Mubadalah.id – Tanggal 8 sampai 11 Juni 2024 aku dan teman-teman semester dua Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) melakukan kegiatan pembelajaran PAR (Participatory Action Research) di Yayasan Wangsakerta, Cirebon. Tepatnya di Dusun Karangdawa, Kabupaten Cirebon.
Selama empat hari tiga malam, aku dan teman-teman belajar banyak hal di Yayasan Wangsakerta. Salah satunya belajar melakukan mini riset menggunakan pendekatan PAR. Selama di sana aku diminta untuk terlibat aktif dalam berbagai aktifitas masyarakat, baik yang berkaitan dengan sosial maupun yang lainnya.
Dari semua pengalaman yang aku dapatkan di Yayasan Wangsakerta, hal paling menarik dan bikin aku gagal move on adalah ketika aku berkeliling dan melakukan mini riset di pasar Balong Setu (Balset).
Pasar Balset biasa diadakan hari Minggu sebulan sekali di Dusun Karangdawa. Sudah lima kali Yayasan Wangsakerta mengadakan pasar Balset ini. Uniknya, hampir semua yang berdagang di pasar Balset adalah perempuan.
Dari informasi yang aku dapat selama melakukan mini riset, ternyata para pedagang ini, dulunya adalah petani perempuan yang didampingi oleh Ibu Farida Mahri (seorang socio-entrepreneur sekaligus pemilik Yayasan Wangsakerta).
Jadi ibu-ibu yang di rumahnya sudah menanam, diajak untuk mengolah hasil tanamannya menjadi makanan siap saji, lalu dijual di pasar Balset. Sehingga, hasil bertani tersebut tidak lagi dijual ke luar Dusun Karangdawa, tapi diproduksi dan dijual di lingkungan sekitar.
Menurut Ibu Farida, harapan dari inisiatif pasar Balset ini ialah bisa mendorong para perempuan untuk berdaya secara ekonomi. Di sisi lain, kegiatan ini juga bisa menjadi ruang kreativitas para ibu-ibu di Dusun Karangdawa.
Sehingga, peran ibu-ibu di Karangdawa tidak lagi terbatas di wilayah domestik. Namun menjadi luas dan secara perlahan bisa mandiri dan berdaya secara sosial, ketahanan pangan dan juga ekonomi.
Nabi Mengapresiasi Perempuan Bekerja di Publik
Melihat pemandangan seperti ini, aku jadi paham mengapa dalam berbagai catatan hadis, Nabi membolehkan bahkan mengapresiasi perempuan yang bekerja di luar rumah. Sebab, Nabi juga ingin mendorong para perempuan di masa itu untuk mandiri dan berdaya secara pengetahuan, finansial dan sosial.
Dalam buku “Perempuan (bukan) Makhluk Domestik” karya Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menyebutkan bahwa di masa Nabi, ada banyak sekali perempuan yang ikut terlibat dalam berbagai kegiatan di wilayah publik. Baik untuk kegiatan ibadah ritual, pengatahuan dan pendidikan, kerja-kerja ekonomi, maupun sosial dan budaya.
Perempuan-perempuan tersebut di antaranya ialah, Siti Aisyah bin Abi Bakr r.a. Beliau merupakan perawi lebih dari 6000 teks Hadis, ahli tafsir, dan juga fikih. Umm al-Husain r.a. yang mencatat khutbah Nabi Saw saat haji wada’. Umm Syuraik r.a. yang kaya raya dan dermawan di Madinah.
Nusaibah bint Ka’ab r.a yang melindungi Nabi Saw saat perang Uhud dan Zainab ats-Tsaqafiyah r.a. yang bertanggung jawab menafkahi suami dan anak-anaknya, dan banyak lagi yang lain.
Di antara perkerjaan yang perempuan geluti pada masa Nabi Saw adalah industri rumahan, pedagang, penenun, dan perawat. Kemudian ada juga yang menjadi perias wajah, petani, penggembala ternak, pemetik kurma, menyusui bayi secara komersial dan lain sebagainya.
Dari teladan masa Nabi Saw ini, bisa kita simpulkan bahwa Islam sesungguhnya mendukung dan mengapresiasi perempuan berkarier atau bekerja di luar rumah. Sebab, dengan mendukung dan mengapresiasi kerja-kerja perempuan di publik, bisa mendorong para perempuan mandiri dan berdaya secara finansial.
Hal ini tentu sangat baik, sebab dengan penghasilan tersebut ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, bahkan mungkin kebutuhan seluruh keluarganya. Dengan begitu, perempuan tidak akan lagi menggantungkan diri pada pihak lain, salah satunya laki-laki. []