Mubadalah.id – Dalam wacana keislaman, ayat tentang poligami kerap menjadi perdebatan panjang. Sebagian orang menafsirkan QS. an-Nisaa (4): 3 sebagai legitimasi bagi laki-laki untuk menikahi lebih dari satu perempuan. Namun, pembacaan semacam ini sering berhenti pada teks literal dan mengabaikan konteks sosial, moral, dan etis yang lebih luas.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, dalam bukunya Qiraah Mubadalah, menawarkan cara pandang baru terhadap teks-teks semacam ini. Melalui pendekatan mubadalah, ia mengajak kita membaca ulang ayat-ayat agama dengan prinsip kesalingan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.
Prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa Islam hadir bukan untuk meneguhkan dominasi satu pihak atas pihak lain, tetapi untuk mewujudkan keseimbangan, kemitraan, dan perlindungan terhadap yang lemah.
Kehati-hatian dalam Memahami Teks Poligami
Namun, tidak semua teks agama dapat langsung diterapkan dengan pendekatan mubadalah. Sebagaimana dijelaskan Kiai Faqih, ada ayat-ayat yang memerlukan kehati-hatian agar tafsirnya tidak melenceng dari maksud utama. Salah satu contohnya adalah QS. an-Nisa (4): 3, yang berbunyi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…” (QS. an-Nisa (4): 3)
Ayat ini secara eksplisit soal laki-laki bisa menikahi lebih dari satu perempuan, dengan syarat mampu berlaku adil. Tetapi, menurut Kiai Faqih, makna kebolehan poligami bukanlah gagasan utama ayat tersebut. Sebab, pada langkah pertama metode mubadalah, prinsip dasar hubungan suami istri adalah kemitraan (syirkah), bukan hierarki.
Dalam konteks itu, poligami—baik poligini (laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan) maupun poliandri (perempuan menikahi lebih dari satu laki-laki)—bertentangan dengan semangat kesalingan yang menjadi pondasi utama pernikahan.
Karena itu, isu poligami tidak bisa serta-merta menjadi bahan mubadalah. Kiai Faqih menegaskan, yang bisa di- mubadalahkan dari ayat tersebut bukanlah “izin poligami”. Melainkan peringatan akan risiko ketidakadilan dalam relasi pernikahan.
Hal ini sejalan dengan QS. an-Nisaa (4): 129 yang menegaskan, “Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”
Ayat ini mengandung peringatan etis yang kuat bahwa poligami sangat berisiko menimbulkan ketidakadilan dan kezaliman. Maka, pesan yang seharusnya kita ambil dari ayat tersebut adalah kewaspadaan.
Laki-laki dan perempuan sama-sama mubadalah ingatkan untuk berhati-hati terhadap segala bentuk pernikahan yang berpotensi melahirkan luka, ketimpangan, atau penderitaan bagi pihak lain. []