Mubadalah.id – Menikah, lalu lanjut mengelola kehidupan berumah tangga tidak hanya soal pelampiasan nafsu biologis, memadu cinta kasih, dan menggapai kebahagiaan. Lebih dari itu adalah soal tanggung-jawab masing-masing dalam memastikan rumah tangganya dapat bertahan menghadapi berbagai tantangan, dan dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan harapan. Mengapa kerap ada pandangan menikah dianggap sunnah?
Untuk tanggung jawab menikah ini, diperlukan pondasi moral yang kuat serta motivasi dan dukungan norma-norma spiritual dan kultural. Memandang pernikahan sebagai ibadah dan sunnah adalah bagian dari pembentukan pondasi moral ini serta dukungan normatif ini. Agar masing-masing terus termotivasi untuk mengemban dan melaksanakan tanggung-jawab berumah tangga tersebut sebaik-baiknya.
Sebagai ibadah, tentu saja menikah tidak sama persis dengan shalat, zakat, atau haji yang dianggap murni ritual (mahdhah). Sementara ibadah dalam praktik menikah bersifat sosial (ghair mahdhah), yang bergantung pada sejauhmana akhlak mulia diterapkan dan kebaikan diwujudkan dalam kehidupan berumah tangga ini.
Setiap kebaikan adalah ibadah. Berkata baik, berbuat baik, melayani, membantu, tersenyum, mendukung, menguatkan, dan semua perilaku baik adalah ibadah. Di sinilah nilai ibadah dari pernikahan itu. Yaitu ketika ia menjadi ruang implementasi dari perkataan dan perbuatan baik. Semakin banyak pernikahan menjadi ruang bagi pelaksanaan kebaikan, semakin besar nilai ibadahnya. Begitupun sebaliknya, pernikahan akan berbuah dosa jika justru dipenuhi berbagai keburukan dan tindakan yang menyakitkan.
Sunnah Menikah dalam Fiqh
Dalam fiqh, sunnah adalah segala perbuatan baik yang jika dilakukan akan diapresiasi dengan pahala, namun jika ditinggalkan tidak dianggap berdosa. Berbeda dari wajib, yang jika ditinggalkan akan terkena dosa. Juga berbeda dari haram maupun makruh, yang merupakan perbuatan buruk dan akan berdosa jika yang haram dilakukan, sementara makruh tidak berdosa namun dianggap tidak terpuji.
Dalam hal ini, menikah dianggap sunnah secara fiqh jika ia dapat mendorong seseorang akan menjauhkan dari segala perbuatan buruk yang dilarang atau tidak terpuji dan sekaligus membawanya pada perbuatan-perbuatan yang diperintahkan dan dianjurkan. Jika justru sebaliknya, mendatangkan pada yang haram, menikah malah juga bisa haram.
Di sinilah mengapa ulama fiqh memandang pernikahan menjadi sunnah jika memudahkan seseorang terhindar dari tindakan seksual yang haram, atau zina. Namun, jika pada saat yang sama, malah justru akan terdorong untuk menyakiti, menyiksa, dan menelantarkan istri atau suami, menikah malah menjadi haram. Karena tindakan menyakiti secara konsensus (ijma’) adalah haram. Dalam kaidah fiqh, sesuatu yang membawa seseorang pada tindakan haram adalah juga haram.
Hukum sunnah secara fiqh, di sini, berarti ketika suatu pernikahan dan kehidupan rumah tangga akan memudahkan seseorang bisa melakukan berbagai kewajiban dan kebaikan-kebaikan. Menikah juga sunnah ketika ia memudahkan seseorang terhindar dari tindakan-tindakan haram, baik dalam hal-hal seksual maupun yang lain. Ketika malah sebaliknya, bisa berubah hukumnya menjadi makruh bahkan haram.
Karena itu, secara fiqh, menikah bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan setiap orang. Bisa jadi ada seseorang yang memilih untuk tidak menikah, dengan alasan ada kebaikan lain yang menuntutnya untuk ditunaikan. Atau karena tidak mampu untuk mengendalikan diri dari tidak menyakiti pasangan. Pilihan ini, khusus bagi orang tersebut, secara fiqh, sama sekali tidak dianggap melanggar kewajiban syari’ah, bahkan tidak juga dianggap meninggalkan sesuatu yang dianggap sunnah.
Sunnah Berarti Teladan Nabi Saw
Ada ungkapan hadits Nabi Saw yang sangat populer bahwa “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang membenci sunnahku, maka bukan bagian dari golonganku”. Redakis yang lebih lengkap, di antaranya, adalah riwayat Imam Bukhari dalam Sahih-nya, berikut ini:
سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رضى الله عنه يَقُولُ جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى (صحيح البخاري، رقم: 5228).
Dari Anas bin Malik ra, berkata: ada tiga orang laki-laki yang datang ke rumah keluarga Nabi Saw. Mereka menanyakan ibadah-ibadah yang dilakukan Nabi Saw. Ketika diceritakan, mereka terkagum-kagum dan menganggap ibadah mereka sedikit, kecil, dan tidak berarti. “Dimana posisi kami dari Nabi Saw, padahal Nabi Saw telah diampuni dari segala dosa”, keluh mereka. (Lalu, untuk meningkatkan ibadah itu), ada salah satu di antar mereka yang berkata: “Aku akan shalat sepanjang malam (agar ibadahku meningkat dan banyak)”. Yang lain: “Aku sih mau berpuasa sepanjang tahun”. “Aku sih akan menjauh dari (tida menikahi) perempuan”, timpal yang lain. Lalu Rasulullah Saw menemui mereka dan bersabda: “Kalian kok berkata demikian, demi Allah, aku yang paling bertakwa kepada Allah Swt saja, ada saat berpuasa dan ada saat tidak berpuasa (tidak berpuasa sepanjang tahun), ada waktu untuk shalat dan ada waktu untuk tidur (tidak shalat sepanjang malam), dan aku juga menikahi perempuan. Barangsiapa yang membenci sunnah (kebiasaan)-ku ini, maka ia bukan bagianku”. (Sahih Bukhari, no. 5118).
Jika dibaca secara seksama, teks hadits ini secara jelas menyebutkan bahwa yang dianggap sunnah (teladan) Nabi Saw adalah semua perilaku puasa dan makan, shalat dan tidur, serta menikah. Bukan hanya menikah, sebagai satu-satunya sunnah. Teladan (sunnah) Nabi Saw, di sini, artinya jika seseorang ingin mengikuti teladan Nabi Saw dalam beribadah itu bukan dengan shalat sepanjang malam, bukan dengan puasa sepanjang tahun, dan bukan juga dengan cara meninggalkan pernikahan. Melakukan ketiga hal ini dengan niat mengejar ibadah dan pahala adalah sama sekali bukan teladan atau sunnah Nabi Muhammad Saw. Bukan.
Artinya, dalam sunnah Nabi Saw, ibadah dan pahala tetap dapat dan besar jika seseorang berpuasa di hari-hari tertentu dan juga tidak berpuasa di hari-hari yang lain untuk melakukan ibadah yang lain, seperti bekerja, belajar, mengajar, dan membantuk orang. Ibadah juga tetap tercatat dan bisa besar jika seseorang menggunakan waktu malam untuk tidur, di samping juga ada waktu untuk shalat malam. Begitupun, ibadah dan pahala justru bisa didapatkan seseorang melalui pernikahan sebagaimana dijelaskan di atas.
Lalu, apakah seseorang yang tidak menikah dianggap melanggar sunnah (teladan) Nabi Saw?
Jika di dalam dirinya ada anggapan bahwa meninggalkan pernikahan cara beribadah kepada Allah Swt, maka seperti terekam dalam teks hadits di atas, dengan disertai kebencian pada pernikahan, ia dianggap melanggar sunnah Nabi Saw. Namun, jika karena alasan-alasan lain yang juga sesuai dengan ajaran Islam, tanpa membencinya, tentu saja tidak dianggap melanggar sunnah Nabi Saw. Wallahu a’lam. []