Mubadalah.id – Sebagaimana pemimpin agama pada umumnya, pemimpin agama perempuan juga mempunyai peran yang sama. Peran-peran pemimpin antara lain adalah mendidik, mengayomi dan mengadvokasi pihak-pihak yang dizalimi.
Dalam kerangka peran pendidikan, maka pernimpin agama perempuan bisa memberikan contoh yang baik bagaimana membangun relasi keluarga yang penuh penuh harmoni sebagaimana tujuan perkawinan di atas.
Pertama, pemimpin perempuan dapat melakukan rekonstruksi atas wacana-wacana keagamaan yang mendiskriminasi perempuan menjadi wacana-wacana baru yang adil gender, dan kemudian mensosialisasikannya di masyarakat.
Wacana keagamaan yang tidak adil jender masih cukup mendominasi kerangka berpikir masyarakat. Ia masih menjadi mindset sosial mainstream. Berbagai kekerasan terhadap perempuan dan pembatasan atas peran-peran perempuan sering merujuk pada landasan pemikiran keagamaan tersebut.
Kedua, pemimpin agama perempuan sebaiknya bisa menjadi sumber rujukan bagi setiap keluh kesah dan problem sosial masyarakat, baik secara individu. Sekaligus memberikan jalan keluarnya.
Ini terutama menyangkut problem kekerasan yang kaum perempuan alami. Terdapat banyak sekali ajaran agama yang bisa menjadi solusi problem-problem individu maupun sosial.
Ketiga, pemimpin agama perempuan sudah saatnya melakukan pembelaan terhadap nasib sesamanya dengan membentuk atau mendirikan lembaga-lembaga advokasi di masyarakat.
Dewasa ini lembaga-lembaga ini disebut Women Crisis Center atau Pusat Pelayanan Untuk Advokasi Korban Kekerasan Terhadap Perempuan. Lembaga-lembaga pelayanan ini penting dan strategis.
Lebih dari sejumlah peran di atas, pemimpin agama perempuan diharapkan bisa memperjuangkan lahirnya produk-produk kebijakan publik yang adil gender.
Peraturan Bias Gender
Dewasa ini masih banyak undang-undang, peraturan-peraturan daerah dan kebijakan publik lainnya yang mengandung muatan-muatan yang bias gender dan merugikan kaum perempuan.
Satu di antaranya adalah UU No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan. Dalam undang-undang ini laki-laki dinyatakan sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Di sini laki-laki secara hukum menjadi pemegang otoritas. Undang-undang ini juga masih memberikan peluang bagi laki-laki untuk berpoligami.
Demikianlah beberapa peran yang bisa pemimpin agama perempuan lakukan. Ini memang masih belum cukup komperhensif.
Tetapi pada dasarnya peran pemimpin agama perempuan sesungguhnya adalah sejauh, sebesar dan seluas peran yang kaum laki-laki miliki. Bahkan perempuan dapat bekerjasama untuk sebuah kehidupan keluarga yang berkeadilan dan harmonis. Serta demi masa depan bangsa dan negara yang kuat dan sejahtera. []