• Login
  • Register
Senin, 12 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Manusia Digital dan Algoritma Ketuhanan

Mendengarkan pengajian, belajar konten yang berbasis dakwah keagamaan, atau apapun sejenisnya itu lebih baik daripada tidak belajar sama sekali

Ali Yazid Hamdani Ali Yazid Hamdani
20/04/2024
in Pernak-pernik
0
Manusia Digital

Manusia Digital

777
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ngaji Posonan di Pesantren Budaya Kaliopak tidak pernah berhenti memberikan pertanyaan-pertanyaan menohok nan reflektif. Usungan tema yang meledak-ledak “Manusia Digital dan Algoritma Ketuhanan” memberikan rentetan pertanyaan lanjutan yang sangat bersifat personal. Yakni berdasarkan pengalaman dan kritis terhadap kenyataan yang sedang kita hadapi.

Seperti biasanya, selepas pembahasan materi dari para narasumber, para santri berkumpul berdasarkan kelompok yang telah terbagi. Hal itu bertujuan untuk mempertajam materi, mengolah, dan memberikan tanggapan-tanggapan. Baik yang berupa kesepakatan maupun ketidaksetujuan dari para santri terhadap pemaparan narasumber. Atau berupa pertanyaan-pertanyaan kritis yang luput dari bahasan tapi masih bertengger di bawah payung tema persoalan.

Salah satunya seperti, “di tengah kemudahan dan keserba-cepatan dari dampak kecanggihan teknologi digital orang-orang cenderung mengabaikan sanad keilmuan yang dijunjung tinggi dalam Islam.”

Problem ini merupakan bentuk turunan dari kecanggihan teknologi/teknologi digital yang menawarkan kemudahan dan kerserba-cepatan. Sehingga apa-apa serba cukup dengan sekali klik. Apalagi ini telah menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia saat ini, bahkan telah menubuh menjadi lifestyle.

Otoritas Keilmuan

Khususnya kalangan anak muda, yang seringkali disebut sebagai native digital. Lantaran sejak kecil memang telah dekat dengan teknologi yang serba-serbi digital. Bahkan berbagai platform media sosial bertransformasi menjadi ladang dakwah bagi sebagian orang dan menjadi media baru dalam mempelajari agama untuk banyak orang.

Baca Juga:

Awet Muda di Era Media Sosial: Perspektif dan Strategi Perempuan

Kartini di Era Internet, Habis Gelap, Terbitlah Algoritma

Tren Foto ala Studio Ghibli, dan Bagaimana Menghargai Profesi

Fenomena Arra: Pola Asuh Positif atau Eksploitasi Anak di Media Sosial?

Alasannya cukup sederhana, mudah dengan cukup sekali klik sembari tiduran atau duduk santai sambil memilih topik kajian sesuai selera dan murah karena tidak perlu mengeluarkan banyak budget. Lalu yang terpenting memiliki jaringan internet yang kuat. Sehingga keresahan yang ingin mereka tanyakan berujung pada gawai sebagai solusi dan rujukan paling dekat untuk mencari kunci jawaban. Masalahnya mereka acapkali merasa cukup dengan jawaban yang ada.

Yang menjadi persoalan kemudian, otoritas keilmuan saat ini juga mengalami perubahan. Kadang ucapan seorang profesor atau orang yang ahli dalam bidangnya kalah pamor oleh pernyataan seorang influencer yang memiliki banyak pengikut/penggemar. Hal ini yang Tom Nichols sebut sebagai “The Death of Expertise/Matinya Kepakaran” lantaran sekat antar pakar dan tidak pakar kian tipis dengan maraknya fenomena digital yang membolehkan siapapun berkomentar apapun. Dan itu real terjadi.

Termasuk dalam aspek keagamaan, kita tidak pernah mengetahui mana yang benar-benar ustaz dan mana yang ngustaz. Apalagi gelar keustazan gampang kita peroleh dengan bermodal lihai ngomong dan menyempilkan ayat-ayat dan hadis. Sebab banyak yang memproklamirkan dirinya sebagai ustaz, namun tidak mengusung nilai-nilai kerahmatan yang sejuk dan damai, yang ada justru membawa narasi yang berpotensi memicu kegaduhan.

Sanad Keilmuan

“Belajar agama itu tidak cukup hanya dengan membaca buku, mendengar podcast, maupun menonton pengajian di berbagai platform seperti Youtube, Instagram atau Tiktok. Harus ada guru yang membimbing dengan sanad keilmuan yang jelas. Sebab jika tidak ada guru, yang mengajarinya adalah setan”, jawab seorang teman yang mengeluh-kesahkan keresahannya.

Kalau kita tarik lagi pada konteks digital, lantas di mana letak sanad keilmuan?

“Satu hal yang menjadi pertanyaan besar saya. Apakah dengan situasi sekarang kita harus memahami ‘sanad keilmuan’ ini sebagai pemahaman yang lama atau dengan definisi yang baru?” Tanya seorang lagi untuk meyakinkan.

Menurut saya, biarkanlah sanad tetap dengan definsinya yang lama. Sebab kehadiran sanad tetap dan harus ada sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjaga orisinalitasnya. Saya kemudian teringat dengan sebuah riwayat yang begini,

الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء

“Sanad merupakan bagian dari agama, kalau bukan karena sanad, pasti siapapun bisa berkata dengan seenaknya.”

Intinya sanad itu mesti jelas. Sebab jika suatu saat terjadi perbedaan pendapat, bahkan ada yang menghujat, maka kita gampang meresponnya dengan menunjukkan sumber yang paling otoritatif untuk menunjukkan otentisitasnya. Setidaknya bisa mengutarakan kalau itu bukan asal bunyi.

Kekayaan Perspektif Islam

Lagi-lagi kalau kita bawa pada konteks digital, apakah itu cukup?

Tentu saja tidak. Selanjutnya, sikap tidak pernah merasa cukup dan selalu ingin tahu (curiosity). Pada dasarnya kemudahan dan kemurahan dari teknologi yang sedang kita alami merupakan suatu hal yang tidak dapat kita tolak keberadaannya, bahkan telah menjadi bagian dari kehidupan kita.

Bagi saya, mendengarkan pengajian, belajar konten-konten yang berbasis dakwah keagamaan, atau apapun sejenisnya itu jauh lebih baik daripada tidak belajar sama sekali. Namun yang mesti digarisbawahi itu tadi, “tidak pernah puas dan merasa cukup dengan apa yang diperoleh dari internet.”

Dan itu juga bisa melalui banyak cara. Entah melalui diskusi kecil-kecilan dengan teman dan orang-orang terdekat yang dirasa memiiki kapabilitas dalam lini keagamaan atau mencari sebanyak mungkin perspektif yang berbeda dari topik yang sama, untuk memperkaya perspektif. Sehingga kita tidak kagetan dan menyadari bahwa Islam kaya perspektif. Di mana narasi keagamaan yang dibawakan secara parsial dapat ditambahi dengan beberapa pemahaman lain yang berbeda untuk memperkaya pemahaman.

Sanad keilmuan di sini juga dapat kita artikan kehadiran sebuah guru yang mendampingi seorang yang hendak belajar ilmu agama. Namun peran guru tetap dibutuhkan dalam situasi semacam ini, sebab bagaimanapun peran guru menjadi tokoh sentral dalam tumbuh kembang keilmuan yang sedang kita hadapi.

Perlu saya garisbawahi fenomena di atas bahwa bukan hanya yang pandai beretorika tapi juga beretika. Bukan hanya yang lihai mencomot ayat ini dan hadis itu tapi juga pandai mengekstrak nilai-nilai rahmah yang terkandung dalam Al-Quran hingga mampu mengaplikasikannya dalam laku kehidupan. []

Tags: Algoritma KetuhananLiterasi DigitalManusia Digitalmedia sosialPesantren Budaya Kaliopak
Ali Yazid Hamdani

Ali Yazid Hamdani

Ia aktif menulis esai, suka beropini, dan sesekali berpuisi.

Terkait Posts

Islam

Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

11 Mei 2025
Menyusui

Menyusui adalah Pekerjaan Mulia

10 Mei 2025
Bekerja adalah

Bekerja adalah Ibadah

10 Mei 2025
Mengapa Bekerja

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

10 Mei 2025
perempuan di ruang domestik

Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

9 Mei 2025
PRT

Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

9 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerja Rumah Tangga

    Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha
  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version