“Hal lain yang gue sulit relate adalah kata “ikhlas.” Kenapa harus merasa ikhlas, seolah sesuatu yang diambil itu milik kita? Lha kan kalo konteksnya iman, semua yang kita punya sesungguhnya bukan milik kita? Kenapa harus ikhlas ketika yang dikerjakan adalah konsekuensi atas pilihan/situasi?
Misal Orangtua mendidik anak harus ikhlas. Anak ngurus ortu harus ikhlas. Sedekah harus ikhlas. Lha mendidik anak kan konsekuensi dari punya anak? Ngurus ortu juga konsekuensi dari punya ortu yang menua dan sakit? Sedekah adalah hal yang wajar dilakukan karena punya rejeki? Trus kenapa harus ikhlas? Kenapa ada kata “ikhlas”?
Mubadalah.id – Ada postingan di media sosial, bunyinya seperti saya kutip di atas. Yang membagikan postingan tentu orang yang terdidik. Saya akan berusaha menjawabnya. Namun, sebelum membahas makna ikhlas lebih lanjut, ada baiknya dalam membahas segala sesuatu itu harus dengan sikap yang tenang dan dengan nada bicara yang juga proporsional. Jangan sampai ketidakpahaman kita sendiri dijadikan pembenaran untuk mengeluarkan sikap keberatan atas istilah maupun perilaku tertentu.
Dalam Islam, atau lebih tepatnya dalam memahami tafsir terhadap ragam ajaran Islam, tak terkecuali berkenaan dengan istilah ikhlas, kita harus tetap hati-hati. Makna ikhlas itu bukan sebuah sikap yang harus kita tempuh secara saklek, sehingga ada kesan memberatkan dan membebani.
Padahal melalui istilah ikhlas, Islam hendak memudahkan umat Muslim dalam menjalankan berbagai syariat agama. Oleh karena itu, tempuhlah predikat ikhlas tanpa harus terbebani. Yakni dengan cara, terus menambah iman dan ilmu.
Sudah menjadi sifat manusiawi adalah manakala melakukan sesuatu, kehilangan sesuatu, mendapatkan sesuatu dan seterusnya, ingin mendapatkan perhatian orang lain, merasa sedih karena kehilangan dan senang apabila mendapat pujian.
Tidak aneh jika kemudian seiring dengan itu, setiap manusia mudah atau setidaknya pernah merasa kecewa, sedih, terpuruk, sakit hati dan lain sebagainya. Semuanya terjadi begitu menyesakkan dada karena belum ada ikhlas yang bersemayam. Kita belum menerima takdir Allah, terutama takdir yang menurut kita tidak membahagiakan.
Surat Al-Ikhlas
Masih banyak orang yang terpaksa atau bahkan dipaksa menikah. Demikian juga terpaksa mengasuh anak, terpaksa bersedekah dan lain sebagainya. Sudah barang tentu setiap orang punya lika-liku hidupnya masing-masing.
Tidak bijak apabila lika-liku hidup kita menjadi patokan mutlak untuk men-generalisir lika-liku hidup orang lain. Sehingga dengan begitu, ada banyak di antara kita, termasuk saya sendiri, karena sedikit atau banyaknya iman, awalnya malas bersedekah, berat menjadi orang tua, mengasuh orang tua yang telah lanjut usia dst, tetapi seiring proses, betapa pun lambat-laun, akhirnya kita mulai menerima, menikmati dan menjalaninya dengan penuh do’a kepada Allah.
Di dalam Al-Qur’an ada salah satu surat bernama surat Al-Ikhlas, apabila kita cermati di dalamnya, hampir tidak ada satu pun kata ikhlas di sana. Yang ada justru berulang kali membahas tauhid kepada Allah.
Itu artinya bahwa konsep ikhlas berkaitan erat dengan kedekatan kita dengan Allah. Bahwa dalam meraih ikhlas itu kita memerlukan segala upaya, kita lakukan sepenuh hati, terserap oleh pikiran yang jernih bukan karena terpaksa. Akan ada proses dan latihan yang terus-menerus sampai kemudian kita menjadi manusia yang melakukan apapun beserta dengan keikhlasan.
Ikhlas Bukan Ranah Manusia
Juga perlu kita pahami bahwa ikhlas itu bukan ranah manusia, melainkan ranahnya Allah. Tugas kita sebagai manusia hanyalah berusaha sekuat tenaga menuju ikhlas, bagaimana nanti hasilnya kita serahkan kepada Allah saja. Itulah mengapa dalam bersedekah misalnya, kita boleh secara terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi.
Kedua-duanya baik, tanpa harus takut dihantui oleh stempel ria dan tidak ikhlas. Demikian, sedekah juga ditujukan kepada siapapun tanpa pandang bulu, dalam keadaan lapang maupun sempit.
Untuk memudahkan memahami makna ikhlas, kiranya prinsip ini bisa dijadikan pola: lupakan apabila kita telah berbuat baik, ingat-ingat terus apabila kita telah berbuat buruk. Dengan kata lain, kita akan terus berbuat baik karena Allah bukan karena siapa-siapa.
Sedangkan apabila kita melakukan kesalahan, kita akan terus mengingatnya agar kita tidak mengulanginya lagi. Sehingga itu, dalam menjalani kehidupan, terutama dalam beribadah dan beramal shaleh, tidak perlu menunggu pujian dan cacian. Pujian dan cacian sebetulnya sama merupakan ujian. Wallahu a’lam. []