Mubadalah.id – Beberapa hari lalu euforia menyambut sempena hari kemerdekaan Indonesia menggema di seluruh penjuru negeri. Semua berlomba-lomba menjadi ikon kemerdekaan, berlomba-lomba mengukir sejarah, menjadi tim pengibar bendera baik dari tingkat kecamatan hingga menjadi pengibar bendera pusaka di istana negeri.
Sungguh sangat membahagiakan dan mengharukan bukan? Pertunjukan kesenian dan kebudayaan dari seluruh provinsi juga sangat membelalakkan mata. Di belahan Indonesia yang lain juga tidak kalah meriah, di kampung-kampung juga berlangsung sekian banyak perlombaan. Perayaan yang sangat beragam seperti ini hanya bisa kita rasakan 1 tahun sekali.
Tetapi siapa yang mengingat, di balik gegap gempita perayaan kemerdekaan tersebut, kita harus tetap mengingat cita-cita pendiri bangsa. Merayakan kemerdekaan boleh jadi mengingatkan kita pada titisan darah para pejuang bangsa. Sembari tetap mengusahakan sila kelima Pancasila, Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apakah Amanat Pancasila Sudah Terwujud?
Selain amanat konstitusi pada sila ke5 pancasila, lebih lanjut juga terjabarkan dalam pasal-pasal UUD NRI 1945. Negara kita sudah kaya akan regulasi, tapi fakta di lapangan apakah sejalan? Ternyata berbanding terbalik dengan harapan. Data dari kemenpppa menyebutkan dalam rentang 2025 saja, telah terdata kasus kekerasan sebanyak 18.836 kasus.
Sedangkan menurut data Catahu Komnas Perempuan yang dirilis tahun 2025, menyatakan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2024 mencapai 445.502 kasus, dengan rincian kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%) dan kekerasan ekonomi (9,84%).
Jumlah ini meningkat sebanyak 43.527 dari tahun lalu. Selain itu, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2024 yang dilaksananakan Kemen PPPA mencatat bahwa satu dari empat perempuan usia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Sementara itu, dari hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024 menunjukkan bahwa satu dari dua anak di Indonesia, pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan. Namun hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sistem pelayanan. Ini menunjukkan bahwa korban masih sulit bicara dan belum merasa aman untuk melapor.
Di Mana Ruang Aman Perempuan dan Anak?
Baru-baru ini, viral maraknya kasus kekerasan seksual di salah satu Pesantren dan beberapa Perguruan Tinggi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, predator seksual berjubah kiai/guru/dosen itu ternyata menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap murid-muridnya.
Korbannya tidak sedikit, bahkan mencapai puluhan orang untuk seluruh kasus tersebut. Motif doktrin ketaatan dan menganggap pelaku sebagai ayah menjadi senjata utama pelaku. Disini jelas, dunia pendidikan jelas sudah tidak ramah terhadap perempuan dan anak.
Kasus yang lain, kasus pemerkosaan yang dialami remaja perempuan berusia 16 tahun di Nusa Tenggara Timur. Ironisnya, ketujuh pelaku memperkosa korban ditanah milik Polres Belu. Bukankah di wilayah tersebut seharusnya menjadi daerah yang aman?
Selama ini, banyak yang menganggap, agar bisa terhindar dan terlindungi dari kekerasan adalah dengan berlindung kepada orang-orang terdekat, termasuk ayah, ibu, paman, kakek, dan lain-lain. Namun, apa jadinya jika ternyata predator itu sendiri bersarang di rumah kita sendiri.
Kasus di Aceh pada Juli lalu, seorang anak perempuan berusia 13 tahun harus mengalami kisah tragis dan pilu. Ia harus menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan dari ayah, ibu, dan pamannya sendiri secara berulang selama 4 tahun. Dia harus memendam luka dan ketakutannya selama bertahun-tahun. Tidak ada lagi ruang aman baginya.
Kasus Human Trafficking Juga Marak Terjadi
Belum lagi, kasus di Lampung yang menimpa remaja perempuan yang berusia 14 tahun. Ia menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri ejak ia duduk di kelas 3 SD. Kurang lebih 5 tahun lamanya ia dipaksa melayani nafsu bejat bapaknya sendiri.
Ada lagi kasus di Jawa Barat, seorang anak berusia 5 tahun yang harus menjadi korban pemerkosaan oleh ayah kandung dan pamannya sendiri. Tidak ada tempat mengadu. Karena tempat ternyaman untuk pulang malah menjadi saksi bisu kekerasan yang ia alami.
Belum lagi kalau kita membahas femisida, kekerasan terhadap perempuan yang berujung pada kematian. Kasus AL, remaja berusia 17 tahun di Lampung yang harus meregang nyawa karena diperkosa dan dibunuh secara keji oleh pamannya sendiri menambah daftar kasus femisida di Indonesia.
Kemudian human trafficking yang ternyata banyak mucikari anak yang memperjualbelikan teman sebayanya. Informasi ini penulis dapatkan ketika wawancara dengan berbagai pihak di Nusa Tenggara Barat. Sekali lagi, di mana ruang aman perempuan dan anak?
Bagaimana Solusinya?
UN Women menjelaskan dalam websitenya bahwa mengakhiri kekerasan adalah kewajiban semua orang tanpa terkecuali. Berikut beberapa tips yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan menolong penyintas kekerasan, yaitu:
-
Dengarkan dan percayai para penyintas
Para penyintas kekerasan yang berani bersuara merupakan Langkah pertama memutus siklus kekerasan, dan tugas kita adalah memberikan ruang aman agar mereka kita dengar dan terpercaya.
Penting kita ingat bahwa penyebab kekerasan seksual adalah pelaku semata, bukan pakaian, seksualitas, atau kesadaran korban. Setiap orang memiliki peran untuk melawan budaya menyalahkan korban serta mendukung penyintas agar memperoleh keadilan
-
Edukasi Seksual Sejak Dini
Sejak dini, anak perlu diajak berdiskusi tentang seksual, gender, persetujuan, dan akuntabilitas dengan cara yang sesuai usia. Dengan menantang stereotip dan membekali mereka pengetahuan hak-hak perempuan, kita dapat membangun masa depan yang adil.
-
Memberikan advokasi dan pendampingan untuk pemulihan korban
Layanan bagi penyintas merupakan hal yang esensial. Ini berarti tempat penampungan, saluran bantuan, konseling, dan semua dukungan bagi penyintas kekerasan berbasis gender perlu tersedia bagi mereka yang membutuhkan.
-
Pahami persetujuan
Persetujuan yang diberikan secara bebas dan jelas oleh perempuan adalah wajib setiap saat. Dia memegang kendali atas diri dan tubuhnya.
-
Edukasi tentang bentuk-bentuk kekerasan
Banyak korban yang biasanya tidak menyadari ia sedang dilecehkan. Beitupula sebaliknya, ada pelaku yang secara tidak sadar sedang melecehkan orang lain.
-
Berani bersuara
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Sehingga, setiap orang harus menunjukkan solidaritas kepada penyintas dan untuk memutus rantai kekerasan.
-
Berani Melawan Budaya Kekerasan
Kekerasan dapat terjadi karena dinormalisasikan. Ke depan kita harus berani mengakhiri budaya-budaya yang sarat dengan kekerasan.
-
Danai Organisasi perempuan
Berikan donasi kepada organisasi lokal yang memberdayakan perempuan, memperkuat suara mereka, dan mendukung penyintas.
-
Saling Mengingatkan/Menegur
Kekerasan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk pelecehan seksual di tempat kerja dan di ruang publik. Bersikaplah tegas dengan menegur mereka ketika kita melihatnya: catcalling, komentar seksual yang tidak pantas, dan lelucon seksis tidak pernah kita benarkan.
-
Menghimpun data kekerasan
Pengumpulan data yang relevan adalah kunci keberhasilan penerapan langkah-langkah pencegahan dan pemberian dukungan yang tepat kepada penyintas.
Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kewajiban setiap orang, maka mari kita mengambil bagian kita masing-masing. Demi terwujudnya dunia yang lebih adil, ramah, dan inklusif. []