Mubadalah.id – Nusyuz seringkali digunakan dalih untuk menggugurkan hak nafkah bagi istri. Tak jarang juga, perilaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan suami juga didasarkan atas nusyuz. Pun demikian dengan aturan yang diberlakukan dalam KHI atau Kompilasi Hukum Islam memang hanya mengatur nusyuz yang dilakukan oleh istri saja. Hal ini terjadi karena pengetahuan tentang nusyuz direproduksi oleh pemahaman laki-laki, dan berdasarkan atas pengalaman laki-laki saja.
Lantas apakah benar Islam membolehkan KDRT, dan apakah nusyuz hanya dilakukan oleh istri saja? Bagaimana dengan suami yang tidak menjalankan kewajibannya?
Nusyuz berlaku bagi laki-laki dan Perempuan
Nyai Siti Rofi’ah Pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam al-Falah Salatiga menyatakan bahwa nusyuz adalah tindakan negatif salah satu pasangan yang menjadikan relasi suami istri menjadi tidak baik. Oleh karena itu, nusyuz pada dasarnya bisa dilakukan oleh suami maupun istri. Mengenai Qs. An-Nisa ayat 34, beliau menyatakan bahwa tafsir atas ayat tersebut banyak diproduksi di abad ke-7, dimana perempuan saat itu hanya menikmati haknya saja sebagai perempuan dalam keluarga. Semua kewajiban nafkah secara mutlak dijalankan oleh laki-laki sehingga perempuan tidak memiliki bargaining position dalam keluarga.
Narasi fadribu yang memiliki arti memukul pada ayat tersebut juga memiliki aturan-aturan yang harus ditaati suami yaitu pukulan yang tidak menyakitkan, tidak menyebabkan memar, tidak boleh meninggalkan bekas, dan tidak membahayakan fisik. Jika melihat aturan tersebut, maka narasi memukul disitu memiliki makna qiyas yang sebenarnya bukan berarti memukul sebagaimana yang kita pahami. Karena secara nalar manusia, kita tidak bisa membayangkan bagaimana konsep memukul yang tidak menyebabkan rasa sakit?
Oleh karena itu, KH. Faqihuddin Abdul Kodir dalam kitab Manbaus Sa’adah dengan sangat tegas melarang untuk melakukan pemukulan meskipun dengan alasan mendidik. Karena inti dari perkawinan adalah bagaimana pasangan suami istri menjalankan mu’asyaroh bil ma’ruf atau memberlakukan pasangan secara bermartabat.
Dalam kitab yang sama juga dijelaskan bahwa suami dan istri harus memiliki kesamaan visi untuk saling menghormati. Karena baik suami maupun istri dua-duanya adalah manusia maka harus diberlakukan sebagaimana manusia. Memberlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diberlakukan. Jika dilayani itu enak, maka harus memahami bahwa orang lain juga membutuhkan untuk dilayani.
Membangun Relasi Setara dalam Rumah Tangga
Konstruksi budaya yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki harus segera dirubah. Karena pada dasarnya istri bukanlah pembantu, dan bukan pelengkap laki-laki. Namun relasi suami istri adalah equal atau seimbang. Suami pelengkap istri dan istri sebagai pelengkap suami. Ketaatan mutlak seorang manusia hanyalah pada Allah SWT, maka baik suami maupun istri juga harus memberlakukan satu dengan lainnya secara bermartabat sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah SWT.
Jika pasangan suami istri sudah berkomitmen untuk menciptakan kebahagiaan seluruh anggota keluarga, dan senantiasa berbuat kebaikan antar anggota keluarga maka Allah yang akan mendatangkan kebahagiaan tersebut dalam keluarga. Keluarga yang dibangun dengan kedamaian, saling menghargai, saling menghormati, dan berkomitmen untuk menciptakan kebahagiaan. Bukan keluarga yang dibangun atas dominasi gender tertentu dengan ancaman-ancaman kekerasan dengan dalih menjalankan ajaran islam.
Role model yang harus selalu menjadi rujukan tentunya adalah bagaimana Nabi Muhammad SAW, yang bersikap sangat lemah lembut terhadap istri-istrinya. Jika memang dalam narasi memukul tersebut mendatangkan kebaikan bagi istri tentu Nabi adalah orang pertama yang akan melakukannya. Namun tidak ada satupun ayat maupun hadits yang menceritakan bahwa Nabi pernah memukul istrinya dengan dalih untuk kebaikan istrinya.
Hal ini sejalan dengan pesan dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 159, yang artinya;
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Ayat diatas bisa diinternalisasikan dalam kehidupan rumah tangga, bahwa ketika salah satu pihak baik suami maupun istri melakukan tindakan negatif, yang dianjurkan adalah menyelesaikan dengan jalan yang baik. Mengutamakan musyawarah dan mencari solusi terbaik. Mengedepankan musyawarah, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. bukan menggunakan kekerasan yang melukai fisik maupun psikis pasangan.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, tampak jelas bahwa KDRT bukanlah sesuatu yang bisa dilegalkan dengan dalih menegakkan nusyuz. Islam secara mutlak melarang adanya KDRT. Pada dasarnya laki-laki dan perempuan setara di depan Allah SWT. Baik suami maupun istri berpotensi untuk melakukan tindakan negatif yang dapat memunculkan relasi yang tidak baik dalam rumah tangga. Dan jika perilaku negatif tersebut terjadi, maka solusi penyelesaiannya harus mengedepankan musyawarah terlebih dahulu.
Negara melalui regulasinya juga harus melibatkan pengalaman perempuan dalam membuat sebuah aturan. Tidak lagi meregulasi aturan yang bias gender dan merugikan salah satu dengan yang lainnya. Segala aturan dan kebijakan harus berangkat dari dasar kesetaraan dan keadilan gender. Baik suami maupun istri yang melakukan kesalahan dalam rumah tangga sama-sama berhak untuk mendapatkan hukuman sebagaimana mestinya. Tidak hanya menumpukan kesalahan berdasarkan perbedaan jenis kelamin. []