Mubadalah.id – Berbeda dengan kecenderungan tulisan-tulisan populer yang mengapresiasi poligami dalam Islam, tulisan ini justru ingin mengetengahkan bahwa pilihan monogami bukan sesuatu yang baru dalam wacana tafsir dan hadits.
Jauh sebelum itu, Fathimah Az-Zahra–putri Nabi Muhammad SAW-—pernah mengungkapkan keberatannya terhadap poligami di hadapan sang Ayah. Dengan fakta ini saja, menolak poligami dan memilih monogami adalah sesuatu yang pernah terjadi pada masa Nabi SAW dan bisa kita benarkan dari sisi perspektif Islam.
Di dalam kitab-kitab klasik, dalam tafsir maupun fikih, memang tidak ada pembahasan panjang mengenai pilihan poligami atau monogami. Perdebatan pro maupun kontra terhadap poligami, dengan uraian panjang dan dalam, adalah sesuatu yang baru dalam wacana Islam.
Kitab-kitab fikih hanya menyatakan bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat keadilan materi terhadap perempuan.
Tetapi kebolehan ini tidak serta merta menjadi sesuatu yang diharuskan, dianjurkan, atau dibiarkan merajalela tanpa kritik terhadap praktik-praktik poligami yang riil dalam kenyataan.
Di dalam wacana fikih, sesuatu yang dibolehkan bisa menjadi terlarang—-diharamkan—ketika mendatangkan kerusakan. Hukum asal perkawinan sekalipun bisa diharamkan ketika menghadirkan kenistaan bagi perempuan.
Kritik Poligami
Jika beberapa kitab tafsir kontemporer mencoba mengetengahkan manfaat : poligami dalam kehidupan seksual modern yang permisif. Maka kitab-kitab tafsir klasik justru lebih banyak membicarakan poligami dengan semangat kritik terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang mungkin akibat perkawinan poligami.
Seperti dalam kitab Jami’ al-Bayin karya Imam ath-Thabari (Abu Ja’far bin Jarir bin Yazid, 225H/ 839M 320H/ 922M), Tafsir Bahr al-Ulim karya Imam as-Samarqandi (Abu al-Laith Nashr bin Muhammad bin Ahmad, w. 375H) dan Tafsir al-Kasysyaf karya Imam az-Zamakhsyari (Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad, w. 538H).
Dalam pembahasan kitab-kitab ini, poligami tidaklah dianggap sesuatu yang datang dihadirkan Islam. Jauh sebelum itu, poligami telah dipraktikkan termasuk pada masyarakat Arab pada masa awal kehadiran Islam.
Melalui ayat 3 Surat an-Nisa’ (QS. (4):3), Islam hadir mengkritik ketimpangan dan ketidakadilan dari praktik poligami. Terutama ketimpangan dan ketidakadilan yang perempuan alami.
Semangat dari ayat an-Nisa’ bukanlah pada soal restu poligami. Tetapi pada kritik terhadap ketidakadilan dan ketimpangan yang sering terjadi pada praktik poligami. Semangat ini yang semestinya hidup kembali dalam membicarakan perkawinan poligami dalam Islam. []