• Login
  • Register
Sabtu, 31 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Merayakan Pemikiran Gus Dur dan Frans Seda

Dari keduanya kita menangkap bahwa mayoritas dan minoritas hanyalah soal angka. Justru yang esensial adalah nilai persatuan, toleransi, dan bertenggang rasa

Ali Yazid Hamdani Ali Yazid Hamdani
02/01/2024
in Publik, Rekomendasi
0
Pemikiran Gus Dur

Pemikiran Gus Dur

770
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Selain Kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa harian. Terdapat peristiwa menarik Desember 14 tahun silam yang sempat menjadi perhatian khusus skala nasional. Sebab pada bulan itu, Indonesia kehilangan putra terbaiknya, Gus Dur yang wafat 30 Desember 2009 pukul 18.45 WIB.

Lalu menyusul Frans Seda yang wafat keesokan harinya 31 Desember 05.00 pagi. Keduanya berpulang sebagai pribadi yang unik, penting, dan juga menarik, serta memiliki pengaruh kuat dari golongannya masing-masing.

Nilai-nilai kemanusian dan pemikiran Gus Dur yang tersebar, tidak membuatnya dikenang hanya melalui tulisan-tulisan yang melampaui batas komunal. Tapi kuburannya pun tak pernah sepi dari orang-orang yang berziarah, termasuk mereka yang berbeda agama sekalipun.

Bahkan KH. Husein Muhammad dalam bukunya yang bertajuk Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015) menyatakan sebuah persamaan situasi wafatnya Gus Dur dengan kepergian salah satu penyair sufi tersohor dengan mazhab cintanya, yakni Maulana Jalaluddin Rumi, asal Konya, Turki.

Tak ubahnya Gus Dur, kepulangan Rumi ke pangkuan Allah juga dihadiri ribuan orang yang mencintai dan mengaguminya. Di antara mereka yang berduka adalah pemimpin, tokoh-tokoh elit Yahudi, Kristen, beserta sekte-sektenya, segala bentuk mazhab pemikiran, dan rakyat kecil pun turut serta meramaikan tanpa peduli meski asalnya yang pelosok dan jauh sekalipun.

Baca Juga:

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

Temu Keberagaman 2025: Harmoni dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Inti Keberagamaan dalam Islam

Begitu pun Frans Seda terkenang melalui tulisan-tulisannya yang terpublikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Kekuasan dan Moral (Jakarta: Grasindo, 1996) dan Simfoni Tanpa Henti: Ekonomi Politik Masyarakat Baru Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1992) sikap-sikap politik, dan aksinya yang memberikan kontribusi yang banyak pada bumi pertiwi ini.

Menerobos Batas Komunal

Jika Gus Dur melaju dari civil society menuju politik kenegaraan, maka Frans Seda menurut penuturan Ignas Kleden menempuh jalur yang sebaliknya. Sejak perjumpaannya dengan Kasimo setelah menyelesaikan studi di Univertas Tilburg, Belanda merupakan awal kiprahnya dalam dunia politik.

Ia bergabung dengan partai Katholik Indonesia tahun 1950-an yang saat itu Kasimo menjadi nahkodanya. Kemudian Seda menjadi ketuanya, masuk parlemen, dan akhirnya Soekarno melantiknya sebagai menteri perkebunan. Tidak hanya berhenti di situ, jabatan demi jabatan menteri telah ia pegang, termasuk saat masa Orde Baru.

“Seorang Katolik Indonesia haruslah 100% Katolik dan 100% Indonesia”. Begitulah prinsip moral politik  yang Frans Seda pegang kuat-kuat sebagaimana Mgr. Soegijapranata ajarkan kepadanya, seorang uskup Semarang yang terkenal dekat dengan Soekarno.

Dengan prinsip itu, akhirnya Seda selalu unjuk gigi mewakili kelompoknya dengan mengibarkan bendera Katolik dalam politik Indonesia tanpa ragu dan bimbang sedikit pun. Apalagi merasa rendah diri hanya karena sebagai minoritas.

Ia menerobos ketertutupan kelompoknya, bergaul dan bersahabat dengan pemuka, tokoh, dan umat agama lain, khususnya kelompok Islam yang  notabennya sebagai mayoritas. Seda mengatakan dengan lantang pada kelompoknya bahwa umat Islam adalah teman seperjuangan umat Katolik, seperti halnya sikapnya terhadap kelompok-kelompok agama lain.

Pluralisme Gus Dur & Frans Seda

Pluralisme yang kedua tokoh ini ajarkan sangat menarik untuk kita gali dan pelajari dengan seksama. Meskipun Gus Dur lahir dan menjadi bagian dari kelompok mayoritas (Islam). Bahkan ia pernah menjadi pemimpin dalam menahkodai organisasi yang memiliki massa terbesar dan menjadi orang nomor wahid di Indonesia.

Sekali lagi  ia bergerak melaju melampaui batas komunal. Ia sangat gigih membela hak-hak minoritas, membuat setiap orang yang berasal dari golongan-golongan kecil pun merasa betah berada di rumah besar bersama (baca: Indonesia).

Meskipun Frans Seda berasal dari kalangan minoritas, tidak membuatnya berhenti memperjuangkan kemanusiaan dan ide pluralismenya. Ia sangat yakin bahwa seseorang yang dari kelompok kecil sekalipun dapat menjadi bagian yang sah dari bangsa ini.

Betapa indah Pluralisme yang kedua sosok ini ajarkan. Bagaimana golongan mayoritas menampilkan diri secara wajar di antara sesaudara tanah airnya yang minoritas. Begitu pun sebaliknya, yang minoritas adalah bagian sah yang layak dan memiliki hak yang sama di rumah besar indonesia sebagai warga negaranya.

Dengan kata lain, dari keduanya kita menangkap bahwa mayoritas dan minoritas hanyalah soal angka. Justru yang esensial adalah nilai persatuan, toleransi, bertenggang rasa, dan berbagi damai dengan sesama tanpa melukai satu sama lainnya.

Apa susahnya berbuat baik pada mereka yang berbeda agama sekalipun. Bukankah semua agama mengajarkan itu? Lantas apa yang membuat kita tertahan dan enggan melakukan hal yang bahkan telah diajarkan? Kalau kata mendiang Gus Dur “Gitu aja kok repot”. Begitulah pameo politik yang melegenda di kalangan generasi setelahnya.

Saat membaca keduanya. Tetiba saya teringat dengan kalam Ali Ibn Abi Thalib yang menyatakan. “manusia itu ada dua jenis. Saudaramu yang sama denganmu dalam iman, dan saudaramu dalam penciptaan (kemanusiaan)”. Betapapun kita berbeda agama, setidaknya kita masih terikat dengan rasa persaudaraan dalam kemanusiaan.

Merayakan pemikiran keduanya sama baiknya dengan memperingati haulnya.

Allahumma ighfirlahuma, al-Fatihah. []

Tags: Frans SedakeberagamanPemikiran Gus Durpluralismetoleransi
Ali Yazid Hamdani

Ali Yazid Hamdani

Ia aktif menulis esai, suka beropini, dan sesekali berpuisi.

Terkait Posts

Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

30 Mei 2025
Kasus Argo

Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?

30 Mei 2025
Gus Dur

Pentingnya Menanamkan Moderasi Beragama Sejak Dini Ala Gus Dur

30 Mei 2025
Ibadah Haji

Esensi Ibadah Haji: Transformasi Diri Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

29 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Terhadap Anak

    Alarm Kekerasan Terhadap Anak Tak Lagi Bisa Diabaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menanamkan Moderasi Beragama Sejak Dini Ala Gus Dur

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Buku Sayap-Sayap Patah: Kritik Kahlil Gibran terhadap Pernikahan Paksa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni
  • Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?
  • Menjemput Rezeki Tanpa Diskriminasi: Cara Islam Memandang Difabel di Dunia Kerja
  • Belajar Toleransi dari Kisah Khalifah Manshur dan Georgeus Buktisyu
  • Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID