Mubadalah.id – Di dalam kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad Saw, kerapkali beliau menghadapi beberapa perilaku para istri yang tidak sesuai dengan keinginan beliau, dengan penuh bijaksana. Bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk berpikir, merenung dan menentukan sikap dan pilihan.
Nabi Saw tidak marah dengan mengeluarkan katakata serapah, busuk dan kotor, apalagi melakukan pemukulan dan kekerasan. Nabi Saw cukup mulia untuk melakukan itu semua.
Pada puncaknya, Nabi Saw hanya keluar dari rumah meninggalkan mereka dan duduk tinggal di dalam masjid. Bahkan jika perlu, selama satu bulan penuh meninggalkan mereka. Ini adalah model pendidikan yang diterapkan Nabi Saw kepada para istri. Sebuah cara pergaulan yang memanusiakan perempuan.
Sikap yang memanusiakan antar pasangan, suami dan istri, maupuan orang tua terhadap anak, akan menjadi basis perspektif keagamaan untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun.
Bahkan, sikap inilah yang akar mengawali segala upaya setiap anggota keluarga, untuk mewujudkan kehidupan yang penuh dengan ketentraman dan kebahagiaan.
Sikap yang berakar pada ajaran inti tauhid ini, pada gilirannya akan menjadi pondasi segala rumusan hukum Islam (fiqh) yang membebaskan manusia, terutama perempuan, dari segala bentuk kekerasan. Termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
Di dalam al-Qur’an, Allah Swt berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS. al-Ahzab, 33: 21).
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.