Mubadalah.id – Setiap kali terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan, ruang publik selalu terpenuhi dengan rasa getir dan pertanyaan yang berulang: mengapa ketidakadilan terus terjadi, dan mengapa hukum seolah selalu datang terlambat?
Pertanyaan ini menjadi jauh lebih kompleks ketika korban kekerasan adalah perempuan penyandang disabilitas. Dalam situasi tersebut, ketidakadilan tidak hadir secara tunggal, melainkan berlapis berkelindan antara ketimpangan gender, stigma disabilitas, dan kelemahan sistem hukum itu sendiri.
Harapan besar sempat tumbuh ketika UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disahkan. Undang-undang ini dianggap sebagai kemenangan penting bagi gerakan perempuan. Sebuah instrumen hukum yang menjanjikan pengakuan terhadap pengalaman korban serta perlindungan negara atas tubuh dan martabat perempuan.
Namun, realitas menunjukkan bahwa keberadaan undang-undang belum otomatis menghadirkan keadilan. Banyak regulasi masih berhenti sebagai law in the book. Belum menjelma menjadi law in action yang benar-benar terasa oleh korban.
Data dari lembaga pendamping perempuan memperlihatkan kenyataan pahit tersebut. Hanya sebagian kecil kasus kekerasan yang berani dan mampu melanjutkan proses ke jalur hukum. Lebih sedikit lagi yang benar-benar sampai pada putusan pengadilan.
Angka ini mencerminkan bukan hanya lemahnya penegakan hukum, tetapi juga ketakutan, kelelahan, dan ketidakpercayaan korban terhadap sistem peradilan yang kerap tidak ramah, rumit, dan menyakitkan secara psikologis.
Perempuan Difabel Alami Keterbatasan Akses
Dalam lanskap ketidakadilan tersebut, perempuan difabel menempati posisi paling rentan. Mereka adalah warga negara yang secara konstitusional memiliki hak atas perlindungan dan keadilan hukum.
Namun, dalam praktik sosial, perempuan difabel kerap mengalami keterbatasan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan ruang partisipasi sosial. Bahkan, dibandingkan dengan laki-laki penyandang disabilitas, perempuan difabel sering kali menghadapi diskriminasi yang lebih berat.
Isolasi fisik dan sosial membuat perempuan difabel sangat rentan terhadap kekerasan, baik fisik, emosional, seksual, maupun eksploitasi. Para feminis menyebut kondisi ini sebagai double handicap, yakni beban ganda sebagai penyandang disabilitas sekaligus sebagai perempuan.
Dalam posisi tersebut, mereka sering dipandang tidak berdaya, naïf, bergantung pada orang lain, dan tidak memahami hak-haknya. Persepsi inilah yang tidak hanya membuka ruang terjadinya kekerasan, tetapi juga mempersempit peluang korban untuk mendapatkan keadilan.
Proses hukum dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel pada umumnya berlangsung panjang dan melelahkan. Sejak pelaporan ke kepolisian hingga pembacaan putusan hakim, korban dan keluarganya harus menghadapi prosedur berbulan-bulan yang menyita waktu, tenaga, dan biaya.
Proses ini juga membawa beban psikologis yang tidak ringan, terlebih bagi korban difabel yang memiliki keterbatasan komunikasi atau pemahaman. Hambatan dalam berinteraksi dengan penyidik, jaksa, pengacara, maupun hakim sering kali berujung pada kesalahpahaman dan bias dalam pemeriksaan perkara.
Strategi Pendekatan Hukum
Dalam konteks ini, pendekatan hukum yang semata-mata formal menjadi sangat bermasalah. Dalam kasus kekerasan seksual, seharusnya penyidik tidak hanya melihat dari aspek fisik berdasarkan visum et repertum. Pemeriksaan fisik memang penting, tetapi tidak cukup.
Penyidik juga wajib mempertimbangkan hasil visum et psikiatrikum, karena kekerasan seksual adalah tindakan keji yang tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga menghancurkan kondisi batin korban. Rasa sakit fisik mungkin dapat sembuh, tetapi penderitaan psikologis dapat menetap seumur hidup dan menghambat aktualisasi potensi korban sebagai manusia.
Selama ini, penanganan kasus kekerasan seksual cenderung berakhir pada proses peradilan pidana semata. Ketika hakim menjatuhkan vonis, perkara dianggap selesai. Padahal, bagi korban, penderitaan tidak berhenti di ruang sidang. Trauma, ketakutan, rasa bersalah, dan stigma sosial terus menghantui kehidupan korban jauh setelah putusan terbacakan. Sayangnya, dimensi ini belum menjadi perhatian serius dalam sistem hukum kita.
Pengalaman traumatik yang korban kekerasan seksual alami sesungguhnya dapat terprediksi dan kita analisis secara ilmiah. Terdapat setidaknya tiga pendekatan prediksi yang dapat kita gunakan. Pertama, clinical prediction, yaitu prediksi berdasarkan gangguan psikologis yang korban alami.
Kedua, actuarial prediction, yakni prediksi yang berdasarkan pada data statistik mengenai jenis dan pola kekerasan. Ketiga, anamnestic prediction, yaitu prediksi yang menggali latar belakang dan dinamika psikologis korban secara mendalam. Ketiga pendekatan ini seharusnya menjadi dasar dilakukannya risk assessment untuk memperkirakan dampak kekerasan dan menentukan langkah pemulihan yang tepat.
Pengalaman Traumatik Korban
Beberapa aspek penting perlu kita cermati dalam menilai pengalaman traumatik korban. Di antaranya adalah bentuk atau jenis kekerasan yang korban alami, usia korban pada saat kejadian, frekuensi kekerasan, tingkat kekerasan, serta proses hukum yang korban jalani dan dampak psikologis yang ditimbulkannya. Penilaian terhadap kondisi traumatik tidak dapat dilakukan secara serampangan, melainkan membutuhkan asesmen profesional yang komprehensif dan berperspektif korban.
Persoalan menjadi semakin kompleks ketika korban kekerasan adalah perempuan difabel. Mereka sering kali tidak dipercaya, kesaksiannya diragukan, bahkan disalahkan. Dalam banyak kasus, korban justru terpojokkan oleh aparat maupun lingkungan sosialnya.
Ketidakmampuan korban untuk membela diri secara verbal atau hukum sering dimanfaatkan untuk melemahkan posisi mereka di hadapan hukum. Dalam situasi seperti ini, negara tampak hadir secara normatif, tetapi absen secara substantif.
Pertanyaan akhirnya kembali mengemuka. Ke mana perempuan difabel harus mencari perlindungan hukum? Apakah kemerdekaan yang telah puluhan tahun kita rayakan benar-benar menghadirkan keadilan bagi semua warga negara, atau justru meninggalkan mereka yang paling rentan di pinggir sistem?
Jawaban atas pertanyaan ini menuntut keberanian untuk merefleksikan ulang wajah hukum kita. Perlindungan hukum tidak boleh berhenti pada teks undang-undang, tetapi harus hadir dalam praktik yang manusiawi, inklusif, dan berkeadilan. Penguatan lembaga pendamping, keterlibatan psikolog dan pekerja sosial, serta peran aktif organisasi masyarakat sipil menjadi sangat penting.
Lembaga pemantau dan watch perlu kita perkuat, bukan sekadar sebagai pengawas negara, tetapi sebagai mitra sejati perempuan difabel dalam memperjuangkan hak dan martabatnya. Pada akhirnya, hukum seharusnya menjadi ruang aman bagi mereka yang paling rentan, bukan labirin yang menambah luka.
Keadilan bagi perempuan difabel bukanlah belas kasihan, melainkan hak konstitusional yang wajib terpenuhi. Selama hukum masih berjarak dari pengalaman korban, selama itu pula keadilan akan tetap menjadi janji, bukan kenyataan. []










































