Mubadalah.id – Bukti bahwa syariat sangat memedulikan keberlangsungan pernikahan agar tetap harmonis yaitu sejak pra-nikah syariat memberikan kriteria yang patut untuk kita jadikan pertimbangan dalam membangun rumah tangga. Syekh Yusuf al-Qardlawi menjadikan selektif dalam memilih calon pasangan (حسن الاختيار) sebagai asas pertama. Yang penting kita sadari dalam proses penyeleksian yaitu bukanlah privilege lelaki semata. Akan tetapi perempuan juga berhak menentukan standar untuk memilih pasangannya.
صلاح الخلق والدين (luhurnya budi dan agamanya)
Syekh Yusuf al-Qardawi sendiri menawarkan tiga kriteria dalam menyeleksi pasangan hidup supaya rumah tangga harmonis yang ia gali dari ajaran Islam. Pertama, etika dan agama yang baik (صلاح الخلق والدين). Kenapa etika dan agama sebagai salah satu kriteria dalam memilih pasangan hidup?
Al-Qardawi menandaskan bahwa orang yang tidak punya kebaikan budi pekerti dan agama tidak layak kita jadikan mitra dalam bisnis. Lantas bagaimana mungkin layak kita jadikan pasangan hidup yang abadi? Artinya, orang yang buruk perangainya pastilah kita hindari untuk menjadi teman bisnis. Apalagi teman dalam konotasi pasangan hidup yang akan berlaku selamanya.
Hal ini selaras dengan hadis yang pernah Nabi Muhammad sawa sabdakan, bahwa perempuan bagi laki-laki adalah perhiasan, dan paling indahnya perhiasan dunia adalah perempuan yang salihah. Demikian juga berlaku bagi lelaki yang saleh.
الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan dan paling bagusnya perhiasan dunia adalah perempuan salihah” (HR. Muslim; Shahih muslim, 2/1090).
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka berpeganglah pada keberagamaannya agar kamu memperoleh kebahagiaan (HR. Muslim).
Aspek Agama Menjadi Prioritas
Sedikit tambahan menyangkut hadis di atas sebagaimana penjelasan Ustad Madid bahwa hadis ini tidak sedikit orang yang salah memahami. Dalam hadis itu, ada dua kandungan hadis yaitu bersifat tasyri’iyah dan ghairu tasyri’iyah.
Ungkapan Nabi bahwa perempuan dinikahi lantaran harta, status sosial, fisik bukanlah tasyriri’iyah melainkan Nabi ingin memberi tahu fenomena alam bahwa kecenderungan lelaki memilih perempuan lantaran tiga hal tersebut. Sedangkan faktor agama adalah pertimbangan yang terakhir. Oleh sebab itu, Nabi mengingatkan bahwa yang perlu kita prioritaskan sebagai pertimbangan adalah aspek agama. Inilah yang berupa tasyri’iyah.
Sebagaimana saya tegaskan di awal, bahwa dalam memilih bukanlah privelige laki-laki, perempuan pun memiliki otoritas untuk memilih dan menyeleksinya. Menurut al-Qardawi, perempuan sebagaimana laki-laki, dalam menyeleksi calon pasangannya adalah kebaikan budi dan agama sebagai pertimbangan pertama dan utama. Hal ini sebagaimana isyarat dalam hadis Nabi.
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Bila lelaki yang kau sukai budi pekerti dan agamanya datang (melamar) maka nikahkanlah. Bila tidak maka dikhawatirkan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan”.
Di lain pihak, Imam al-Ghazali dengan mengutip kisah Hasan al-Basri menjelaskan keuntungan memiliki pendamping saleh, yaitu bila calon itu mencintainya maka akan memuliakan. Tetapi bila ia tidak cinta, sekurang-kurangnya akan menghargainya dalam arti tidak akan berbuat zalim dan KDRT.
فَإِنْ أَحَبَّهَا أكرمها وإن أبغضها لم يظلمها
“Jika laki-laki yang saleh mencintai istrinya maka akan memuliakannya dan jika tidak maka tidak akan menzaliminya.”
Maka tidak heran jika para sahabat dan tabiin ketika memilihkan calon untuk putrinya lebih mementingkan kesalehan walaupun miskin. Sebagaimana pernah Imam Sa’id bin Musyyib lakukan. Bahkan dalam keterangan yang lain Nabi mengatakan bahwa seorang wali dianggap memutus silaturahmi dengan putrinya apa bila menikahkan dengan orang yang fasik.
توافق الروح (Kecocokan)
Kriteria kedua sebagai pertimbangan dalam menyeleksi calon pasangan menurut al-Qardlawi adalah keselarasan jiwa (توافق الروح). Kriteria ini tujuannya tiada lain agar rumah tangga yang dibangun berjalan harmonis. Karena, lebih lanjut al-Qardlawi, terkadang seseorang tidak tahan dan enggan hidup dengan orang lain dalam kondisi apa pun, walaupun secara lahir tidak ada celah yang layak dijadikan alasan untuk menolaknya.
Hal itu lantaran tidak adanya kecocokan jiwa satu sama lain. Pokoknya la tak suka, titik, kata anak sekarang. Adapun cara untuk mengetahui kecocokan jiwa antara pasangan, menurut al-Qardlawi, adalah bisa terealisasi dengan pandangan pertama, tingkah lakunya dan lain semacamnya. Dalam konteks inilah salah satu hikmah mengapa Nabi mensyariatkan untuk seorang yang hendak meminang melihat pasangannya.
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah dia karena mengetahuinya akan mendukung kelanggengan antara kalian berdua”
Dengan demikian, melihat, dan memilih calon pasangan lagi-lagi bukanlah privilege laki-laki, perempuan berhak untuk melihat pula sebagaimana laki-laki. Tujuannya, agar bisa mengidentifikasi calon pasangannya cocok dengan seleranya atau tidak. Baik laki-laki maupun perempuan hendaknya saling melihat satu sama lain, bercakap-cakap untuk mengetahui kecocokan jiwa dengan jiwa pasangannya.
الملاءمة (Kepantasan)
Kriteria ketiga yang patut dijadikan pertimbangan dalam menyeleksi calon adalah kepantasan diri. Artinya, seseorang yang hendak mencari pasangan hidup mesti berkaca dengan kepantasan dirinya baik dari aspek materi atau harta, pendidikan, umur dan juga sosialnya. Al-Qardawi dalam hal ini menegaskan sebagai berikut.
Laki-laki miskin tak layak dengan perempuan kaya bila harta menjadi motifnya.
فلا ينبغي للرجل الفقير أن يطلب زوجة ثرية تدل عليه بمالها، ويعيش عالة عليها، فالأصل في الرجال أن يكونوا قوامين على النساء، وينفقوا عليهن، ولكن هذه هي التي تنفق عليه، فلا تكون قواميته عليها كاملة
“Laki-laki miskin tidak boleh mencari istri kaya yang mana hartanya sebagai petunjuknya (motif), dan dia hidup bergantung pada perempuan tersebut. Sebab, pada prinsipnya laki-laki bertanggung jawab atas perempuan dan menafkahi mereka, tetapi ini perempuan lah yang menafkahinya. Jadi otoritas kepemimpinan lelaki atas perempuan tidak sempurna”.
ولا ينبغي لرجل أمي أو شبه أمي : أن يتزوج امرأة جامعية مثقفة، أو العكس؛ لبعد الفارق الثقاف بينهما، فلا يكادان يشتركان إلا في الطعام والشراب ،والمتاع الجنسي.
“Pria tak berpendidikan atau pendidikan rendah tidak boleh menikah dengan wanita berpendidikan, atau sebaliknya (perempuan tak berpendidikan menikah dengan lelaki yang berpendidikan. Karena perbedaan budaya (pemikiran/pandangan dan cita-cita) di antara keduanya. Maka hampir keduanya tidak ada kesamaan dalam berbagi hal kecuali makan, minum, dan kenikmatan seksual”.
ولا يليق بشاب أن يبحث عن امرأة عجوز ، ولا بشابة أن تبحث عن رجل بلغ من الكبر عتيا، إن هذا في الغالب يكون وراءه بواعث مادية كثيرًا ما تفسد أمر الزواج، وتكدر صفاءه
“Tidak selayaknya pemuda atau perjaka mencari seorang wanita tua atau janda. Sebaliknya, wanita muda atau perawan mencari laki-laki yang telah mencapai usia tua renta atau duda, karena seringkali ada motif material di baliknya yang sering merusak pernikahan dan mengganggu pernikahannya”. []