontrol hanyalah persepsi kita terhadap itu semua.
Hal ini selaras dengan apa yang Epictetus katakan bahwa “Yang melukai mu bukanlah orang yang menyerang atau menghina diri mu, tetapi pendapat mu kalau hal-hal ini adalah penghinaan.”
Tidak hanya berhenti itu, harus melakukan cara kedua sebagai tindak lanjut dari sebelumnya, yakni menerima takdir.
Amor Fati “Mencintai Takdir”
Filsafat Stoa menyebutnya Amor fati atau secara kasar memiliki arti “cinta takdir” atau “cinta pada takdir seseorang”. Konsep ini mengajarkan bagaimana menerima dan merangkul segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, belum, dan mungkin yang akan terjadi.
Terkadang dari harapan-harapan yang kita miliki. Ikhtiar yang telah kita lakukan dengan upaya yang ugal-ugalan (baca: berusaha keras). Tidak hanya itu, doa-doa juga telah terapal sepanjang waktu dengan harapan itu semua segera terwujud. Namun sayang yang kita dapat malah kegagalan saat melalui jalur darat dan langit sekaligus.
Jika itu menimpa, tidak sedikit yang akan merasa kecewa, bahkan ada yang terlalu larut memikirkan, yang mengakibatkannya stres dan depresi, yang menjadikan keadaan menjadi semakin rumit. Sudahlah keinginan tidak tercapai, masih saja kita buat rumit dengan memikirkannya secara berlebihan. Cepat atau lambat itu semua bisa berakibat buruk pada kondisi fisik kita yang ikut serta sakit karena derita mental kita yang jatuh. Kalau bahasa psikologinya psikosomatik.
Setidaknya untuk menyadari bahwa kehidupan tak selamanya berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kalau kita lihat baik-baik, prinsip-prinsip itu sejalan dengan prinsip ikhtiar, doa, dan tawakkal. Bahkan Alquran juga turut menegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 216 yang artinya;
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Secara terang Allah telah mewanti-wanti kita untuk mawas diri dalam menerima kenyataan, agar mencintai dan membenci sesuatu sesuai dosisnya. Sehingga poin yang perlu kita garisbawahi adalah bagaimana agar pikiran kita jangan sampai dikuasai oleh pikiran yang tidak-tidak hingga membuat keadaan semakin pelik nan runyam. Jadi apapun hasil yang kita peroleh, baik maupun buruk harus kita terima dengan lapang dada.
Manusia Merencanakan, Tuhan Menentukan
“Al-insanu bi al-tafkir wa Allah bi al-taqdir”, Manusia hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan. Begitulah kira-kira.
Daripada menjadi berat di pikiran hingga menjadi beban yang memicu depresi dan stres, bukannya lebih baik santuy teratur itu jauh lebih menenangkan.
Sebelum tulisan berakhir, saya akan memungkasinya dengan maqalah dari sebuah kitab legendaris “al-Hikam” karangan Syaikh Ibn Athaillah al-Sakandari.
أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
“Istirahatkan diri mu dari kesibukan mengurusi dunia, apa yang telah Allah atur tidak perlu kau sibuk ikut campur.”
Yakinlah bahwa apa yang terjadi, betapapun kita tidak menyukainya, in sya Allah itu merupakan yang terbaik dari Allah yang tidak pernah kita ketahui hikmah yang terkandung di baliknya. Allah merupakan sutradara terbaik yang Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk hambaNya untuk kisah-kisah indah selanjutnya. Wallahu A’lam bi al-shawab. []