• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Slow Living: Memaknai Hidup Menjadi Lebih Berwarna

Sederhananya slow living adalah mengurangi konsumsi, dan melakukan pendekatan dengan alur yang lambat pada kehidupan sehari-hari

Zahra Amin Zahra Amin
26/02/2023
in Personal
0
Slow Living

Slow Living

615
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setelah pekan kemarin berjibaku dengan waktu, bahkan kesempatan tidur pun sampai berkurang, minggu ini ritme kehidupan saya lebih tenang dan pelan. Sejak Kamis hingga hari ini, tak ada sesuatu hal yang membuat otak berpikir keras, atau menuntut perhatian penuh. Semua berjalan normal, tapi serasa sangat lamban sekali. Hingga akhirnya aku tahu inilah yang dinamakan gaya hidup slow living.

Teman-teman pernahkah mendengar slow living? Sederhananya slow living adalah mengurangi konsumsi, dan melakukan pendekatan dengan alur yang lambat pada kehidupan sehari-hari. Mengutip dari Kompas.com, konsep ini merupakan bagian dari slow movement yang dimulai pada 1980-an di Italia. Saat menghadapi pembukaan McDonald’s di jantung Kota Roma, Carlo Petrini dan sekelompok aktivis membentuk slow food, sebuah gerakan yang membela tradisi makanan setempat.

Gerakan itu kini memiliki pendukung di lebih dari 150 negara dan terus melindungi tradisi gastronomi, mempromosikan pembayaran yang adil bagi produsen, mendorong kenikmatan makanan berkualitas baik, dan terlibat dalam upaya keberlanjutan. Carl Honoré, salah satu penulis dan pembicara paling terkenal tentang slow movement, membantu membawa konsep slow living ke arus utama pada tahun 2004 dengan penerbitan bukunya In Praise of Slowness.

Mengenal Slow Living

Honoré mengeksplorasi bagaimana slow food memicu gerakan slow living yang lebih luas dengan ‘lambat’. Hingga sekarang diterapkan ke bidang kehidupan lain yang telah mengalami percepatan besar, termasuk pekerjaan, pengasuhan anak, dan waktu luang. Sejak buku itu diterbitkan, kecepatan hidup kita hanya terus meningkat, begitu pula kesadaran akan gerakan hidup lambat.

Hari ini, perjalanan lambat, mode lambat, kebugaran lambat, berkebun lambat, interior lambat, desain lambat, pemikiran lambat, berita lambat, dan kerja lambat adalah contoh cabang lebih lanjut dari gerakan hidup lambat. Semakin banyak orang yang mengakui bahwa lebih cepat tidak selalu lebih baik. Dengan semakin banyak orang yang “dipaksa” untuk memperlambat dan menyederhanakan gaya hidup, minat terhadap slow movement telah meningkat selama pandemi Covid-19.

Baca Juga:

Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki

Hidup Minimalis juga Bagian dari Laku Tasawuf Lho!

Self Awareness Ala Oh Yi Young di Resident Playbook

Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat

Faktanya, Google juga melaporkan peningkatan empat kali limpat dalam jumlah video YouTube dengan judul ‘slow living’ tahun 2020 dibanding tahun 2019. Peningkatan tersebut menunjukkan keinginan untuk terhubung kembali dengan hobi, alam, dan diri kita sendiri yang bermakna.

Beberapa waktu kemudian gagasan ini dia perluas sampai akhirnya tercipta istilah slow living. Di mana ini menekankan pada bagaimana kamu menikmati hidup dan memaknainya dengan penuh. Slow living sudah dipraktikkan dalam budaya kuno Jepang dan beberapa negara Asia lainnya. Sekarang ini slow living menjadi filosofi arus utama yang banyak diterapkan oleh orang-orang di seluruh dunia.

Terapkan Slow Living Sesuai Kebutuhan

Menjalani gaya hidup slow living ini fleksibel, sesuai dengan kebutuhan kita. Ketika deadline pekerjaan sudah di depan mata, tidak mungkin juga kita harus bersantai tanpa membuat perencanaan untuk segera mengerjakan dan menyelesaikan deadline itu. Mungkin bisa kita gunakan sebagai kompensasi ketika kita telah selesai dengan satu tugas, sebelum datang tugas berikutnya.

Seperti yang saya lakukan di minggu ini, setelah selesai membuat laporan akhir dan awal tahun, plus dengan rapat-rapatnya. Lalu bersambung dengan proses finalisasi kompilasi artikel Mubadalah.id, ada waktu jeda beberapa hari sebelum nanti ada agenda launching dan bedah kumpulan artikel itu. Saya manfaatkan untuk lebih banyak di rumah. Terlebih cuaca juga mendukung, dengan curah hujan yang tinggi membuat kita semakin enggan beranjak pergi.

Hal baik lainnya, kita jadi lebih bisa memahami keinginan diri sendiri. Semacam berdialog dengan sesuatu yang ada dalam diri kita. Meski tak perlu untuk menjadi seseorang yang sempurna. Setidaknya kita menjadi lebih menghargai hal sekecil apapun yang sudah pernah kita lakukan, dan apa yang terjadi dalam kehidupan ini.

Tubuh serta jiwa yang sehat, pikiran yang masih segar, daya ingat yang masih menetap, dan perasaan tenang serta hangat yang melindap dalam ingatan. Bagi saya, itu cukup sebagai modal untuk mampu menghadapi kondisi apapun di luar sana.

Manfaat Slow Living

Masih mengutip dari laman yang sama, inilah sekian manfaat dari penerapan gaya hidup slow living. Pertama, memberikan lebih banyak “me time”. Dengan memotong aktivitas yang mengalihkan perhatian kita. Misalnya terlalu lama memelototi media sosial, atau aktivitas yang tidak memuaskan, kita akan mendapatkan kembali waktu untuk perawatan diri.

Kedua, membuat kita lebih “waras”. Slow living berarti menjadikan kita lebih sadar. Lebih mampu mengendalikan stres dan lebih mendorong kita untuk menghargai momen demi momen. Kita akan “terhanyut” untuk menikmati proses, tidak sekadar mengejar hasil akhir dalam menunaikan segala sesuatu.

Ketiga, membangun hubungan yang lebih kuat. Mengurangi stres dan mendapatkan lebih banyak “me time”. Hidup dengan penuh kesadaran dapat membantu meningkatkan waktu berkualitas kita bersama orang-orang yang paling kita sayangi.

Keempat, menyelaraskan diri dengan alam. Slow living berarti peduli dengan alam. Kita akan menjadi lebih sadar akan dampak negatif dari gaya hidup yang mencemari Bumi. Oleh karena itu, kita harus bangga dengan masyarakat Bali dengan Tri Hita Karana-nya yang menyelaraskan hidup dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia.

Dengan menyeimbangkan ketiga unsur tersebut, kita dapat berpacu untuk melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi.

Kelima, menjalani panggilan hidup. Slow living berarti menempatkan nilai-nilai diri kita di jantung gaya hidup. Menemukan integrasi kehidupan kerja yang lebih baik dan meluangkan waktu untuk apa yang paling penting bagi diri sendiri, yang dapat mengarah pada kehidupan yang lebih terarah.

Demikian lima manfaat dari penerapan gaya hidup slow living. Sebagai penutup, saya ingin akhiri dengan dua tanya, Bukankah hidup yang tak bertujuan tak pantas kita perjuangkan? Dan, bukankah dengan menerapkan gaya hidup slow living ini, membuat kita bisa memaknai hidup menjadi lebih berwarna? []

 

 

Tags: gaya hidupHidupkehidupanKesehatan MentalmanusiaSlow LivingWaktu
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Pandangan Subordinatif

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

31 Mei 2025
Joglo Baca SUPI

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

31 Mei 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Difabel di Dunia Kerja

Menjemput Rezeki Tanpa Diskriminasi: Cara Islam Memandang Difabel di Dunia Kerja

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tubuh yang Terlupakan

    Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban
  • Aurat Menurut Pandangan Ahli Fiqh
  • Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an
  • Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID