Mubadalah.Id– Meiliana, seorang Ibu muda yang berasal dari Sumatera Utara, pekan kemarin divonis 18 bulan penjara dengan tuduhan penistaan agama.
Peristiwa ini bermula sejak 22 Juli 2016, ketika Meiliana berbelanja di warung dan menceritakan resah karena harus mendengarkan suara adzan yang lebih keras dari biasanya.
Kalimat singkat Meliana itu lantas menyebar dari pemilik warung, ke bapaknya, ke saudaranya, lalu menyebar ke orang lain. Hingga akhirnya tersebar isu bahwa ada orang yang melarang adzan.
Begitu yang disampaikan Ranto Sibarani sebagai salah satu pengacara yang membela kasus Meliana, dalam postingannya di media sosial yang kemudian menjadi viral.
Baca juga: Meiliana dan Keseimbangan Cara Beragama
Menilik kasus yang menimpa Meliana ini, saya merasakan cinta yang telah hilang dari orang-orang yang mengaku beragama itu. Ajaran agama dipahami hanya sebatas pepesan kosong hampa makna. Kita hanya sibuk melihat bungkus, tapi tak peduli pada isi.
Hakikat dari beragama yang lekat pada perilaku tepo seliro, tenggang rasa sesama manusia, telah hilang berganti dengan formalitas, pembakuan dan ritual tata cara ibadah. Hingga ia serupa tubuh yang berjalan tanpa jiwa.
Meiliana kehilangan cinta dari orang-orang di sekitarnya, yang mengaku sebagai tetangga, sahabat, saudara sebangsa dan setanah air. Tak lagi terlihat Meiliana sebagai manusia yang sama. Dia berbeda lalu diasingkan dengan dipinggirkan dalam sudut gelap bernama pasal penodaan agama.
Bagi seorang pencinta bahkan yang menyatakan keimanan pada Tuhan, ia tak lagi melihat perbedaan sebagai sesuatu yang harus dijauhi lalu disingkirkan. Sebaliknya akan merangkul segala jenis perbedaan dengan kasih sayang tiada tara. Bukankah Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia?
Baca juga: Cinta Nabi untuk Pengemis Yahudi
Sementara memberi penghormatan terhadap orang lain yang berbeda adalah bagian dari akhlak kita sebagai muslim. Jika hal itu saja kita sudah kehilangan, maka mungkin sebutan menjadi muslim yang kaffah tak lagi layak untuk kita sandang.
Menurut Erich Fromm jika seorang pribadi mencintai hanya satu orang dan acuh tak acuh dengan sesamanya yang lain, cintanya bukanlah cinta. Melainkan kelekatan timbal balik atau egoisme yang meluas. Jika benar-benar mencintai seseorang, saya harus mencintai semua orang, mencintai seluruh dunia, mencintai kehidupan.
Apabila bisa mengatakan pada orang lain, “saya mencintai kamu”, maka saya harus mampu mengatakan, “saya mencintai semua orang, saya mencintai seluruh dunia, saya mencintai seluruh dunia, saya mencintai kamu dan juga diriku.”
Pada keterangan lain Erich Fromm mengatakan tentang cinta sesama yang paling fundamental, yakni semua cinta yang mendasari kehidupan manusia. Antara lain rasa tanggung jawab, kepedulian, respek, pemahaman tentang manusia lain, kehendak untuk melestarikan kehidupan. Cinta sesama adalah cinta kesetaraan.
Hal ini sejalan dengan prinsip kesalingan atau mubadalah, memaknai cinta tidak berat sebelah hanya pada satu orang, satu kelompok atau golongan saja. Tetapi saling mencintai secara lebih luas bahwa setiap orang terlahir sama. Perbedaan hanyalah cara atau persepsi yang kita bangun dalam menilai seseorang.
Baca juga: Prinsip Mubadalah dalam Relasi Sosial
Sementara itu Dr. Faqihudin Abdul Qodir dalam catatan ‘Tauhid sebagai Basis mubadalah’ mengatakan bahwa tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya, tanpa perantara laki-laki.
Karena hubungan vertikalnya hanya kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal. Keduanya adalah setara. Yang harus dibangun di antara mereka adalah hal-hal yang mengacu pada nilai-nilai kerjasama dan kesalingan, bukan superioritas dan dominasi.
Jadi ketauhidan dalam Islam menolak sistem sosial yang mendominasi dan menguasai. Sehingga mengesakan Allah SWT adalah tauhid dan menduakanNya adalah syirik.
Apabila tauhid sosial adalah perilaku hormat atas kemanusiaan, kemitraan, kerjasama, dan saling tolong menolong, maka perilaku dan merendahkan orang lain, angkuh, otoriter dan zalim bisa dikategorikan syirik sosial. Tauhid dan syirik sosial ini bisa berlaku dalam kasus yang dialami Meiliana.
Baca juga: Tauhid untuk Keadilan dan Kesalingan
Sebagai bagian dari mayoritas umat Islam di Indonesia, sungguh saya ikut merasa malu dengan apa yang telah menimpa Meiliana. Terlebih anak-anaknya juga mengalami trauma, karena persepsi yang dibangun masyarakat yang menyatakan jika ibunya telah melarang suara adzan. Artinya dia dianggap telah menodai agama Islam.
Tidak hanya sekedar sanksi sosial yang diterima, Meliana juga terancam hukuman penjara 5 tahun. Meski kabar terakhir telah dijatuhi vonis 18 bulan. Dan tim hukum Meliana sudah mengajukan banding.
Saya hanya berharap Meliana dibebaskan, dan tidak ada lagi hukum yang timpang sebelah, meminggirkan suara minoritas. Apalagi ia hanya tertulis di atas kertas tanpa realisasi yang jelas.
Meiliana adalah kita, yang akan terus menjaga cinta terhadap sesama. Esok bukan tak mungkin kita akan menjadi Meiliana yang lain. Atau justru kitalah yang melakukan kekerasan dan menyebar kebencian. Maka tak peduli dari manapun asal-usulnya, sudah seharusnya atas nama cinta kita saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada.
Atau karena cinta pula kita akan lebih memahami jika setiap persoalan yang ada bisa kita selesaikan dengan saling bicara, bukan dengan memenjara. Akan hilang semua cinta yang sudah susah payah kita semai ini, hingga yang ada hanyalah rasa curiga yang berujung pada kebencian tak berkesudahan.
Demikian kisah Meiliana yang divonis 18 bulan penjara atas tuduhan penghinaan agama. kasus ini seyogianya memberikan alarm bagi nurani kita. []