Mubadalah.id – Ada sebuah lorong yang sunyi setiap kali moment 16 HAKTP itu hadir, yang selalu diperingati di akhir November hingga 10 hari pertama di bulan Desember. Saya mengingati diri, mengenang tahun-tahun silam saat berupaya keras keluar dari trauma panjang kekerasan yang pernah dialami. Ya, saya Ratna Ningrum, pernah menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Meski berat, akhirnya saya lega mampu melewati hari-hari gelap itu.
Pun dengan teman-teman perempuan, baik yang saya kenal dekat maupun tidak, atau yang hanya selintas saling tahu melalui media sosial. Karena saya yakin, setiap perempuan pernah mengalami kekerasan fisik, psikis atau seksual, meski dengan level yang berbeda, namun tetap meninggalkan jejak luka yang takkan mungkin begitu saja terlupa.
Suatu hari, di belasan tahun yang silam, ketika hari-hari pertama saya bertugas menjadi tenaga pengajar di salah satu sekolah menengah di daerah XY. Kendaraan roda dua saya melintas melewati jalanan beraspal, lalu ada seorang perempuan sebaya yang berdiri di tengah jalan sambil memeluk boneka. Saya membunyikan klakson, tubuh perempuan itu tetap bergeming. Tak menoleh. Tak bersuara. Tak bergerak seinci pun. Ia diam mematung serupa monument bersejarah di tengah kota.
Akhirnya saya yang mengalah, meminggirkan kendaraan saat melaju agar tak menabrak perempuan itu. Sekilas saya melihat wajahnya, seperti tak asing dan saya mengenalnya dengan baik. Tapi lupa di mana kami pernah bertemu. Ketika sampai di tujuan, saya bertanya ke satpam sekolah, tentang siapa perempuan yang seringkali berdiri di tengah jalan sambil menggendong boneka, seperti gadis kecil yang sedang menunggu kedatangan seseorang.
Lalu Pak Satpam, yang biasa disapa warga sekolah dengan panggilan Mang Ujang bercerita, jika perempuan itu bernama Iroh. Ia menjadi tak waras setelah datang dari Arab Saudi menjadi buruh migran di sana, dan ia pulang tanpa membawa apapun. Konon, dia dipulangkan, setelah entah apa yang dia alami selama bekerja di sana. Meski oleh majikan sudah diberi pesangon dan gaji, ketika dalam perjalanan pulang dari bandara menuju ke rumahnya, ia dirampok oleh komplotan oknum yang mengaku sebagai agensi yang dulu pernah memberangkatkannya bekerja ke luar negeri.
“Ketika tiba di rumah menggunakan mobil agensi itu, Iroh sempat mengamuk dan berteriak-teriak mana uangku, mana uangku, mana uangku. Ia diturunkan begitu saja di depan rumahnya pada malam hari, lalu mobil itu pergi tak pernah kembali. Iroh pulang tanpa membawa apa-apa. Bahkan tas koper yang dulu ia gunakan saat berangkat pun ikut raib entah ke mana. Sejak saat itu, Iroh tak pernah mau bicara. Pandangan matanya kosong, sambil memeluk boneka.” Cerita Mang Ujang sambil duduk di depan Pos Satpam.
“Terimakasih Mang Ujang atas ceritanya, nanti aku traktir kopi sama gorengan dari kantin ya!” Ujarku sambil berpamitan dan bergegas masuk ke ruang kantor.
“Sama-sama Bu Ratna, saya juga terimakasih sudah ditraktir kopi dan gorengan.” Tukas Mang Ujang dengan senyum merekah.
***
Sebaris nama terus berdenging dalam ingatanku. Iroh. Bagai kepingan puzzle yang berusaha saya cari dan susun dengan kepingan lainnya. Lamat-lamat akhirnya saya ingat. Iroh merupakan saudara jauh dari tetangga yang dulu saat masa kecil, kami pernah main bersama. Ia gadis yang ramah dan ceria. Tak aku sangka, Iroh mengalami nasih setragis itu. Akhirnya saya memutuskan setelah pulang kerja akan mampir ke rumah Iroh.
Begitu bel sekolah berdentang berkali-kali tanda usai waktu belajar, dan anak-anak berhamburan dari masing-masing kelas. Bagai air bah yang meluncur, berduyun-duyun, namun tertib dan teratur. Semua langkah menuju pintu gerbang. Setelah keramaian pelataran sekolah mereda, saya pun mengarahkan motor ke jalanan, dengan berbekal alamat dari Mang Ujang, saya berniat mampir ke rumah Iroh.
Sesampai di rumah Iroh, saya disambut oleh kakaknya. Tak banyak yang kami bincangkan, hanya bertanya kabar dan kondisi Iroh saat ini. Kakaknya bercerita, persis seperti Mang Ujang berkisah padaku tadi pagi di Pos Satpam. Dari pertama kali kejadian hingga hari di mana saya berkunjung ke rumahnya, belum ada upaya apapun dari pihak keluarga, untuk menuntut keadilan atau memulihkan mental Iroh.
Hanya menunggu dan menunggu entah sampai kapan. Karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Sempat ada keinginan menuntut pihak agensi, namun mereka sudah ketakutan dengan biaya hukum yang harus dikeluarkan, belum lagi stigma dari masyarakat dan energi, waktu, tenaga serta emosi yang pasti akan terkuras habis. Dalam kondisi itu, saya bisa memahami. Negara ini masih belum hadir kepada mereka yang terpinggirkan dan tak berdaya.
Memperjuangkan keadilan bagi perempuan korban kekerasan, bagai berjalan di lorong yang sunyi dan gelap. Berjalan seolah tanpa arah dan tuju, tak tahu di depan nanti akan menemui hal apa. Semua serba gelap, pekat, dan menakutkan bagi mereka. Entah kapan Negara ini akan hadir untuk para penyintas korban kekerasan.
Kisah Iroh, atau Tragedi Tuti yang dihukum mati di Saudi, dan baru-baru ini anak perempuan yang diperkosa berkali-kali di Tasikmalaya, oleh pelaku yang menyandang status sebagai Tokoh Masyarakat. Rasanya begitu perih dan pedih. Setiap hari kita harus mendengar dan melihat berita kasus kekerasan menimpa perempuan, lagi dan lagi tanpa ada hukum yang pasti.
Meski begitu, saya masih menyimpan harap, meski secuil saja, semoga ini akan memantik semangat itu tetap menyala, tak pernah alpa dan selalu ada bagi mereka, para penyintas kekerasan. Ya, meski sunyi, saya percaya perempuan takkan pernah melangkah sendiri menyusuri lorong yang sunyi itu. Saya Ratna Ningrum, akan berdiri bersama korban kekerasan seksual, dan mari kita terus bergerak mengakhiri kekerasan terhadap perempuan serta anak perempuan.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Iroh, saya rapalkan bait puisi “Perempuan Penjaga Api” karya Nolinia Zega.
Di mana-mana ku lihat perempuan menangis
Di mana-mana ku dengar jerit pilu mereka
Di mana-mana ku saksikan mereka tertatih, terseok-seok bertahan mengarungi badai hidup
Di mana-mana ku dengar kisah mereka, yang berjuang keluar dari sekat-sekat yang membelenggu hidupnya
Sungguh, makhluk yang menakjubkan! meski hatinya hancur ribuan kali
Raganya menahan sakit tak terperi, namun ia tetap berjuang, berdiri!
Walau tak jarang mesti merangkak demi meraih mimpi yang ia yakini
dan kehidupan yang lebih baik bagi pemegang tampuk kehidupan berikutnya
Sungguh para pejuang sejati!
Hormat untuk setiap mereka, perempuan-perempuan yang apinya tetap terjaga, yang terus berjuang menjadi manusia sebaik-baiknya demi asa yang mereka pelihara. []