Mubadalah.id – Suatu hari, dalam sebuah diskusi, saya mendengar teman (sebut saja Si A) mengeluarkan kalimat tidak enak terdengar. Kebetulan, kami sedang dalam forum yang melibatkan beberapa orang. Si A bertanya, “Hai, gimana? Si badan gemuk yang seperti dugong. Hehehe.” Pada saat itu pula, saya tegur Si A untuk menghentikan dan meminta maaf ke teman saya (sebut saja Si B). Dengan enteng, Si A menjawab, “Kan, cuma bercanda.” Sebuah kalimat body shaming yang mudah untuk diucapkan, namun amat menyakitkan, menyebabkan dahi saya mengernyit berkali-kali.
Setelah forum selesai, saya memohon ijin ke Si B untuk menanyakan tanggapan setelah mendengar kalimat body shaming tadi. Memberanikan diri bertanya demikian, tentu tidak secara to the point. Mulai dari mengajak berdiskusi, menyayangkan ucapan body shaming, sampai pada tahap afirmasi bahwa apa yang korban rasakan sangat memilukan.
Teman saya, Si B, memberikan tanggapan, “Jelas sakit, lah. Sudah berjuang jaga pola makan, eh, dapat body shaming dari teman sendiri.” Ternyata kalimat yang terucap hanya beberapa waktu, menyebabkan sakit yang amat dalam, ya. Mungkin tidak hanya teman saya yang menjadi korban body shaming, ada beberapa orang di luar sana yang mengalami kejadian serupa.
Mengapa Respons “Kan, cuma bercanda,” Masih Terus Terdengar?
Kalimat-kalimat bernada body shaming masih kerap terdengar di lingkungan remaja, bahkan di kalangan mahasiswa yang dunianya kerap melekat dengan idealisme. Ucapan “Kan, cuma bercanda,” terlihat sebagai jawaban cari aman bagi pelaku body shaming karena merasa tidak bersalah atas ucapannya sendiri.
Kebiasaan ini semakin ke sini semakin terlihat jelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan respons “Kan, cuma bercanda,” masih terdengar. Saya coba menggeser pikiran melalui perspektif pelaku body shaming dalam memahami kalimat ini.
“Kan, cuma bercanda. Kita sudah berteman lama, wajar kalau bercanda, dong!”
Seringkali pelaku menggunakan alasan pertemanan untuk menormalisasi body shaming. Padahal, pertemanan harusnya saling menghargai dan memiliki komitmen, mana yang pantas diucapkan dan mana yang tidak pantas untuk diucapkan.
“Gitu aja baper, sih.”
Baper atau bawa perasaan merupakan hal wajar ketika kondisi sekeliling sudah mengancam dan membuat seseorang tidak nyaman. Namun, seringkali baper diartikan sebagai kata yang bermakna apa-apa dimasukkan ke dalam perasaan.
Penggunaan kata baper seharusnya disesuaikan dengan keadaan, bahwa body shaming itu menyakitkan. Makanya, pantas saja jika perasaan turut andil merespon perlakuan body shaming. Membawa perasaan artinya merepresentaikan kondisi tidak nyaman dan sakit hati. Artinya, baper sah-sah saja bagi korban body shaming.
“Ah! Ngapain minta maaf, orang cuma bercanda.”
Jangan Normalisasi Body Shaming
Pelaku body shaming terkadang merasa bahwa apa yang dilakukan adalah hal wajar dan bukan suatu kesalahan. Pikiran ini menyebabkan pelaku enggan meminta maaf karena mereka merasa yang ia lakukan adalah hal biasa layaknya bercanda. Padahal, tidak semua candaan bermakna humor, bahkan ada candaan yang jutru menyakitkan.
“Aslinya memang dia gendut. Fakta, kan?”
Nah, ini. Respon yang benar-benar kelewatan. Biasanya terucapkan untuk orang yang angkuh dengan pemikirannya dan tidak memikirkan bahwa ucapannya itu salah. Mau gendut ataupun kurus secara fisik, mereka tetap manusia berharga.
beberapa kalimat respons di atas terus berjalan di samping ada dorongan standar kecantikan atau ketampanan seseorang. Masih terlintas di depan saya, anggapan seseorang cantik atau tampan dilihat dari segi rupa dan bentuk tubuh. Standar ini menggiring pikiran bahwa orang yang tidak masuk dalam kriteria cantik atau tampan, mereka berhak mendapat ujaran negatif layaknya body shaming.
Adanya respons-respons yang menormalisasi ini akhirnya mengajak saya untuk lebih berhati-hati ketika berbicara. baangkali kalian pernah melakukan atau melihat kejadian body shaming, maka sebaiknya dihentikan sejak dini. sebab, seberapa banyak atau sedikitnya ucapan, kalau mneyakiti hati orang lain, tentu sangat berdampak negatif yang sangat panjang.
Kena Body Shaming, Saya Harus Bagaimana?
Setelah berdiskusi dengan Si B, saya berpikir bahwa ucapan seseorang tidak hanya sekadar ucapan belaka. Secara personel pendengar, ucapan memiliki filosofi dan maknanya sendiri yang kadang sangat menyakitkan. Korban tidak mudah untuk melewati proses menetralisir kondisi hati, apalagi sampai melupakan kejadian dalam hitungan waktu. Beberapa langkah di bawah ini adalah bentuk perlawanan saat diri sendiri menjadi koban dan menganggap hal tersebut sebagai guyonan.
Atur Nafas
Berada dalam situasi yang mengancam kondisi mental dan perasaan, rasanya memang tidak nyaman. Maka, ketika mendapat kalimat bernada body shaming, yang pertama bisa dilakukan adalah mengatur nafas untuk menjaga stabilitas emosional. Tarik nafas sepanjang-panjangnya dan keluarkan selepas-lepasnya. Kondisi ini memang sulit, namun dapat menjadi aternatif supaya emosional kamu tidak menghabiskan energi.
Tegur Pelaku
Setelah kondisi emosional stabil, kamu berhak menegur dan meluruskan kalau yang diungkapkan pelaku body shaming adalah kesalahan berdampak negatif. Tegurlah ketika kondisi kamu memang sudah siap. Namun, ketika belum memiliki kesiapan secara mental dan perasaan, kamu tidak salah, kok, kalau ijin keluar dari forum tersebut. Sebab, yang paling utama adalah kondisi kamu dalam keadaan yang aman dan nyaman.
Bangun Boundaries
Boundaries merupakan batasan yang dibuat untuk melindungi diri sendiri dari ancaman yang mengganggu. Ketika kamu sudah mengetahui bahwa di forum tersebut kamu akan mengingat kejadian body shaming, kamu berhak untuk memiliki batasan dengan tidak masuk forum.
Tapi, kamu juga bisa berada dalam forum tersebut dan bangun batasan ketika ada pelaku body shaming, maka kamu bisa memilih untuk keluar forum. Kamu juga bisa membangun batasan dengan siapa akan berteman dan kepada siapa kamu akan meminta tolong ketika menjadi korban body shaming.
Self Love
Mencintai diri sendiri adalah bentuk rasa yang sangat penting dimiliki seseorang. Bangunlah mindset bahwa seperti apapun kondisi pemikiran dan tubuh kamu, kamu tetaplah manusia berharga. Sekalipun ada orang yang mematahkan hati dengan body shaming, maka tetaplah menyala dan berikan ruang untuk mencintai diri sendiri secara penuh. Kalau bukan diri sendiri, siapa lagi yang akan mencintai tubuh dengan tulus? []