“Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu
Agar mereka berani melawan ketidakadilan
Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu
Agar mereka berani menegakkan kebenaran
Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu
Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani
Ajarkanlah putra-putrimu sastra,
agar jiwa-jiwa mereka hidup”
(Khalifah Umar Bin Khattab)
Mubadalah.id – Ucapan dari Sahabat Nabi Saw yaitu Khalifah Umar Bin Khattab salah satu sahabat yang tegas dan sangat pemberani sekaligus menjadi orang yang paling menentang Nabi Saw ketika belum masuk Islam. Namun sebaliknya setelah masuk agama Islam Umar Bin Khattab menjadi orang yang paling tegas dan pemberani dalam membela kebenaran dan keadilan. Dibalik sisi ketegasan dan keberanian Khalifah Umar, hatinya yang begitu lembut, jiwanya diwarnai dengan kemuliaan sehingga tidak pernah takut menyatakan setiap kebenaran kepada siapapun.
Sikap Khalifah Umar ini tidak lain tidak bukan merupakan perwujudan pengaruh sastra sebagaimana ucapan beliau bahwa dengan sastra akan menghidupkan jiwa-jiwa dan menjadi pribadi yang pemberani dalam menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi.
Kenapa mesti sastra? Ada apa sebenarnya dengan sastra?
Kegiatan sastra sendiri adalah proses ijtihad yaitu melibatkan dua proses utama dalam berfikir, yakni membaca dan menulis. Membaca merupakan proses mendialektikan pemikiran dan informasi dari berbagai belahan dunia. Dengan banyak membaca akan membuka cakrawala pemikiran-pemikiran agar mampu lebih kritis dalam melihat fenomena yang tengah terjadi. demikian jika membaca dilengkapi dengan kemampuan menulis, maka keilmuan seseorang akan semakin berkembang. Dengan menulis seseorang bisa kembali berdialektika, merekontruksi dan menyebarkan pemikirannya sendiri.
Perempuan dan laki-laki tidaklah berbeda baik itu fungsi anggota tubuh, perasaan, daya serap pikiran dan hakikat kemanusiannya. Perbedaan hanya terletak pada hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin. Adapun jika laki-laki mengungguli perempuan dalam segi akal dan jasmani, bukan berarti hakekat perempuan demikian, hanya saja perempuan tidak mendapat kesempatan untuk melatih pikiran dan jasmaninya selama hidupnya. Sehingga diantara laki-laki dan perempuan tidak boleh ada perbedaan dalam kegiatan sastra. Siapapun berhak menggunakan akalnya untuk terus belajar dalam hal ini membaca dan menulis yang menjadi kegiatan sastra.
Sastra perempuan bisa dikatakan sebagai semua karya sastra dengan genre, jenis, dan bentuk apapun yang dibuat oleh penulis perempuan dari seluruh dunia dalam periode waktu yang tidak terbatas. Kontribusi dan peran perempuan dalam dunia sastra sendiri sebenarnya sudah memiliki tradisi yang kaya dan melewati periode waktu yang sangat panjang. Menurut Miram Schneir, perempuan pertama yang mengangkat penanya untuk membela jenis kelaminnya adalah Christine De Pizan. Ia adalah seorang penulis perempuan asal Perancis-Italia yang bekerja sebagai penulis untuk bangsawan-bangsawan kerajaan sekaligus sebagai penyair dan penulis prosa.
Di Inggris pada abad ke-18, gagasan tentang feminisme sudah muncul dan menjadi pendorong utama untuk mengklarifikasikan karya yang dibuat oleh penulis perempuan sebagai bidang analisis tertentu. Penulis perempuan pada masa itu mulai menyadari bahwa kontribusi kaum perempuan di dunia sastra mulai diakui sehingga mulai bergerak, mencari tahu dan mencoba melestarikan tradisi penulisan perempuan.
Katrin Bandel dalam bukunya Sastra, Perempuan, Seks, telah melakukan analisis mendalam terhadap karya-karya yang diciptakan oleh penulis-penulis perempuan “baru” di Indonesia seperti Djenar Maesa Ayu, NH Dini, Hamidah, dan Ayu Utami bahwa secara implisit menyatakan sastra perempuan harusnya menjadi sesuatu yang tidak terlalu dirayakan bahkan diagung-agungkan oleh penikmat sastra Indonesia.
Meskipun sempat menunai perdebatan di jagat dunia sastra, namun opini Bandel dianggap hanya menjustifikasi terhadap eksistensi perkembangan sastra kontemporer yang didorong munculnya penulis-penulis muda Indonesia pada masa itu.
Kontribusi penulis perempuan sastra di Indonesia terbilang belum mendapatkan perhatian khusus sampai awal tahun 2000an. Hingga akhirnya sastra perempuan semakin semarak muncul dengan adanya penulis-penulis perempuan yang tentu saja memiliki kekhasan perempuan sebagai wajah baru. Penulis perempuan sendirilah yang juga bisa menghayati selera khalayak perempuan.
Tentu saja dengan adanya sastra perempuan turut menjadi media pemberdayaan bagi perempuan untuk terus berkarya khususnya karya sastra. Dengan menuangkan segala gagasan, pemikiran bahkan isi hati yang tak mudah disampaikan dari sekedar sebuah ucapan. Suara perempuan yang berbicara melalui karya sastra adalah wujud citra perempuan baik secara mental, spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukan wajah dan ciri khas perempuan. Teruslah menulis, teruslah bersastra, agar jiwa-jiwa kita hidup! []