Mubadalah.id – Kisah dan fenomena yang sering kali terjadi di negeri ini memang ada-ada saja ya, kadang suka bikin geleng-geleng kepala. Rasa-rasanya sampai lupa untuk berhenti, hihihi.
Belum lama ini salah satu menteri kita, Menteri Sosial, membuat tingkah lagi. Setelah sebelumnya beliau pernah marah-marah kepada rekan kerjanya di ruang publik, di depan banyak orang, karena ada pekerjaan yang tak sesuai arahannya. Lalu, ia juga sempat memberi ancaman kepada mereka yang kerjanya tak becus akan dikirim ke Papua.
Kejadian yang belum lama ini terjadi yakni Ibu Mensos kita memaksa Aldi seorang pemuda disabilitas tunarungu wicara untuk berbicara di depan publik pada saat peringatan Hari Disabilitas Internasional yang diselenggarakan pada 1 Desember lalu di Gedung Kemensos.
Atas perlakuannya, Mensos langsung dikritik oleh Stefanus seorang perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan tunarungu Indonesia (Gerkatin) dengan langsung naik ke atas panggung. Alih-alih mengakui kesalahannya dan meminta maaf, Ibu Mensos membela dirinya.
Ia menjelaskan, pemaksaan yang dilakukan terhadap Ali untuk berani berbicara karena Ibu Mensos ingin mendorong agar kita semua dapat memaksimalkan pemberian Tuhan yang telah diberikan kepada kita. Tentu, respons tersebut sangat mengecewakan, karena dorongan atau motivasi dan perlakuan yang diberikan tak sesuai dengan kondisi yang ada.
Membicarakan soal peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember, peringatan tersebut sudah dimulai sejak tahun 1992 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hari tersebut diperingati untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan para penyandang disabilitas di semua bidang dan pembangunan. Juga, untuk meningkatkan kesadaran terhadap situasi para difabel di setiap aspek kehidupan (sosial, politik, ekonomi, dan budaya).
Mungkin, maksud dari Ibu Mensos adalah mulia. Ia ingin Aldi yang merupakan disabilitas tak perlu malu, Aldi harus berani untuk menunjukkan dirinya dihadapan banyak orang, Aldi harus berani menyampaikan gagasannya, apalagi Aldi merupakan seorang pemuda disabilitas yang berbakat. Namun, dengan kondisi Aldi yang demikian, Ibu Mensos seperti memaksa ikan untuk bisa berjalan di daratan.
Upaya dalam memberikan hak, kesejahteraan, pemberdayaan dan keikutsertaan dalam pembangungan bagi disabilitas kiranya dapat dilakukan dengan hal yang lebih baik, apalagi seperti Ibu Mensos yang merupakan pemimpin dari sebuah lembaga pemerintah yang memang memiliki tugas dan kewajiban untuk memberikan hak, kesejahteraan, pemberdayaan dan mendorong keterlibatan setiap elemen yang ada dalam pembangunan.
Saya punya satu cerita bagaimana pemberdayaan yang dilakukan oleh salah satu kelompok masyarakat di suatu desa dalam upaya memberikan hak, pemberdayaan, dan kesejahteraan bagi disabilitas.
Tepatnya di Desa Gebyog, Kecamatan Magetan, Kota Madiun terdapat kelompok masyarakat yang bernama Sheltered Workshop Peduli Baskara yang memproduksi Batik Ciprat, Kelompok ini didirikan oleh Mas Ari Dwi Pramiantoro seorang warga Desa Gebyog pada Oktober 2019 untuk memberdayakan pemuda penyandang disabilitas di Desa Gebyog dan sekitarnya, khususnya bagi penyandang disabilitas intelektual atau tuna grahita.
Pemilihan jenis Batik Ciprat untuk diproduksi oleh pemuda disabilitas intelektual bukan tanpa alasan. Bagi disabilitas intelektual untuk berpikir logis itu cukup sulit memberikan pembelajarannya, terang Mas Ari. Dalam batik ciprat tak ada yang namanya salah, karena sangat berbeda dengan batik tulis yang harus teliti, harus digambar terlebih dahulu. Dengan batik Ciprat, mereka dapat berkreasi sesuai yang mereka bisa.
Mas Ari menjelaskan, dirinya resah melihat anak-anak disabilitas yang tidak memiliki kegiatan, mereka hanya berjalan-jalan keliling desa tanpa ada kegiatan yang produktif dan membutuhkan pendampingan. Dengan pengalaman selama empat tahun sebagai terapis anak berkebutuhan khusus di klinik anak berkebutuhan khusus, Mas Ari memutuskan untuk mendirikan Sheltered Workshop Peduli Baskara yang memproduksi Batik Ciprat.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, Sheltered Workshop Peduli Baskara didukung dan difasilitasi oleh UPT Kementerian Sosial di Temanggung Jawa Tengah dan Pemerintah Desa setempat. Salah satu dukungannya yaitu melakukan pelatihan selama tiga hari bagi para pendamping.
Tidak hanya berhasil memberikan kegiatan produktif kepada pemuda penyandang disabilitas di Desa Gebyog dan sekitarnya, dengan memberdayakan mereka, berdampak pula terhadap pertumbuhan ekonomi desa. Peminat Batik Ciprat cukup banyak, bahkan Sheltered Workshop Peduli Baskara pernah menerima pesanan sebanyak 1000 potong kain batik ciprat. Mereka bahkan harus lembur dan sempat kewalahan, jelas Mas Ari.
Begitulah kiranya potret pemberdayaan disabilitas yang memang dilakukan untuk memberdayakan mereka dan melibatkannya dalam pembangunan. Dengan memberikan program atau kegiatan yang memang mampu dilakukan oleh masyarakat yang memiliki keadaan-keadaan khusus, dan menyesuaikan dengan kapasitas kemampuan mereka. Upaya tersebut menjadi langkah yang sangat baik untuk dilakukan. Bukan dengan memaksakan mereka bisa melakukan apa yang kita mau tanpa memahami kondisi-kondisi khusus tersebut.
Kiranya, Ibu Mensos yang terhormat dan para pemangku kepentingan lainnya dapat belajar dari gerakan-gerakan warga seperti Mas Ari yang memang melakukan gerakan dengan memahami terlebih dahulu kondisi yang ada. Semoga tidak ada lagi kasus-kasus pemaksaan seperti yang dialami oleh Aldi dengan alasan harus memaksimalkan pemberian Tuhan. []